G30S Militer dan Sejarah Kelam Etnis Tionghoa

 

Menjelang pemilihan Presiden 2019, isu bernuansa rasial serta konspirasi tentang kebangkitan PKI kembali mewarnai drama politik Indonesia. Lewat media sosial, hoax tentang bangkitnya PKI dan agenda Komunis China untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia menjadi jualan yang laris di masyarakat, sehingga membangkitkan kembali sentimen rasial dan xenofobia terhadap etnis Tionghoa di masyarakat. Etnis Tionghoa sudah lama menjadi korban diskriminasi dan fitnah, dan ini bukan hal yang baru bagi mereka. Sejak zaman kolonial mereka sudah mendapat perlakuan diskriminatif lewat politik adu domba Penjajah Belanda.

 

Dalam Jakarta: sejarah 400 tahun karya Susan Blackburn, dituliskan, sebelum VOC tiba di Nusantara, relasi antara Pribumi dan Tionghoa sangat akur. Kerajaan-kerajaan di Nusantara sudah ribuan tahun menjalin hubungan diplomatik dan dagang dengan berbagai dinasti di Tiongkok. Ketika VOC datang, mereka memanfaatkan orang Tionghoa sebagai rekan berdagang dan memberikan mereka perlakuan istimewa yang tidak didapatkan penduduk asli. Namun hubungan mesra ini tidak berlangsung lama, pada 9-21 Oktober 1740 terjadi peristiwa Geger Pecinan. Dalam peristiwa itu VOC membantai tidak kurang dari 10.000 jiwa etnis Tionghoa selama 13 hari. Menurut Hembing Wijayakusuma, dalam Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, kekalahan VOC dalam persaingan dagang dengan EIC, Inggris, serta kekeliruan-kekeliruan VOC dalam menentukan harga dan pangsa pasar, telah menjadi alasan tambahan VOC untuk menindas warga Tionghoa. VOC menuduh masyarakat Tionghoa berencana melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial, dan, sebagai tindakan balasan, tentara kolonial membantai orang Tionghoa dengan bantuan penduduk asli yang sudah dihasut oleh VOC. setelah peristiwa Geger Pecinan ribuan etnis Tionghoa mengungsi ke berbagai daerah. Pemerintah Hindia Belanda menempatkan mereka didalam ghetto untuk mencegah mereka berbaur dan berkomunikasi dengan dunia luar, mulai dari peristiwa ini kebencian penduduk asli dengan etnis Tionghoa muncul ke permukaan.

 

Beratus tahun setelahnya orang Tionghoa tetap mengalami diskriminasi rasial, Pada 1965 muncul klaim bahwa etnis Tionghoa dan PKI bekerja sama dengan Komunis China, dalam peristiwa G30S. Peristiwa ini kembali membangkitkan kebencian rasial terhadap etnis Tionghoa Indonesia di zaman modern. Dimulai dari tanggal 1 Oktober 1965, negara diguncang dengan drama penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok pasukan bersenjata kepada tujuh Jenderal Angkatan Darat. Sontak kejadian ini membuat masyarakat dilanda kebingungan serta prasangka, yang membuat seluruh negeri bergolak. Rakyat yang sudah melarat karena tingginya bahan kebutuhan pokok, akibat hiperinflasi yang melanda sejak 1963, menjadi terpancing amarahnya akibat peristiwa malam satu Oktober 1965, yang memakan korban dari petinggi Angkatan Darat. Emosi rakyat dipermainkan lewat serangkaian isu mengenai pemberontakan yang akan dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia beserta Angkatan Kelima, yang mendapat dukungan dari RRT terhadap pemerintahan yang sah.

 

Serangkaian isu yang menyebar membuat PKI, beserta elemen-elemen organisasi dan berbagai tokoh dari kubu kiri, menjadi pihak tertuduh dalam tragedi berdarah pada dini hari 1 Oktober tersebut. Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa BungKarno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan.  Akhirnya meletus G30S. Seperti yang dijelaskan Subandrio dalam bukunya Kesaksianku dalam G30S (2000) dan Taomo Zhou dalam jurnalnya: China and Thirteen of September Movement (2014), bahwa surat kabar ABRI menyebutkan G30S adalah kudeta komunis gagal yang direncanakan dan diatur oleh rezim Peking sebagai bagian dari program revolusi dunia.  Kedekatan PKI dengan poros Peking, yang saat itu dipimpin oleh Mao Zedong, membuat publik berasumsi, bahwa RRT berada dibalik penculikan para jenderal dan percobaan kudeta, Dugaan keterlibatan RRT dan Mao Zedong membuat publik berpikir bahwa orang Cina menjadi dalang dari penculikan dan pembunuhan para Jenderal. Alhasil kecurigaan masyarakat kepada etnis Tionghoa yang sudah lama bermukim di Indonesia semakin berkembang, mereka dicap sebagai agen komunis dan dianggap berbahaya bagi stabilitas Negara. Kesenjangan sosial yang tinggi pada waktu itu juga menjadi salah satu penyebab kebencian masyarakat pada etnis Tionghoa. Pada masa itu banyak orang Tionghoa memiliki standar hidup yang lebih baik dibandingkan orang pribumi, banyak dari mereka masih bisa hidup nyaman meski negara sedang dilanda hiperinflasi. Dan pada saat yang bersamaan kampanye anti komunis mulai menyebar luas di masyarakat.

