[ #OnThisDay ] Nasionalisme Bahasa Keropos, Tapi Ada Harapan

Ketika para tokoh bangsa merencenakan kemerdekaan, mereka sadar bahwa kesamaan nasib dijajah saja tidak cukup untuk jadi modal persatuan bangsa. Hal lain yang tak kalah penting, adalah eksisnya suatu bahasa persatuan, tak lain Bahasa Indonesia, yang dideklarasikan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (Kaligis: 2012). Secara simbolis deklarasi tersebut merupakan usaha mandiri (self-help) untuk melepaskan kehidupan bangsa dari cengkraman bahasa belanda atau bahasa penjajah (Foulcher:2000). Walaupun begitu, para tokoh bangsa tetap saja hobi bercakap kemlondo.

Hari ini, tepat 90 tahun setelahnya, kita tentunya terbebas dari ancaman fisik penjajah. Namun, nyatanya pada banyak kesempatan bahasa Indonesia terbukti kesulitan mengatasi daya pikat bahasa asing di keseharian bangsa kita. Pada beberapa kelompok sosial di Jaksel, misalnya, justru bahasa Inggris yang diaku sebagai language of unity, karena memang dinilai lebih representatif dibanding bahasa Indonesia.

Perbedaan mendasar antara zaman pra-Sumpah Pemuda dan era kontemporer saat ini terletak pada konteksnya. Pada zaman perjuangan kemerdekaan, bangsa-bangsa jajahan Hindia Belanda tidak punya fondasi pemersatu. Sekarang, fondasi ini sudah ada, tapi selalu keropos bahkan sejak Ia dideklarasikan, salah satunya karena keloyoannya dalam pergaulan global.

Bahasa Indonesia Bergaul dengan Gagap

Konsep-konsep baru mengenai dunia membanjiri masyarakat Timur kita melalui masuknya arus modal dalam produk-produk kebudayaan populer Barat. Sejalan dengan pandangan kulturalis Raymond Williams, produk tersebut masuk ke dalam kehidupan publik dan privat kita, yang kemudian menghasilkan pengetahuan relatif baru, yang mesti diekspresikan kepada lingkungan sosial melalui bahasa. Bahasa Indonesia kerap gagal dalam menghasilkan kata ataupun frase yang sanggup merepresentasikan konsep baru tersebut. Ini jadi salah satu alasan mengapa sebagian penduduk kota kosmopolitan, seperti di Jakarta, lebih memilih menggunakan bahasa asing, biasanya bahasa Inggris. Saya menyebut hubungan antara bahasa kita dengan konsep-konsep yang relatif baru tersebut sebagai pergaulan yang gagap.

Kemungkinan-kemungkinan hambatan terhadap kegagapan tersebut nyatanya sudah melembaga, setidaknya sejak era Orde Baru. Beriring masuknya arus modal asing, aturan-aturan linguistik diubah dari model bahasa Belanda ke bahasa Inggris, seperti perubahan “kw” ke bentuk “ku” untuk kosakata seperti kualitas, kuartal, dan kuas. Lewat aturan fonetik itu, pengaruh bahasa Belanda disubstitusi oleh dominasi bahasa Inggris yang mewakili arus modal geng geopolitik AS-Eropa Barat. Represi atas kreativitas bahasa juga terjadi. Maklum, bahasa menentukan bagaimana orang berpikir, maka represilah bahasa sedemikian rupa sehingga para penutur terkait akan manut saja.

Wartawan sebagai agen utama bahasa jadi sasaran utama dalam berjalannya regulasi tersebut. Menurut Joss Wibisono dalam Silang-Saling Indonesia-Eropa: dari diktator, musik, hingga bahasa(2014), Pusat Bahasa pada era Orde Baru merepresi media lewat kewajiban mengikuti pedoman Bahasa yang Baik dan Benar ketika menulis berita. Pers dilarang menghasilkan suatu kata, walaupun itu dihasilkan dari penelusuran makna yang kaya akan pelajaran sejarah. Misalnya, pers dilarang menyebut seorang perempuan sebagai “Tuan”, yang dulu pada masa sastra awal Melayu abad ke-19  memang berlaku unisex.

Pusata Bahasa, kini BPPB, selaku otoritas kebahasaan sejenis Academie Francaise milik Perancis, punya peran yang memang penting dalam Bahasa Indonesia.  Moso pemerintah gak ikut bertanggungjawab atas identitas nasional negaranya? Namun, jika fungsi tersebut malah merepresi perkembangan yang awalnya direncanakan justru bikin kondisi gawat.

Melihat situasi-kondisi otoritas bahasa yang mencengkram sedemikian rupa, tak heran Bahasa Indonesia kini kepayahan menyesuaikan diri dengan zaman sehingga tersingkir dari hati sebagian orang Indonesia. Fenomena indo-inggris, atau gaulnya disebut keminggris, misalnya. Sebagian orang-orang kaya di Jakarta kesehariannya sangat erat dengan kultur Barat yang diitari konsep-konsep berbahasa Inggris, dimulai dari pendidikan, hiburan, hingga rumah tangganya.

Banyak pengakuan mereka mencampuradukkan bahasa Inggris dengan bahasa melayu pasar kita, karena kesulitan menerjemahkan idenya ke dalam bentuk bahasa Indonesia. Mereka justru dengan mudah mengucapkannya dalam bahasa Inggris. Kenyataan ini berbanding lurus dengan jauh lebih sedikitnya pilihan lema dan kata bahasa Indonesia dibanding bahasa Inggris. Untuk merujuk sesuatu yang berlebihan, bahasa Inggris punya exaggerate menunjuk makna melebih-lebihkan kondisi suatu fakta yang bisa diukur; excess untuk suatu yang berlebihan daripada keperluan aslinya; dan overrate punya makna merujuk pada penilaian berlebihan atas nilai individu atau sekumpulannya. Bagi bahasa Indonesia, semuanya cukup disebut “berlebihan”.