 

Perlahan kampanye anti komunis mulai berkembang menjadi kampanye anti Tionghoa di berbagai daerah, pada 10 November 1965 muncul gerakan anti Tionghoa di Makassar yang berujung pada pembantaian warga Tionghoa di Makassar. Pada 1966, keadaan semakin tidak terkendali. Harga-harga yang melambung tinggi serta stabilitas keamanan yang semakin memburuk membuat gelombang demonstrasi semakin marak di berbagai tempat, yang berkembang menjadi kerusuhan rasial, Pada 10 Desember 1966, di Medan terjadi kerusuhan massal, dimana orang Tionghoa dikejar dan dibantai karena dituduh bekerjasama dengan komunis.

 

Setahun setelahnya pada November 1967, di Kalimantan Barat terjadi Peristiwa Mangkuk Merah yang merupakan salah satu tragedi hitam bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Puluhan ribu orang Tionghoa dibantai karena dituduh menjadi simpatisan komunis, mereka dituduh merencanakan makar dan pemberontakan di Kalimantan. Pada peristiwa ini ratusan ribu orang Tionghoa mengungsi ke Pontianak dan Singkawang, untuk menghindari pembantaian yang dilakukan oleh masyarakat local, yang telah dihasut oleh pemerintah dan militer.

 

Posisi orang Tionghoa semakin terjepit dikala pada tahun 1967, dimana rezim represif Orde Baru mengeluarkan peraturan pemaksaan asimilasi bagi orang Tionghoa, lewat Surat Edaran Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 Tentang Masalah Cina, dimana mereka dilarang menggunakan nama-nama Tionghoa dan memaksa mereka menggunakan nama yang berbau lokal, serta mengganti nama Tiongkok menjadi “Cina”. Pada tahun yang sama Suharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang segala kegiatan kepercayaan serta keagamaan Tiongkok dilakukan di Indonesia.

 

Tidak cukup sampai disitu, Orde Baru semakin mengeksploitasi hak masyarakat Tionghoa, lewat diterbitkannya Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286 Tahun 1978. Pemerintah Indonesia, melalui Badan Intelijen Negara(BIN), mengawasi gerak-gerik orang Tionghoa-Indonesia melalui sebuah badan yang bernama  Badan Koordinasi Masalah Cina  (BKMC), dengan alasan untuk mengawasi masalah komunisme. Kemudian pada tahun 1988 Orde Baru mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Pers Departemen Penerangan R.I. no.02/SE/Ditjen-PPG/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan dan iklan beraksara dan berbahasa Cina di depan umum. Orde baru juga membatasi peran masyarakat Tionghoa di bidang pemerintahan serta militer.

 

Peristiwa kelabu bagi masyarakat Tionghoa seakan tak pernah berhenti. Kerusuhan rasial kembali terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, yang merupakan salah satu masa terburuk bagi sejarah Tionghoa Indonesia. Pada tanggal 13-15 Mei 1998 kembali terjadi persekusi dan pembantaian terhadap etnis Tionghoa, pemerkosaan wanita Tionghoa, serta penjarahan dan pembakaran toko-toko Tionghoa, yang dikenal sebagai peristiwa Mei Kelabu. Peristiwa ini mengakibatkan eksodus besar-besaran etnis Tionghoa-Indonesia ke luar negeri untuk menghindari kerusuhan. Namun ditengah kekalutan krisis ekonomi dan kekacauan yang melanda, pejabat Orde Baru menyalahkan etnis Tionghoa yang dianggap menguasai perekonomian dan menjadi biang kerok krisis ekonomi pada waktu itu. Pernyataan tersebut membuat sentimen anti-Cina kembali berkobar di masyarakat yang berujung pada kerusuhan.

 

Tak lama setelah reformasi, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dibentuk untuk menyelidiki peristiwa ini. Dari laporan TGPF yang diliris Komnas Perempuan dalam Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (1999) ditemukan bahwa kerusuhan Mei 1998 digerakkan secara sistematis dan terstruktur yang ditandai dengan munculnya massa provokator yang memancing warga untuk ikut melakukan pengrusakan, secara fisik tampak terlatih, beberapa berseragam sekolah, tidak menjarah dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung terbakar. TGPF juga menemukan bahwa etnis Tionghoa menjadi target utama dalam kerusuhan tersebut, sebagian besar korban kerusuhan dan pemerkosaan adalah etnis Tionghoa. Aparat yang diterjunkan di lapangan cenderung melakukan pembiaran terhadap kerusuhan anti Cina yang terjadi pada 1998.  Namun, sayangnya setelah laporan penyidikan TGPF diliris pada 1999 tidak pernah ada aktor yang diseret dan bertanggung jawab, semua dibiarkan tenggelam dan berlalu begitu saja seakan tak pernah ada hal yang terjadi.

 

Pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, satu-persatu peraturan diskriminatif warisan Orde Baru dicabut. Masyarakat Tionghoa kembali dibebaskan menjalankan tradisi leluhurnya. Namun bukan berarti duka dan ketakutan yang dialami oleh masyarakat Tionghoa hilang begitu saja, diskriminasi yang sudah berlangsung lintas generasi terlanjur menciptakan luka yang mendalam bagi mereka. Politik pemisahan identitas yang dilakukan VOC dan Orde Baru sudah terlanjur menciptakan stigma, bahwa etnis Tionghoa adalah etnis ‘pendatang’ dan ‘berbeda’ dengan penduduk asli dan stigma ini masih bertahan hingga sekarang.

 

Munculnya teori-teori konspirasi tentang ‘Komunis China’ dan ‘Kebangkitan PKI’ yang ingin menguasai Indonesia dewasa ini tak jauh berbeda dengan isu yang sama, yang muncul pasca peristiwa 65, hanya sekedar kabar burung yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Namun, minimnya pengetahuan masyarakat akan sejarah dan pendidikan literasi digital, yang membuat kebencian masyarakat terhadap etnis Tionghoa, masih terpelihara. Rakyat masih mudah terbawa dengan narasi-narasi berbau SARA dan, bila dibiarkan, hanya akan memperpanjang rantai kebencian terhadap etnis Tionghoa. Semestinya harus ada upaya untuk meluruskan sejarah etnis Tionghoa agar bebas dari prasangka, serta pengakuan bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari Indonesia, sehingga mata rantai kebencian terhadap etnis Tionghoa bisa segera terputus.