Tercatat, pada KBBI edisi kelima diluncurkan pada 2016 lalu, jumlah lema dan kata bahasa Indonesia sejumlah 126 ribu. Suatu peningkatan signifikan dari edisi sebelumnya yang memiliki 90 ribu lema dan kata saat diluncurkan. Namun, ini masih jauh lebih sedikit dibanding bahasa Arab yang punya 12,3 juta kosakata, bahasa Inggris dengan 600 ribu, dan bahasa Perancis sejumlah 150 ribu, menurut riset yang dijalankan Sebil Center pada penghujung dekade yang lalu. Semestinya bahasa Indonesia punya potensi menyaingi bahasa-bahasa tersebut , mengingat modalitas masyarakat nusantara saat ini. Per 2018, Indonesia punya 652 bahasa daerah, tengah bersentuhan dengan bahasa asing, serta gaya hidup impor makin memenuhi ruang publik.

Kita sudah mafhum bahwa banyak orang bergaul dengan frasa-frasa daerah dibanding ungkapan yang sudah diajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Misalnya kata jancok yang berakar dari kebudayaan Jawa. Kini orang yang tak punya keterikatan terhadap budaya jawa pun sering mengucapkannya untuk mengekspresikan relasinya terhadap lawan bicara. Namun, ia tak diserap ke dalam KBBI resmi, berbanding terbalik dengan nasib saudaranya, yakni “asu”. Modal lainnya adalah aktivnya masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial.

 

 

Daftar Pustaka

Foulcher, K. (2000), Sumpah Pemuda: the Making and Meaning of a Symbol of Indonesian Nationhood. Asian Studies Review, 24: 377-410.

Kaligis, Retor AW (2012), Memaknai Ulang Persatuan Bangsa. INSANI,13: 87-91

Wibisono, Joss. 2012. Silang-Saling Indonesia-Eropa: dari Diktator Musik, hingga Bahasa. Jakarta: Marjin Kiri

 

Oleh: Muli

Grasp Your Dream and Sezise Your Chance through FISCO 2018

Kesempatan, Impian, kesuksesan adalah tiga kata yang dapat menggambarkan suasana acara seminar beasiswa berupa talkshow dan stand lembaga beasiswa yang dikenal dengan nama FISCO 2018. Pada Oktober 2018 ini, FISCO hadir sebagai FIB X Fikom Scholarship Expo dimana kolaborasi antara Departemen Advokasi Pelayanan Mahasiswa BEM BIMA Fikom Unpad Kabinet Archipelago dengan Departemen Advokasi Kesejahteraan Mahasiswa BEM GAMA FIB Kabinet Anantara bekerja sama mewujudkan acara seminar dan beasiswa dengan Grasp Your Dream and Sezise Your Chance. Mengusung tema tersebut, FISCO mendorong mahasiswa untuk mau mencoba hal baru yang dapat berdampak besar nantinya.  Tujuan acara FISCO berfokus pada memfasilitasi mahasiswa Universitas Padjadjaran khususnya Fakultas Ilmu Komunikasi dan Fakultas Ilmu Budaya dalam informasi beasiswa. FISCO juga dikemas semenarik mungkin dengan mengundang Orkestra Angklung FIB dan Komunitas Musik Fikom

Pada 9 Oktober 2018 di Selasar Gedung Dua dan Aula Moestopo Fakultas Ilmu Komunikasi dilangsungkan FISCO. Pukul 13.00 WIB pembukaan yang menakjubkan dipersembahkan oleh komunitas Orkestra Angklung FIB bertempat di Aula Moestopo. Pembukaan yang hangat dalam acara ini menarik perhatian para peserta. Peserta yang mengikuti seminar beasiswa ini diperkirakan berjumlah 200 orang dan untuk mengikuti acara FISCO tidak dipungut biaya bahkan mendapatkan Seminar KIT, Snack, dan juga Sertifikat.

Bertempat di aula Moestopo Fakultas Ilmu Komunikasi, seminar FISCO mengundang tiga pembicara yaitu Luh Manik Sinta Nareswari sebagai penerima beasiswa DAAD ke Cologne, Jerman. Kedua, Nenden Maryani sebagai Penerima beasiswa LPDP ke Moskow Rusia. Ketiga, Shendy Vegaziandra Arsandy sebagai penerima beasiswa KSE. Materi yang diberikan oleh ketiga pembicara dilaksanakan hingga pukul 17.00.

Sementara itu, di Selasar Gedung Dua Fakultas Ilmu Komunikasi dilangsungkan 7 stand lembaga beasiswa yang terdiri dari lembaga beasiswa ETOS, Unpad Berbagi, KSE, BRI, Rumah Kepemimpinan, Kader Surau dan Bakti Nusa. Stand dibuka pada pukul 15.00 dan memberikan kesempatan kepada seluruh mahasiswa yang ingin mencari informasi lebih dalam mengenai beasiswa.