 

Penulis: M. Izzat

 

 

 

Departemen Kajian, Aksi dan Strategis

 

Bidang Sosial dan Masyarakat

 

BEM Bima Fikom Unpad 2018

 

Kabinet Archipelago

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka:

 

Subandrio. 2000. Kesaksianku Tentang G30S, Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total

 

Zhou, Taomo. 2014. China and Thirteen of September Movement, New York: Southeast Asia Program Publications at Cornell University

 

Badan Koordinasi Intelijen Negara. 1980. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia, Jakarta: Badan Koordinasi Masalah Cina

 

Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 tahun, Jakarta: Komunitas Bambu

 

Publikasi Komnas Perempuan. 1999. Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan & New Zealand Official Development Assistance

 

https://tirto.id/angkatan-kelima-diusulkan-pki-ditolak-angkatan-darat-cC14 diakses pada 16 September 2018

 

https://tirto.id/arsip-rahasia-as-hoax-mao-zedong-terlibat-g30s-cyz3 diakses pada 25 September 2018e

 

https://indoprogress.com/2017/09/baperki-komunitas-tionghoa-dan-g30s-di-kota-medan/ diakses pada 16 September 2018

 

https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-bFLp diakses pada 16 September 2018

 

https://tirto.id/tragedi-berdarah-pembantaian-mangkuk-merah-cEUq diakses pada 16 September 2018

 

https://historia.id/modern/articles/duka-warga-tionghoa-DbKmv diakses pada 17 September 2018

 

https://www.dw.com/id/kerusuhan-mei-1998-menolak-lupa/a-18464585 diakses pada 17 September 2018

 

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43940188 diakses pada 16 September 2018

 

https://www.vice.com/id_id/article/a3av7e/pengakuan-para-pelaku-penjarahan-mei-98-korban-operasi-kerusuhan-sistematis diakses pada 17 September 2018

Irasionalitas War on Terror untuk Perdamaian

pengeboman kompleks istana presiden Irak oleh pasukan udara AS di hari-hari awal war on terror, 21 Maret 2003. Kredit foto: independent.co.uk

Melalui resolusi Majelis Umum PBB No. 36/67 1981, Hari Perdamaian Dunia resmi jadi kampanye internasional. Sejak saat itu ia dirayakan banyak negara untuk menentang perang dan kekerasan serta mempromosikan gencatan senjata, tepatnya di tanggal 21 September tiap tahunnya. Pada dekade ini, perdamaian  jadi semakin urgen dan ditempuh dengan banyak cara, salah satunya adalah pengentasan terorisme yang makin mendesak. Namun, strategi Global War on Terror yang umum digunakan bermasalah bahkan sejak awal-mulanya. Ia  malah memperburuk kedamaian.

Pengantar

Di hari yang sama setelah serangan 9/11, presiden George Bush menyatakan deklarasi perang terhadap terorisme kepada publik dunia. Ia memberikan sedikit ulasan tentang rencana perang jangka panjang. “Perang melawan terorisme akan mengorbankan waktu yang panjang, korban tak terhitung, dan pembiayaan yang mahal…..Kami(AS) yang akan memimpinnya…demi perdamaian dan keamanan dunia”.

Strategi anti-teror ini menonjolkan aksi militer terhadap teroris di negara lain, walaupun bukan satu-satunya jenis. AS memberikan contoh pada tiap pemimpin di masa mendatang bagaiaman lumrahnya ia dioperasikan. Untuk itu, tulisan ini akan mengulas bagaimana prototipe War against terrorism yang diletakkan AS pasca 9/11 bermasalah, sehingga malah memperburuk kondisi perdamaian dunia.

Setidaknya ini dilihat dari teropong HAM, ekonomi-politik, dan politik internasional. Pertama, pelaksanaannya memperburuk kedamaian karena kejahatan-kejahatan humaniter justru timbul. Kedua, ia justru meningkatkan ancaman terorisme di waktu mendatang, seperti yang terjadi pasca Operasi Iraqi Freedom AS dengan munculnya ISIL.

Eksesifitas Perang    

Invasi militer untuk keperluan kontra-teror cenderung menempatkan situasi yang penuh dengan blokade, pembatasan akses informasi, dan pengucilan terhadap wilayah terkait oleh si penginvasi. Perlu disepakati, Ini bisa terjadi karena si inisiator adalah pihak yang punya sumberdaya alokasi, seperti teknologi tempur dan informasi, dan sumber daya otoritatif, seperti pengaruh yang besar di politik global melalui badan-badan dunia, yang jauh lebih besar dibanding yang dimiliki kekuasaan wilayah target.

Dalam kondisi demikian, kejahatan-kejahatan lain yang saling berhubungan justru akan muncul. Pertama, kedaulatan kawasan yang diserbu terancam—pada beberapa kasus, AS justru ikut-campur pada konflik internal wilayah sasaran. Kedua, kematian sipil tak bersalah tidak akan terhindar. Terakhir, perang ini mempersilahkan penguasaan atas kekayaan alam dan posisi strategis wilayah terkait melalui kekerasan.

Pertama mengenai kedaulatan kawasan yang sudah pasti terancam karena karakter intervensionis dan superior negara yang berhajat.  Ini dimulai pada Oktober 2001, ketika AS dengan unilateral menyerbu timur-tengah. Secara berturur-turut; terhadap Afghanis seperti Bin Laden; pemerintahan Taliban Afghanistan dan  Saddam Hussein pemimpin Irak.

Di Afghanistan, penyerbuan AS dilatarbelakangi tuduhan Bush, CIA, dan Pentagon, bahwa Taliban membantu jaringan Al-Qaeda mempersiapkan serangan 9/11. AS lalu menduduki Afghanistan untuk menangkap Taliban. Disamping itu, mereka bekerjasama dengan kaum oposisi dari north alliance untuk menggantikan pemerintahan Taliban. Suatu lelucon yang konyol, mengetahui AS sendirilah yang mendonor fundamentalis Taliban sehingga memenangkan perang saudara di negara yang sama pada 80’an, kini justru berusaha menjatuhkannya dengan memanfaatkan agenda anti-teror. Persis seperti amatan kritikus sosial Noam Chomsky pada Pirates and Emperors: Old and New(2002),

(yang memberikan Taliban senjata dan markas pada perang saudara Afhganistan) adalah Amerika dan CIA….sementara Afghanis(orang asli Afghanistan) menderita selama berkuasanya Taliban…Namun, saat AS diserang(9/11), bukannya menghukum orang Amerika yang dulu membantu Taliban untuk berkuasa, AS justru memburu orang Afghan.

Pendudukan ini berlangsung selama 16 tahun(2001-2016) dan memperburuk kondisi Afghanistan, yang baru melalui periode perang saudara pada dekade sebelum invasi. Modernisasi, terutama percanggihan teknologi informasi, yang banyak dialami negara berkembang di awal milenium, tidak terjadi di negeri ini karena disibukkan peperangan yang dibawa AS. Aktivitas yang memanusiakan penduduk sipil terhenti akibat dari kemiskinan dan huru-hara yang dihasilkannya.

Dampak serupa, bahkan lebih parah, juga terjadi di Irak.

Pada 2003, AS dan Irak menyerbu bekas kawasan Mesopotamia itu dengan alasan menghentikan pengembangan nuklir untuk digunakan jaringan teroris. Suatu tuduhan yang serupa seperti saat AS menyerang Irak di Perang Teluk Persia pada 80’an. Bedanya, pada serangan ini tuduhan serupa ditambahkan nada itu(senjata pembunuh massal) dikembangkan untuk digunakan Al-Qaeda.

Dampak terjadi secara cepat dengan kemiskinan, krisis sumber daya, dan permasalahan gizi di mana-mana. Karena kacaunya keamanan, banyak lapangan pekerjaan yang hilang dan, di saat yang bersamaan, menyebabkan tingginya angka kematian usia produktif. Pada tahun kedua invasi, 26 persen kepala rumah tangga menganggur, sementara total keseluruhan pengangguran kelompok usia produktif sebesar 59 persen(WFP Iraq Country Office and COSIT 2006). Angka kematian kasar(jumlah kematian orang per seribu jiwa) kelompok sipil usia produktif pun selalu meningkat dari tahun ketahun, dimulai dari 5.5 saat sebelum invasi hingga periode Juni 2005-Juni 2006 sebesar 19.8.

Untuk mengatasi kemiskinan, kebanyakan rumah tangga memilih untuk mengurangi konsumsi makanan, yakni 22 persen, dan 10 persen lainnya mengganti menu makan dengan yang lebih murah. Buah-buahan dan beberapa kebutuhan dasar saat itu memang banyak di pasar, tapi harganya terlampau mahal. Disamping itu, kebutuhan listrik tidak tercukupi dengan tingkatan yang parah.

AS dan sekutu juga yang memberikan contoh bagi negara-negara lain di masa mendatang, bahwa korban jiwa sipil sekedar biaya untuk mengentas terorisme.

Korban jiwa dari kelompok sipil terutama jatuh karena digunakannya senjata berskala besar berteknologi canggih milik Pentagon. Sebagian lainnya mati karena sebab tidak langsung  peperangan. Masalah sumber air yang terkontaminasi, kandungan udara yang berbahaya, dan gizi buruk menjadi penyebab mayor dari kematian jenis ini.

Jumlah kematian yang dihasilkan dari invasi di Afghanistan sejak Oktober 2001 hingga 2016 sejumlah 111,442 jiwa.  Hampir sepertiga darinya adalah sipil non-kombatan, Jurnalis, dan aktivis kemanusiaan. Pada periode yang sama,  kematian di Pakistan sejumlah 61,000 dengan korban sipil lebih dari sepertiganya. Di Irak, sejak 2003 hingga April 2015 keadaan jauh lebih buruk. Sipil biasa menjadi kelompok yang dominan menyumbang korban jiwa, sekitar 150 ribu atau lebih dari 70 persen dari keseluruhan.

Problem selanjutnya dari war against terrorism oleh AS adalah keefektifaknnya menyamarkan kepentingan ekonomi dan politiknya di wilayah target, karena penuh dengan muatan moral berbunyi kemanusiaan, kedamaian, dan keamanan dunia. Ia menjadi  proyek pemulus agenda proteksi dan intimidasi dalam mekanisme penguasaan komoditas dan penjaminan hegemoni.

Seperti yang kita duga bahwa AS dan sekutu, terutama Inggris, sangat membutuhkan agenda war on terrorism untuk menjamin berlanjutnya penguasaan cadangan minyak di timur-tengah. Peran yang dimiliki AS dalam hal ini sangat vital, yakni memastikan aliran minyak timur tengah terjamin dan diperdagangkan dengan biaya murah ke AS, Eropa, dan Jepang dan, disamping itu, dapat digunakan untuk perang dagang melawan kompetitornya seperti China dan Korea Utara.