Suasana seminar di Aula Moestopo dan Selasar Gedung Dua sangat interaktif. Bagaimana tidak, peserta FISCO dengan aktif dan antusias melontarkan berbagai pertanyaan yang menambah informasi mereka. Ditambah,  Penjaga stand dari 7 lembaga beasiswa cukup ramai dikunjungi mahasiswa. Tak jarang, mahasiswa yang berlalu lalang mengunjungi sebentar untuk bertanya. Panita FISCO juga mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengajak mahasiswa sekitaran Fikom untuk mengunjungi stand. Alhasil,itu menjadi perhatian dan beberapa mahasiswa yang berada di sekitar Fikom penasaran dan mengunjungi dan bertanya sedikit ke stand lembaga beasiswa.

Tepat pukul 17.00 seminar beasiswa selesai dan ditutup manis oleh penampilan Komunitas Musik Fikom. Kemudian peserta diarahkan untuk mengunjungi ketujuh stand beasiswa di selasar Gedung Dua. Sekitar 200 orang memadati selasar gedung dua. Ada yang bertanya, ada yang melihat-lihat, dan lain sebagainya. Tidak terasa, pukul 18.00 acara FISCO selesai seluruh peserta puas dengan apa yang didapatkannya terlebih peserta memiliki gambaran yang lebih jelas untuk mencoba beasiswa. Satu persatu peserta meninggalkan selasar gedung dua. Beberapa panitia Fisco membereskan peralatan acara. Itulah akhir dari acara FISCO.

Sebuah acara yang memang bertemakan akademik, tapi melalui FISCO acara akademik tersebut berkembang lebih dinamis serta interaktif. Pada akhirnya, FISCO merupakan acara yang mendorong mahasiswa untuk jangan pernah takut mencoba. Semua orang memiliki kesempatan yang sama, semua orang memiliki impian yang besar, dan semua orang memiliki kesempatan dan impian untuk menggapai kesuksesan. (apm/archipelago)

[ #OnThisDay ] Menghendaki Pluralisme a la Bob Dylan

 

Dua tahun yang lalu, pada tanggal yang sama seperti hari ini, Bob Dylan dianugerahkan Nobel Prize for Literacy Award. Penghargaan tersebut menceritakan banyak pelajaran bagi kita, terutama tentang hasrat Dylan akan pluralisme. Karya-karyanya sangat penting bagi kehidupan saat ini, di mana batas antara yang di sini dengan yang di sana kian kabur dan ide “ini” dan “itu”  selalu bersinggungan.

Tanah Air Memupuk Karakter Dylan

Tanah-air jadi penggalan sejarah yang penting bagi terbentuknya seorang Dylan. Ia bertumbuh-kembang di desa Hibbing, Minnesota bagian utara, AS, yang punya kekayaan alam melimpah, terutama tambang metal. Potensi alam tersebut jadi daya tarik para penduduk Eropa untuk bermigrasi. Bob Spitz dalam Bob Dylan: A Biography(2014), mengisahkan pada transisi menuju abad-20, terdapat 43 kewarganegaraan yang tinggal di sana dan sebagian besar populasinya bekerja menambang metal, disusul oleh berbisnis di Blind Pig Saloon(bisnis alkohol berkedok salon untuk kelas-bawah), dan pengrajin.  Arus migran tersebut menghadirkan keberagaman budaya dan agama di waktu bersamaan. Ini berbanding lurus dengan menegangnya hubungan antara penduduk katolik sebagai agama mayoritas dan komunitas Yahudi yang bisa dihitung jari. Kondisi tersebut tidak banyak berubah saat Robert Allan Zimmerman atau Bobby atau Bob Dylan dilhairkan, 24 Mei 1941, sehingga Dylan menyaksikan situasi masyarakat yang plural dan punya potensi konflik. Walaupun begitu, Ia belum memahami betul realitas tersebut.

Ayah dan ibunya, Abe Zimmerman dan Beatty Stone, adalah pemeluk Yahudi dari komunitas misionaris yang taat. Buyut Bobby, Benjamin Harold, merupakan bagian dari generasi Yahudi pertama di Hibbing, seorang pandai besi asal Lithuania yang bermigrasi pada awal abad-20. Sejak generasi buyut sampai ibunya, tensi tinggi antar-agama meminimalisir hubungan sosial pemeluk Yahudi dengan penduduk non-Yahudi. Perhatian mereka terfokuskan pada masalah dapur dan anak-anaknya. Ibunya sibuk bekerja di toko, sementara ayahnya sibuk sebagai teknisi. Sepanjang pekan, ia selalu langsung pulang ke rumahnya di sebuah kawasan suburban, untuk asyik dengan radio, menulis puisi, bermain piano, dan melukis. Sekali waktu, ia membeli tiket kereta seorang diri dengan tujuan entah kemana. Dengan waktu luangnya yang dihabiskan sendirian hampir tiap waktu, Ia terbiasa memikirkan hal-hal yang imajinatif, melampaui kenyataan yang ada di sekitarnya. Suatu karakter yang terus berkembang hingga Ia berkarir menciptakan kritik-kritik yang puitis, lirik-lirik yang seperti jatuh dari surga.

Tumbuhnya Kritisisme

Pada umur empat belas, ia mulai berlangganan rekaman musik rock dan blues. Anggapan katolik puritan Hibbing waku itu, musik rock datang dari setan dan mendengarnya justru mendegradasi moral. Bobby punya alasan mengapa ia terus menyetel keras-keras No-Name Jive, program radio KWKH yang memutar lagu jungle/rock, bahwa ia hendak mengatakan: fuck y*u. Beberapa tahun setelahnya, dia membentuk band tanpa nama bersama pemuda Hibbing lainnya, membawakan musik Rock-Blues.

Hasrat kritisnya baru terbentuk saat ia berkuliah di University of Minnesota pada 1959, bersamaan dengan bergantinya genre musiknya dari rock menjadi folk(Bob Spitz: 2014). Waktu itu, Bobby tergabung bersama mahasiswa lainnya dalam komunitas Dinkytown, suatu daerah seperti Jatinangor, Sumedang ataupun Dipatiukur, Bandung yang menjadi sentra dagang karena kehadiran mahasiswa. Di sana, para mahasiswa menganut jalan hidup hipe, suatu bentuk perlawanan perseptual terhadap norma-norma kelas menengah beserta American Dream-nya. Komunitas ini saat itu juga akrab dengan wacana Sosialisme, Kiri Baru, Perang Teluk Babi, dan HAM.

Kebetulan, cara terfavorit mereka, termasuk Bobby, untuk mewujudkan eksistensi idealisme ini adalah bermusik di kafe, taman, dan pub. Sejak saat itu, Bobby tekun dalam mengembangkan musik folk-nya yang profetik , juga dipengaruhi Joan Baez dan Aaron Coppland. suatu bekal pentingnya untuk meluaskan narasi kedamaian di sepanjang 32 album dan single-single-nya, dan, tentunya, meraih nobel.

Belajar Kosmopolis dari Karya Dylan

Dylan menghadirkan sautu liturgi yang punya jangkauan lebih luas dari yang hari-hari ini biasa ditampilkan umat beragama dalam masyarakat kosmopolis(berlatarbelakang beragam). Ini terdapat pada lirik-liriknya yang merangkul segala identitas agama, budaya dan politik, untuk disatukan menjadi civil society(Mitchell: 2006).Ia merangkum kewarasan sikap masyarakat kosmopolis layaknya para nabi. Ini meneguhkan penghargaan nobel baginya, bahwa jika memahami literatur tertulis tentang peradaban memang sulit, orang-orang banyak cukup mendengarkan musik-musik Dylan untuk memahami pluralisme beserta urgensinya. Sudah banyak usaha dari banyak orang untuk membuktikan, bahwa lirik-liriknya  punya kemagisan seperti syair-syair Rumi dan Hafez, bahkan ayat-ayat bibel dan al-quran. Dalam The-Times They Are a-Changin(1963), Bobby melagukan:

If your time to you
Is worth savin’
Then you better start swimmin’
Or you’ll sink like a stone
For the times they are a-changin’.

Barisan larik tersebut berpesan bahwa situasi yang membahayakan perlu diatasi, dengan berenang menyelamatkan diri. Bahwa dunia kini rusak hingga orang-orang perlu keluar dari kerusakannya. Intoleransi, sentimen, dan esklusivitas sempit menjadi kerusakan itu sendiri, seperti yang ditunjukan Global Piece Index 2018. Maka, orang-orang selayaknya menyelamatkan diri dari petaka tersebut. Pluralisme, adalah suatu yang ditawarkannya karena Ia berseru pada siapapun yang sadar(come gather round people..), bahwa pertikaian antar-identitas akan membahayakan peradaban, mesti bersatu:

Come gather ’round people

Wherever you roam

And admit that the waters

Around you have grown

And accept it that soon

You’ll be drenched to the bone

Optimismenya untuk keluar dari permasalahan ini, mirip dengan bibel dan serupa dengan qur’an. Tidak cukup dengan berharap, ia melagukan cara-cara konkrit untuk mencapainya. Bukan dengan senjata ataupun konsesi politik, melainkan dengan pena. Ya, pena!

Come writers and critics

Who prophesize with your pen

And keep your eyes wide

The chance won’t come again

And don’t speak too soon

For the wheel’s still in spin…….

And the first one now

Will later be last..

Keyakinan bahwa status quo yang memperkeruh pertikaian dan masyarakat yang terfragmentasi akan berganti, memberikan pelajaran serupa seperti yang diberikan St. Mark 31:  ‘But many that are first shall be last; and the last first’. Itu artinya, masyarakat yang saling memedulikan satu sama lain, hendak dituju. Cara menggunakan pena yang didendangkan Dylan untuk mewujudkannya pun senada dengan firman dalam Al-Quran(16:90):  ‘Allah orders justice and good conduct and giving to relatives and forbids immorality and bad conduct and oppression

Begitupun dengan karya-karya anti-perangnya seperti Masters of War(1963), Hard Rains Gonna Fall(1963), dan Blowing in The Wind(1961), memuat semangat perdamaian Martin Luther, Rabbi HeschelGandhi, dan Malcolm X. Ia menyindir tindakan AS yang rajin melancarkan agresi dengan alasan perbedaan corak pemerintahan, seperti pada Perang Vietnam, Irak dan Afghanistan, Nikaragua, dan Republik Dominika. Dalam With God on Our Side, Bobby menyindir orang-orang AS yang menjustifikasi bahwa peperangan tersebut mesti dihadapi karena tuhan bersama kita, maka ini(perang) adalah pahala.

Melihat hasil kerja seorang anak Yahudi yang taat ini, setidaknya bisa dipetik pelajaran bahwa perdamaian bisa diwujudkan dengan berbagai macam cara. Termasuk dengan bermusik. Di samping itu, pelajaran terpenting dan terutama untuk saat ini yang mesti diamalkan adalah, bahwa bersama-sama kita mesti sadar bahwa situasi yang membahayakan adalah ketika perbedaan digunakan untuk perpecahan.