Pada 2007, ketergantungan AS sendiri pada impor minyak dari Teluk Persia pun sangat besar, yakni 70 persen dari total persediaan minyak negara. Pada medio 80’an, dikeluarkannya Doktrin Charter oleh presiden AS Jimmy Charter adalah bukti tak terbantahkan, bahwa timur-tengah adalah wilayah strategis yang mesti berada dalam kekuasaan AS. Ini bukan fenomena yang bagus bagi kebanyakan masyarakat dunia, yang menganggap free will dalam perdagangan bebas adalah nyata.

siapapun yang hendak menguasai kilang minyak di Teluk Persia… menyerang kepentingan vital AS.”

Melalui doktrin tersebut, penjelasan terkait alasan invasi AS pasca 9/11 ternyata bukan sekadar soal ekonomi. Lebih dari itu, adanya keperluan mendesak AS yang lebih krusial dan jangka panjang, yakni melindungi hegemoni geng geopolitik AS-Eropa Barat-Jepang sejak PD II. Sebuah respon untuk mempertahankan akumulasi modal yang menguntungkan bagi posisi politik AS. Meminjam konsep David Harvey dalam The New Imperialism(2004), merupakan bentuk accumulation by dispossession(pelepasan kepemilikan sumberdaya)dalam hal ini minyak, dari rakyat Irak atau disebut dengan neo imperialisme. Ini direalisasikan dengan kehadiran militer AS di saat kompetitor atau pengacau seperti Al-Qaeda mengancam kekuasaan AS dan sekutu. Suksesi neo-imperialisme tentunya melanggar cita-cita demokrasi, yakni liberte, fraternite, dan egalite(kebebasan, persaudaraan, dan kesetaraan) yang bertujuan pada kedamaian.

Ketiga permasalah Global War on Terror di atas dengan instan menjadikan Iraq sebagai negara paling kacau kedamaiannya dari 121 negara pada  2007. Melihat fakta tersebut, apakah kedamaian jangka panjang tetap terpenuhi setelah perang selesai pada 2011? Nyatanya, kemenangan perang hanya sebatas membuat terorisme timur tengah dalam waktu dekat vakum. Secara tidak langsung, perang justru menumbuhkan sentimen anti-Americanism, yang jadi bibit baru terorisme dalam waktu kevakuman.

            Anti-Americanism dari Eksesifitas

Sentimen atas “Barat” secara umum, dan, secara khusus, atas Amerika Serikat atau disebut dengan Anti-Americanism, jadi salah satu faktor penting kemunculan jihadis-jihadis baru. Tibor Glant dalam Terrorism and Anti-Americanism: 9/11 Ten Years After(2012) mendefinisikannya sebagai kebencian irasional terhadap  AS dan segala yang ada di dalamnya. Ia merupakan salah satu dari dua respon negatif atas kebijakan internasional AS, di samping kritisisme terhadap kebijakan AS.  Anti-Americanism melampiaskan ketidaksukaannya kepada apapun yang berkaitan dengan AS, sedangkan kritisisme menyasar pihak yang secara legal bertanggungjawab atas langkah internasional AS, dalam hal ini Washington dsb.

Tentunya kebijakan war on terror AS yang intervensionis dan agresif, secara masuk akal berpeluang besar direspon secara irasional oleh korban tak bersalah maupun kelompok radikalis islam. Pendudukan AS di Irak justru jadi titik kulminasi sentimen Anti-Americanism di sana sejak pengalaman buruk Irak dalam Perang Teluk kontra AS. Ini dimanfaatkan Al-Qaeda membuka cabang pertamanya di Irak untuk konfrontasi langsung dengan Barat pada 2003.

Kemenangan atas Al-Qaeda pada 2011 tidak sekadar menghadirkan kedamaian sementara dari ancaman teroris. Di waktu yang bersamaan, Kemiskinan, gangguan keamanan, dan korban jiwa yang ditinggalkan AS dalam memerangi Al-Qaeda mengakumulasikan sentimen Anti-Americanism ke tingkat yang lebih tinggi. Sebuah paradoks, Darah yang ditumpahkan Global War on Terror justru jadi benih teroris suksesor Al-Qaeda.

Tiga tahun pasca kekalahan Al-Qaeda, patron teroris transnasional  digantikan cabangnya di Irak, yang lahir lebih dari satu dekade sebelumnya, belakangan menamakan diri sebagai Islamic State(IS). Bersama faktor Arab Spring, sentimen Anti-Americanism membawa keberhasilan IS menjaring pejuang baru untuk mendirikan khilafah dan mengalahkan Barat. Para jihadis baru tersebut beberapa tahun ini mencapai keluasan wilayah afiliasi dan tingkat kekerasan yang belum pernah dicapai pendahulunya. Dimulai dari Afghanistan, Algeria, Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iraq, Libya, Mali, Niger, Nigeria, Pakistan, Filipina, Tunisia, Somalia, dan Yaman. Perluasan dan pelipatgandaan kelompok teror pasca kemenangan kecil AS atas Al Qaeda juga terjadi di Afrika Utara, di mana Islamic Maghreb beserta kelompok pemberontak Mali menyebar teror dari Chad sampai Niger.

Sekarang IS telah melemah dan kehilangan 90 persen wilayahnya. Kekalahan mereka di depan mata. Kevakuman terorisme transnasional tinggal menunggu waktu. Walaupun begitu, ada potensi kemunculan suksesornya yang, mungkin, lebih ganas. Kerusakan dari hasil perang melawan IS di Irak juga sama parahnya seperti perang melawan Al-Qaeda. Narasi ini bisa dimanfaatkan suksesor IS nantinya untuk rekrutmen, seperti yang dilakukan IS sebelumnya. Institute of War and American Enterprise Institute memprediksi bahwa ancaman terorisme sebenarnya bukanlah IS, melainkan Front-Al Nusra, pecahan Al-Qaeda yang jadi aliansi AS untuk menggulingkan Bassar Assad di Syuriah.