 

Oleh: Muli

Departemen Kajian dan Aksi Strategis

Bidang Sosial dan Masyarakat

BEM Bima Fikom Unpad

Kabinet Archipelago

2018

[ #OnThisDay ] Hoax Ditengah Bencana, Refleksi Gempa Kolkata 1737

“Gempa” Kolkata 1737, India

 

Masih segar dalam ingatan gempa besar dengan magnitudo 7.0  yang mengguncang Lombok, korban jiwa tercatat sebanyak 563 jiwa. Gempa ini juga mengakibatkan 390.529 orang kehilangan tempat tinggal dan mengungsi. Gempa ini mengalihkan perhatian publik yang semula tertuju pada event Asian Games 2018 serta drama menjelang Pilpres 2019. Belum selesai duka di Lombok, pada 22 September 2018 gempa bermagnitudo 7,7 mengguncang Sulawesi Tengah hingga mengakibatkan tsunami setinggi  11,3 meter yang meluluhlantakan kota Palu, Donggala, dan Mamuju. Menurut humas BNPB tercatat korban jiwa akibat gempa Palu sebanyak 2.045 orang yang tersebar di Kota Palu dan berbagai kabupaten disekitarnya. Gempa ini juga mengakibatkan 10.679 orang mengalami luka-luka dan 82.775 orang kehilangan tempat tinggal dan mengungsi.

Bencana di Palu dan Lombok juga membuka ingatan lama masyarakat tentang dahsyatnya gempa bermagnitudo 9,0 serta Tsunami setinggi 30 meter yang melanda Aceh serta beberapa negara di sekitaran Samudera Hindia 14 tahun yang lalu, ketika itu korban jiwa di Aceh saja tercatat lebih dari 100.000 orang serta ratusan ribu lainnya mengungsi ke tempat yang lebih aman. Belum termasuk korban jiwa dan pengungsi dari Negara lainnya seperti Sri Lanka, Thailand, Malaysia, India dan Negara-negara lainnya yang terkena dampak dari gempa Aceh. Bencana ini juga tercatat sebagai salah satu bencana alam terbesar pada era modern. Masyarakat sebagian besar masih trauma dengan bencana alam yang terjadi, ingatan segar tentang tsunami Aceh juga masih membekas di masyarakat. Ketakutan tersebut diperparah dengan merebaknya hoax tentang bencana yang muncul di media sosial. seperti laporan sensasional tentang gempa bermagnitudo 8,9 yang akan melanda Jakarta dan sekitarnya dan isempat membuat kepanikan di tengah masyarakat ibukota sebelum akhirnya diklarifikasi oleh BMKG.

Bencana alam seperti gempa bumi bukanlah hal baru yang terjadi dalam sejarah, jutaan tahun yang lalu gempa sudah terjadi akibat pergeseran lempeng yang terus-menerus, beberapa gempa berkekuatan besar juga diikuti oleh tsunami dan memakan korban jiwa. Manusia sudah mengenal bencana alam semenjak zaman prasejarah. Sebelum adanya kamera, manusia mengabadikan kejadian dengan catatan sejarah baik dalam cerita turun-temurun serta lewat tulisan. Salah satu catatan sejarah tentang bencana alam yang terkenal adalah peristiwa bencana alam yang terjadi di Kolkata pada 11 Oktober 1737, yang mengakibatkan korban jiwa sebanyak 300.000 jiwa serta membuat kota pelabuhan Kolkata rusak berat. Namun beratus tahun setelahnya sejarawan mulai meragukan angka kematian yang begitu besar, dikarenakan informasi yang beredar di surat kabar (semula menjadi referensi) bertentangan dengan catatan pelaut yang sedang berada di Kolkata pada saat peristiwa terjadi.

Awalnya sejarawan mendapat informasi tentang bencana alam di Kolkata  dari catatan Thomas Oldham (1883) seorang ahli geologi Inggris yang mencari data tentang gempa di India. Oldham mengutip Gentleman’s Magazine edisi  Juni 1738-1739, yang berbunyi: “bahwa pada malam 11 Oktober 1737 terjadi badai hebat di mulut Sungai Gangga yang mengakibatkan air bah meluap dari sungai, kemudian pada saat yang bersamaan juga terjadi gempa bumi besar yang menghancurkan seluruh kota di sepanjang sisi sungai. Di Golgotta (Kolkata) saja, sebuah pelabuhan milik Inggris, dua ratus rumah serta sebuah menara gereja Inggris yang luar biasa tinggi tenggelam kedalam tanah tanpa patah. Juga dihitung bahwa sebanyak 20.000 kapal, barque, kapal-kapal kecil, perahu, dan sampan telah hanyut, termasuk Sembilan kapal Inggris di Sungai Gangga.“ (The 1737 Calcutta Earthquake and Cyclone Evaluated, 1994)

Oldham juga mengutip surat kabar London Magazine Juni 1738 yang berbunyi: “Pada malam antara 11 atau 12 Oktober lalu, terjadi badai yang mengamuk di hilir Sungai Gangga. Dan pada saat yang bersamaan terjadi guncangan keras dari gempa bumi yang menghancurkan banyak sekali rumah di sepanjang tepian sungai, di Golgotta (Kolkata) sebanyak 200 rumah hancur dan sebuah menara gereja Inggris yang tinggi dan megah tenggelam ke tanah tanpa patah. Diperkirakan 20.000 kapal dan perahu telah hanyut. Dari 9 kapal Inggris, 8 hilang dan sebagian besar tenggelam. Dari empat kapal Belanda di sungai, 3 hilang dengan semua kru dan kargo. 300.000 jiwa melayang dan air naik empat puluh kaki lebih tinggi dari biasanya di Sungai Gangga.” (The 1737 Calcutta Earthquake and Cyclone Evaluated, 1994)