Ya, Ia(War on Terror) Gagal

Data yang dihasilkan Global Peace Index 2018 menunjukan, secara tidak langsung, bahwa Global War on Terror kontra Al-Qaeda gagal meminimalisir ancaman terorisme terhadap perdamaian. Sebaliknya, semenjak ia dipopulerkan AS ancaman terorisme justru kian besar dan tingkat kedamaian dunia sekarang kedamaian dunia malah makin buruk.

Tren GPI satu dekade terakhir selalu memburuk dari tahun-ke-tahun, kecuali membaik sekali saat kevakuman teroris transnasional pada 2013. Sepanjang periode ini, tahun 2018 menjadi yang paling mengkhawatirkan dengan rata-rata di tiap negara mengalami 2,38 persen perburukan kedamaian dibanding tahun 2008. Terorisme yang menjamur jadi faktor penting kemunduran perdamaian, bersama faktor meningkatnya konflik bersenjata.

Pada tahun ini, 62 persen dari 163 negara kedamaiannya  diancam terorisme secara lebih buruk daripada 2008. Sebanyak 35 persen dari keseluruhan mendapati terorisme menjadi indikator dominan dalam degradasi perdamaiannya.  Timur tengah, daerah yang pada beberapa tahun sebelumnya paling diancam terorisme, mengalami perkembangan kedamaian karena melemahnya ISIL, ketakstabilan politik yang mereda, dan mulai surutnya krisis migran. Meski begitu, ancaman lain datang dari konflik internal dan eksternal yang terjadi di kawasan, terutama konflik Sunni-Syiah.

Perlu diingat, berkaca dari sejarahnya, konflik politis agama tersebut kerap menyertakan peran kelompok teroris, seperti di Syria dan Irak sehingga memungkinkan untuk jadi basis rekrutmen jihadis baru.

Eropa Barat memang masih jadi region paling sejuk. Namun, kawasan ini juga tidak terhindar dari memburuknya perdamaian. Konflik dan teror politik menjadi penyebab utamanya. Turki misalnya. Presiden Erdogan memperburuk skor hubungan dengan negara tetangga karena invasi Ankara ke Syria untuk memerangi kelompok oposisi di Turki, yakni orang Kurdis. Uniknya, justifikasi dari aksinya adalah untuk mengamalkan Global War on Terror.

Berlanjut Hingga Saat Ini

Pasca perang di Irak dan Afghanistan, kampanye angkat senjata pada proyek anti-teror banyak direplikasi oleh negara lain sehingga meningkatkan kekerasan dimana-mana. Ada yang menggunakannya memang untuk menggagalkan ancaman teroris, ada juga yang sekadar menggunakannya untuk melawan oposisi. Pada sebagian lainnya, ia digunakan untuk memenuhi sekaligus menyamarkan penguasaan sumber daya ekonomi.

Pemerintahan Suu Kyi menyerang dan mengusir rakyat Rakhine di Rohingya dengan alasan sasarannya adalah teroris. Klaim yang aneh melihat yang terjadi sebenarnya adalah pembersihan etnis Rakhine. Mengapa kontra-teror mesti genosida? Fakta soal kontrak atas cadangan gas alam dan minyak yang sudah terjalin dengan industri tambang dari Tiongkok, disamarkan oleh agenda kontra-teror.

Erdogan PM Turki pun menggunakan alasan moral Global War on Terror ketika pemburuannya terhadap PKK(Partai Kurdistan) sampai ke Rojava, Syria, dipertanyakan. Agresinya ke Rojava tetap berlanjut, karena keyakinan Erdogan bahwa orang Kurdi adalah teroris yang gemar makar dalam sejarah nasional Turki, maka harus diperangi. Kenyataan bahwa PKK(Partai Kudistan Turki) adalah lawan politik rezim ditutup oleh narasi moral seperti ini.

Kondisi berbeda dialami pemerintahan Assad dalam perang saudara yang bertahan hampir sedekade.  Loyalis Assad justru berada dalam posisi yang cenderung bertahan dari serangan aliansi pemberontak, AS, dan teroris Al-Nusra, pecahan Al-Qaeda. Suatu lelucon yang terjadi pasca perang Irak, bahwa AS dan Barat memerangi negara yang sedang mengamalkan global war on terror.

Wujud lebih lunak dari war against terrorism diterapkan berbagai negara, terutama angota Uni Eropa. Kemunculan kekuatan politik sayap kanan di Eropa-Barat pasca 9/11 kian menguat, sebagai respon terhadap kemunculan jihadi di Eropa. Brexit menjadi salah satu produk Inggris mengetatkan arus migrasi yang berpeluang diinfiltrasi jihadis.

Di Indonesia sendiri, war on terrorism tidak diterjemahkan seutuhnya dari ala AS. Kebanyakan teroris diadili melalui perangkat hukum. Meskipun begitu, operasi Tinombala di Poso menceritakan sisi lain dari pengentasan terorisme nasional. Operasi ini telah berlangsung lebih dari sedekade, tapi berjalan tanpa transparansi publik yang layak terkait target objektif operasi, alokasi biaya operasional, jumlah personil, dan tugas pokok dan fungsi petugas operasi. Tidak terlihat juga peran pemerintah lokal dan provinsi di dalam evaluasi operasi Tinombala. Kenyataan ini sebenarnya menggambarkan bahwa setengah dari War on Terrorism sejatinya telah diterapkan pada operasi Tinombala. Kalau sudah begitu, kedamaian yang semula dituju, justru dipertaruhkan.

Ada Pilihan Waras Menuju Damai

Sepertinya pendapat Rosa Brooks profesor Ilmu Hukum dari George Town University ada benarnya.  War against terror untuk merespon terorisme adalah pilihan buruk, walaupun ini disukai politisi. Alternatifnya, resolusi politik di meja negosiasi dan pendekatan persuasif sudah selayaknya dicoba.

Kedua pendekatan ini harus didahului perubahan pandangan atas kontra-terorisme ke bentuk yang lebih rasional. Brooks mengatakan bahwa terorisme adalah masalah laten yang harus ditangani dengan alokasi biaya, waktu, dan sumber daya lainnya secara tepat. Ia tidak bisa diperangi, dilawan, apalagi dimenangkan, karena anggapan seperti itu condong menyepelekan terorisme. Justru ia harus di atur. Prakondisi yang melatarbelakanginya mesti diidentifikasi, kemudian digunakan untuk merekayasakan kondisi yang mendekatkan pada perdamaian. Untuk itu, terorisme harus dipandang sebagaimana kejahatan lainnya, bahwa setiap kejahatan punya alasan dan alasan itulah yang disasar untuk dientaskan. Ia mesti diterima sebagai kenyataan yang hadir, bahwa dalam tiap masyarakat sepanjang sejarah peradaban, baik itu masyarakat Barat maupun di Timur, selalu diwarnai kekerasan. Ya, nature abhors vacuum(alam membenci kekosongan) mengilustrasikan bahwa kekerasan, bagaimanapun kadar dan bentuknya,, akan selalu mengisi sejarah kita—walaupun kita menghendaki sebesar mungkin kedamaian.

Fondasi pikir ini mesti diterima terlebih dahulu agar kedepannya Global War on Terror tidak dengan mudah diterima sebagai panasea, apalagi disalahgunakan untuk tujuan politis dan ekonomis.

Kembali ke dua pilihan alternati taktik anti-teror. Negosiasi politik terhadap jaringan teroris pernah sukses berjalan pada pertengahan abad dua puluh. Ketika itu Irish Republican Army(IRA) kelompok separatis Irlandia melunak setelah berpuluh-puluh tahun menjalankan aksi teror di Inggris. Pada sepanjang periode 80’an serangkaian bom mereka ledakan di London. Respon yang dihasilkan pemerintah Inggris bukan menyerang balik sarang IRA di Belfast, tapi menawarkan berbagai kesepakatan politik yang dapat melunakan aksi kekerasan barisan kelompok IRA. Dari kesempatan tersebut Anglo-Irish Government(1983) dan Good Friday Agreement(1998), yang isinya menjamin kedaulatan Irlandia Utara bagi rakyatnya, mengakhiri teror IRA di Inggris.

Sementara itu, pendekatan persuasif bisa dimanfaatkan dalam rentang yang luas, dimulai dari rehabilitasi, menyokong LSM dan tokoh berpengaruh untuk pengembangan narasi moderat, hingga menempuh hukum yang tersedia. Menindaklanjuti laporan masuk dari warga mengenai orang yang mencurigakan juga termasuk, asalkan diatur oleh safeguard yang tidak melanggar haknya sebagai warga negara. Setiap langkah tersebut, tentunya, bermuara pada dialog yang dapat menghasilkan solusi.

Pendekatan persuasif melalui hukum pernah dicoba Nikaragua. Sebagai korban teror AS pada periode perang dingin, Nikaragua menuntut AS atas pembunuhan puluhan ribu warganya dan kehancuran yang terjadi—alih-alih membalas dengan meledakan WTC. Pertama mereka meminta Pengadilan Dunia menghukum AS membayar denda atas kerusakan tersebut. Presiden Reagan menolak bertanggungjawab. Setelah itu, mereka pergi ke Dewan Keamanan lalu ke Majelis Umum, walaupun gagal menuntut pertanggungjawaban AS karena kedigdayaannya. Inilah cara main yang telah disediakan, ketika menuntut peradilan teroris negara maupun non-negara.

Terakhir, sebagai penunjang kontra-teror, bukti penelitian mengenai taktik anti-terorisme mana yang efektif dan mana yang tidak harus jadi basis penentuan strategi—suatu kelangkaan bagi praktik kontra-teror pasca 9/11. Dengan penelitian ini, peluang mengenai penurunan ancaman teroris melalui taktik tertentu bisa sangat membantu. Misalnya, dengan penambahan durasi operasi Tinombala selama lima tahun, maka potensi ancaman kelompok Santoso ternyata hanya akan berkurang 1 persen. Mengetahui biaya yang diperlukan sangat mahal dan juga tidak efektif, para praktisi jadi bisa mencari alternatif lain.

Kesimpulan

War against terrorism bermasalah sejak pertama kali dicontohkan AS untuk menumpas Al-Qaeda, Taliban, dan pemerintahan Irak. Praktis, tujuan kedamaian yang dikampanyekan untuk menyukseskan strategi itu terlampau jauh dari pencapaian. Yang ditinggalkannya di timteng, pertama, justru gangguan keamanan yang secara langsung mendegradasikan perdamaian saat pelaksanaannya. Kedua, akibat dari yang pertama, memunculkan sentimen Anti-Americanism sebagai bibit terorisme.

Kemunculan ISIL pasca Al-Qaeda menjadi pertanda kegagalan Global War on Terror. Pendekatan yang sama untuk mengatasi ISIL, berperang tanpa dialog serius, hanya akan meningkatkan eskalasi kedepannya. Terlebih, banyak negara yang meniru metode tersebut sehingga malah memperburuk perdamaian seperti Turki dan Myanmar. Pada kasus Turki, Global War on Terror justru jadi instrumen menekan lawan politik. Di Myanmar, ini digunakan untuk proyek genosida.  Indonesia sendiri, anti-teror pada banyak kesempatan diselesaikan melalui jalur hukum dan disertai pengawasan publik. Namun,”setengah dari” War on Terrorism terjadi pada Operasi Tinombala, di mana militer berperan dominan dan pengawasan public tidak diikutsertakan.