Namun banyak dari infomasi yang beredar di surat kabar bertentangan dengan catatan pelaut yang berada di Kolkata saat bencana terjadi, terutama tentang bencana alam yang terjadi masih belum jelas apakah gempa bumi atau badai besar sehingga menimbulkan kebigungan dikalangan sejarawan. Juga angka korban tewas sendiri cenderung dibesar-besarkan,hal ini dibuktikan dalam jurnal The 1737 Calcutta Earthquake and Cyclone Evaluated  karya Roger Bilham (1994) yang memuat  catatan Thomas Joshua Moore, seorang kolektor yang bekerja untuk East India Company (EIC) di Kolkata yang sedang berada di lokasi saat kejadian berlangsung. Menurut catatan Moore melaporkan ‘bahwa sebuah bencana alam besar telah terjadi di Kolkata pada 11 Oktober 1737. Air bah menghancurkan sebagian besar bangunan di kota, air bah juga menghancurkan pelabuhan-pelabuhan Eropa di sekitar kota dan menurut perkiraan Moore bencana tersebut menelan setidaknya lebih dari 3000 korban jiwa.” Dalam catatan Moore tak jelas bencana seperti apa yang terjadi, entah gempa bumi, tsunami, atau badai yang menghancurkan Kota Pelabuhan Kolkata. Yang jelas bencana tersebut telah merusak sebagian besar kota dan membuat ribuan jiwa melayang.

Tak hanya Moore yang menjadi saksi dari bencana besar tersebut, banyak pelaut Eropa lainnya yang pada waktu itu sedang berada di Kolkata saat bencana terbesar dalam sejarah tersebut terjadi. Mereka juga menjadi saksi mata langsung bencana besar ini. Pelaut Inggris dan Eropa lainnya di beberapa kapal dagang juga melaporkan bahwa setidaknya 20.000 kapal yang bersandar di Pelabuhan Kolkata hancur akibat bencana alam besar ini. Dalam deskripsi yang dijelaskan bahwa bencana alam ini disebabkan oleh angin topan yang menyebabkan badai besar, namun ketika laporan ini sampai ke Eropa, bencana di Kolkata disebabkan oleh hal lain yaitu gempa bumi besar.

Sensus pada abad ke 18 menunjukkan bahwa populasi Kota Kolkata hanya 20.000 jiwa saja, ini sudah termasuk populasi yang tinggal baik di perkotaan maupun pedesaan disekitar Kolkata. Berbanding terbalik dengan jumlah korban jiwa yang dilaporkan di surat kabar yang mencatat angka 300.000 jiwa yang justru melebihi jumlah dari penduduk Kolkata sendiri, sebuah angka yang fantastis.

 

 

Meskipun bukti tentang bencana apa yang terjadi di Kolkata masih simpang-siur dan jumlah korban tewas masih dipertanyakan, literatur populer sampai sekarang masih mencatat angka 300.000 korban jiwa dan penyebabnya sebagai gempa bumi. Ada dugaan penggunaan framing dalam penulisan berita pada peristiwa itu untuk memunculkan sensasionalisme, seperti membesarkan laporan awal dari semula 3.000 korban tewas menjadi “300.000”, serta dua bencana yang terjadi sekaligus dalam satu waktu untuk menciptakan lebih banyak rasa takut dan ketertarikan di kalangan pembaca awal abad ke-18. Meskipun sensasionalisme untuk menjual berita ini tidak pernah terbukti, tidak menutup kemungkinan para editor membungkus peristiwa tersebut dengan cerita “gempa bumi” karena itu akan  lebih banyak menarik minat di kalangan pembacanya. (The 1737 Calcutta Earthquake and Cyclone Evaluated, 1994).

Terlepas dari bencana apapun yang terjadi di Kolkata pada 1737 baik itu badai besar ataupun gempa bumi, peristiwa tersebut merupakan bencana besar yang telah menelan banyak korban. Bencana tersebut telah merenggut banyak nyawa dan menghancurkan tempat tinggal masyarakat disana. dan itu merupakan fakta yang tak bisa disangkal, hoax tentang bencana alam memang sudah lama muncul dan menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat. Jika hal ini dibiarkan tentu akan menimbulkan kepanikan yang tak perlu dan dapat merugikan masyarakat yang menjadi korban bencana. Tetap perlu hati-hati dan kritis dalam menyikapi informasi yang beredar meski ditengah kepanikan sekalipun.

 

Penulis:

M. Izzat

 

Daftar Pustaka

 

Departemen Kajian dan Aksi Strategis

Bidang Sosial dan Masyarakat

BEM Bima Fikom Unpad 2018

Kabinet Archipelago

BERGURU PADA ‘THE GRAND OLD MAN’ INDONESIA

K. H. Agus Salim ( src: en.wikipedia.org )

KH Agus Salim. Seorang pejuang, pemimpin, politikus, diplomat dan masih banyak lagi sebutan baginya sebagai seorang manusia Indonesia yang lahir di Kota Agam, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884. Maka pada tahun ini, telah sampailah usia almarhum pada angka 134 tahun. Telah berlalu satu abad sejak ia dilahirkan dan telah 64 tahun sejak ia wafat. Namanya tetap akan menjadi kenang-kenangan indah bagi sesiapa yang mau belajar darinya. Memelajari sejarahnya.