Problem-problem pada program War on Terror sejatinya terjadi karena kekeliruan pandangan atas terorisme. Ia mesti dilihat sebagaimana kejahatan lainnya, bahwa ada alasan yang menggerakannya dan itu yang mesti disasar. Dengan pandangan yang kedua, mencapai perdamaian sebesar mungkin masih masuk akal untuk dicapai. Strategi yang digunakan pun semestinya disertai dengan keikutsertaan publik. Bekerjasama dengan masyarakat melalui mekanisme-laporan-masuk, membangun komunitas agama moderat, hingga berhati-hati dalam menyelesaikan konflik politik. Berunding di meja mapuan di pengadilan mesti dimanfaatkan, dan dikembangkan lebih jauh lagi.

Dengan pendekatan yang tepat, perdamaian dunia yang diperangati setiap tahunnya, khususnya bulan September, makin memungkinkan untuk digapai.

 

Penulis: Muli.

 

Departemen Kajian, Aksi dan Strategis

Bidang Sosial dan Masyarakat

BEM Bima Fikom Unpad 2018

Kabinet Archipelago

 

Referensi

http://www.un.org/ga/search/view_doc.asp?symbol=A/RES/55/282 diakses pada 10 September 2018

 

https://www.theguardian.com/world/2001/sep/21/september11.usa13 diakses pada 10 September 2018

 

https://www.fff.org/2018/01/30/u-s-destruction-afghanistan/ diakses pada 11 September 2018

https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/sep/11/world-destroy-afghanistan-help-afghans-rebuild-9-september-anniversary diakses pada 11 September 2018

https://watson.brown.edu/costsofwar/figures/2016/direct-war-death-toll-iraq-afghanistan-and-pakistan-2001-370000 diakses pada 11 September 2018

http://ricardo.ecn.wfu.edu/~cottrell/ope/archive/0311/0005.html diakses pada 10 September 2018

https://foreignpolicy.com/2015/11/20/the-threat-is-already-inside-uncomfortable-truths-terrorism-isis/ diakses pada 10 September 2018

 

http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/the-long-road-to-peace-in-poso/ diakses pada 10 September 2018

 

http://www.bbc.co.uk/history/troubles diakses pada 10 September 2018

 

http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/324/651 diakses pada 10 September 2018

https://www.bakerinstitute.org/research/carter-doctrine-30-evolving-us-military-guarantees-gulf-oil-security/.

Koc, Mustafa dan Das Rupen. 2007. Food Security and Food Sovereignty in Iraq: The Impact of War and Sanctions on the Civilian Population. Hlm 19-20.

FAO dan WFP. 2003. Special Report: FAO/WFP Crop, Food Supply and Nutrition Assessment Mission to Iraq (23 September 2003). Rome: FAO

Burnham, G., Lafta, R., Doocy, S. dan Roberts, L.. 2006. Mortality After the 2003 Invasion in Iraq: A Cross-Sectional Cluster Sample Survey. The Lancet 368: 1421–8.

Podliska, Bradley F. 2010. Acting Alone: A Scientific Study of American Hegemony and Unilateral Use of-Force Decision,

Glant, T. (2012). Terrorism and Anti-Americanism: 9/11 Ten Years After. Hungarian Journal of English and American Studies (HJEAS), 507-521.

Anthony Giddens. 2003. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Yogyakarta: Penerbit Pedati.

Collins, Gabriel dan Krane, Jim. “Carter Doctrine 3.0: Evolving U.S. Military Guarantees for Gulf Oil Security.” Policy Brief, no. 04.27.17 (2017)

 

 

Mengenal PKM 5 Bidang lewat PKM101

Jatinangor, 20 September 2018 – Dalam rangka meningkatkan antusiasme mahasiswa dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Departemen Profesi dan Keilmuan BEM Bima Fikom Unpad menyelenggarakan kegiatan Seminar PKM 101 untuk Mahasiswa Fakultas Komunikasi. Acara ini berlangsung pada 18 September 2018 di Aula Moestopo Fikom Unpad.

Bentuk kegiatan ini berupa seminar dengan 3 narasumber yang ahli di bidang PKM. Narasumber pertama ialah Ibu Vira Kusuma Dewi, SP., M.Sc., Ph.D. Beliau adalah dosen Fakultas Pertanian yang telah bergelut di bidang PKM dan telah berpengalaman menjadi dosen pembimbing PKM. Dalam seminar kali ini beliau menyampaikan materi mengenai PKM 5 bidang, ketentuan penyusunan proposal, serta kriteria penilaian proposal PKM.

Kemudian narasumber yang kedua yaitu Bapak Deni Rustiandi, S.AP selaku Tenaga Kependidikan di Rektorat Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Padjadjaran. Beliau yang mengelola segala kegiatan kemahasiswaan, termasuk PKM. Beliau menyampaikan tentang alur pendaftaran PKM.

Narasumber yang terakhir yaitu Dede Putri Sriyani. Perempuan yang lebih akrab dipanggil Celi ini adalah ketua tim PKM-K PeDe (Perfect Deodorizer). Celi bersama timnya berhasil meraih Juara Favorit Presentasi bidang Kewirausahaan dalam PIMNAS ke-31 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Seminar ini diakhiri dengan penyerahan plakat oleh ketua BEM Bima Fikom Unpad kepada setiap narasumber serta foto bersama peserta, panitia, dan narasumber Seminar PKM 101. (Tasya/Profil)