Dialah putra keempat Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Sebagai putra seorang jaksa, Agus Salim dapat menyelesaikan sekolahnya hingga setara SMA di HBS (Hogere Burger School) 5 tahun pada usia 19 tahun dengan menyandang predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Setelah menamatkan studinya, Agus Salim berkeinginan melanjutkan kuliah di bidang kedokteran di Belanda. Namun, karena keterbatasan biaya, penolakan pemerintah Belanda untuk memberikan beasiswa kepadanya membuatnya gagal melanjutkan sekolah kedokteran. Bahkan, Kartini, gadis Jepara yang kala itu mendengar cita-cita Agus Salim, berusaha membantu dengan mengalihkan dana beasiswanya dari pemerintah belanda kepada Agus Salim. Akan tetapi, karena kekecewaannya terhadap ketidakadilan pemerintah kolonial (antara keturunan bangsawan dengan putra inlander), Agus Salim memilih untuk menolak beasiswa tersebut.

Meski gagal melanjutkan ke sekolah yang ia impikan, sesungguhnya Agus Salim tidak sedikit pun berhenti akan mimpi-mimpinya. Tidak lama setelahnya, pada tahun 1905, Agus Salim memilih berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Hindia Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, ia kembali memperdalam ilmu agamanya. Ia belajar di Jeddah dibawah naungan pamannya yang berasal dari Minang dan telah menjadi ulama di Makkah, Syekh Ahmad Khotib. Pekerjaan yang dijalaninya di Jeddah dan tugasnya sebagai penerjemah membawanya menjadi pemuda dengan penghasilan yang cukup tinggi pada masa itu.

Setelah lima tahun, Agus Salim kembali ke Hindia Belanda dan bekerja di Bureau voor Openbare Werken (BOW)—Jawatan Pekerjaan Umum—hingga tahun 1912. Selama 1912 hingga 1915, Salim membuka sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Pernah juga ia jadi redaktur bahasa Melayu dalam Commissie voor de Volkslectuur—yang belakangan jadi Balai Pustaka. Ia mulai terjun ke dunia pergerakan nasional. Meskipun akhirnya ia keluar dari BOW, pemerintah Hindia Belanda masih tetap memercayainya melakukan tugas-tugas khusus menangani kaum pergerakan, ini terjadi pada masa sebelum Agus Salim memutuskan berdiri sejajar bersama Sarekat Islam. Ia pernah ditugaskan untuk menjadi mata-mata polisi Belanda yang hadir dalam rapat SI, karena pada waktu itu terdengar desas-desus yang menyatakan bahwa Tjokroaminoto bekerjasama dengan Jerman untuk melakukan pemberontakan di tanah Jawa. Namun, desas-desus tersebut berakhir dengan tidak adanya pemberontakan dalam bentuk apa pun.

Terjun menjadi antek belanda dalam menyelidiki pergerakan nasional, Agus Salim justru malah berbalik dan mendukung Sarekat Islam. Ia juga mengambil jalan sebagai politikus, meskipun karir politiknya tidak dapat benar-benar dibilang mulus. Agus Salim resmi bergabung di SI pada tahun 1951 sekaligus juga menjadi Anggota Dewan Rakyat Volksraad bersama dengan Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Bahkan pada tahun 1921-1924 selama empat tahun, ia menggantikan posisi kedua tokoh tersebut yang telah keluar lebih dulu dari keanggotaan Volksraad dengan alasan kekecewaan terhadap pemerintah Belanda. Akan tetapi, pada akhirnya Agus Salim menyadari posisinya dan memutuskan untuk fokus pada SI.

Sebelum itu, pada tahun 1923 terjadi perselisihan di antara orang dalam SI. Pasalnya Semaun dan kawan-kawannya  menginginkan SI condong pada pemikiran kiri dan berhasil membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI. Sementara Agus Salim tetap mempertahankan dirinya dalam SI, hingga akhirnya kedua orang tersebut menjadi musuh dalam pergerakan.

Selain SI ia juga menjadi salah satu penggerak Jong Islamiten Bond. Di sini ia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku. Dengan pemahaman ilmu agamanya, ia membuat posisi perempuan dalam pertemuan yang sebelumnya berada di belakang pria dan dibatasi dengan tabir, akhirnya diberikan tempat yang sejajar dengan tempat duduk pria.

Reputasinya telah dikenal jauh. Bahkan selain sebagai tokoh pergerakan, Agus Salim juga dikenal sebagai diplomat yang andal. Ialah tokoh yang sangat berjasa dalam menggalang kepercayaan bangsa-bangsa di Timur Tengah untuk mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Disebabkan oleh kemampuan diplomasinya inilah kemudian ia dijuluki sebagai ‘The Grand Old Man’, yang kemudian dikisahkan kembali melalui novel berjudul sama, ditulis oleh Haris Priyatna dan terbit pada tahun 2017. Mengenai kemampuannya berdiplomasi, Agus Salim sendiri sejak mudanya setidaknya telah menguasi 9 bahasa. Hal itu menjadi pendukung karirnya bahkan setelah kemerdekaan Indonesia ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kemampuannya dalam berdiplomasi membuat ia dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah adanya pengakuan kedaulatan, Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.

Tidak hanya terjun dalam politik, ia juga terjun dalam dunia jurnalistik. Ia pernah menulis buku ‘‘Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauhid Harus Dipahamkan’’ sebagai buah karyanya. Agus Salim bahkan pernah merintis karir sebagai Redaktur II Harian Neratja dan diangkat menjadi Ketua Redaktur. Ia juga pernah menjabat sebagai pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta.

Sederet profesi telah dijalaninya. Tak lama setelah kembali ke tanah air dari Jeddah, sebagai pemuda yang berpenghasilan cukup tinggi, ia kemudian kembali ke kampung halamannya, menikah dan memiliki 10 orang anak dari perempuan Minang bernama Zainatun Nahar Almatsier. Bersama keluarganya inilah selanjutnya Agus Salim menjalani hidupnya dalam kesederhanaan. Memilih bertahan dalam kezuhudan. Meskipun pada saat itu, Sarekat Islam yang dipimpinnya merupakan organisasi yang besar.

Di luar, Agus Salim adalah sosok penggerak yang tidak kenal takut, ia adalah pemimpin yang memberikan contoh nyata bahwa memimpin dan menjadi seorang pemimpin bukanlah suatu hal yang mudah. Sebagaimana Mohamad Roem menceritakan pengalamannya mengunjungi bedeng kontrakan keluarga Haji Agus Salim sekitar 1920-1930an bersama Kasman Singodimedjo muda. Pengalaman itu diceritakan Roem dalam tulisan di Prisma No 8, Agustus 1977, dengan judul, Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita.” Haji Agus Salim juga dikenal sebagai pribadi dengan jiwa yang bebas, cerdas, dan religius.

Agus Salim juga memimpin keluarganya dalam mengarungi hidup. Ia mampu menjadikan segala kesusahan hidup sebagai pelajaran yang dapat ia sampaikan kepada anak-anaknya. Begitulah cara anak-anaknya tumbuh tanpa pendidikan formal.  Sebab bagi Agus Salim sendiri, pendidikan yang diberikan kehidupan telah lebih dari cukup membawanya pada titik di mana ia berada.  Dengan kecerdasannya menjalani kehidupan, ia beserta keluarganya menjadi contoh nyata seorang manusia mulia yang mengetahui posisi sebagaimana mestinya, yang menikmati kehidupan sebagaimana adanya, dengan tetap bersyukur dan terus belajar dari apa yang ada di sekelilingnya. Kehidupan seorang pemimpin yang relijius bersanding dengan kepribadian bebas dan sikap nasionalismenya, Agus Salim telah mencatatkan namanya sendiri dalam sejarah. Menjadi tokoh yang dikagumi dan disegani. Menjadi tokoh yang bahkan setelah kematiannya, masih dijadikan contoh dan tempat belajar.

Referensi         :

https:// tirto.id/memimpin-itu-menderita-seperti-agus-salim-czgj

 https:// tirto.id/pendidikan-tanpa-sekolah-ala-agus-salim-cnSC

https://m.merdeka.com/pendidikan/kisah-agus-salim-pejuang-kemerdekaan-yang-juga-menekuni-jurnalistik.html

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/06/07/kisah-k-h-agus-salim-dan-diplomasi-pertama-ri-tahun-1947-diangkat-menjadi-novel

Departemen Kajian dan Aksi Strategis

BEM Bima Fikom Unpad 2018

Kabinet Archipelago

[ BEYOND ] Fikom Peduli Jatinangor: Satu Langkah Lebih dekat bersama warga Jatinangor

 

Sebagai salah satu bentuk mewujudkan salah satu tri dharma perguruan tinggi dilingkungan kampus Fikom Unpad, Departemen Pengabdian Masyarakat BEM Bima Fikom Unpad mengadakan kegiatan Fikom Peduli Jatinangor yang berisi penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan gratis bagi warga Jatinangor sekitar kampus Fikom Unpad. Selain itu kegiatan ini memiliki tujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pola makan dan hidup yang sehat. Kegiatan Fikom Peduli Jatinangor ini juga sekaligus menjadi Pra-event dalam acara “Beyond: Break your limit” yang juga diselenggarakan oleh BEM Bima Fikom Unpad.

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober 2018 di Unpad Jatinangor. 100 warga Jatinangor ditargetkan untuk datang dan mengikuti acara ini, yang meliputi pemeriksaan tensi darah, gula darah, kolesterol, dan lainnya tanpa dipungut biaya apapun. Setelah dilakukan pengecekan kesehatan, dilaksanakan pula penyuluhan mengenai pola makan dan hidup sehat oleh pengisi acara yang tentu sudah ahli dibidangnya. Para peserta dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan seputar topik yang terkait kepada narasumber.

Selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan warga Jatinangor, hal ini juga dilakukan untuk mendekatkan mahasiswa Unpad, khususnya Fikom Unpad kepada lingkungan masyarakat sekitar. Sebagai lembaga yang berdiri di tanah Jatinangor tentu harus semestinya harus memberi kontribusi positif terhadap lingkungan sekitar. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan dapat terjalinnya hubungan yang dekat dan harmonis antara Mahasiswa khususnya Fikom Unpad dan warga masyarakat Jatinangor.

(pengmas/bem)

[ RILIS DISKUSI ] UJARAN SEKSUAL DALAM RUANG PUBLIK: “Rahim Anget” Karena Tubuh Jojo

 

 

Lensa Deliberation: Ujaran Seksual Dalam Ruang Publik

Media sosial baru-baru ini hangat memperbincangkan seorang atlet di Asian Games bernama Jonathan Christie, atau yang biasa dipanggil Jojo. Atlet Indonesia yang mendapat medali emas cabang olahraga bulu tangkis ini melejit namanya bukan hanya karena prestasinya, sebagian orang mengatakan ketenarannya di muka publik juga dikarenakan paras dan aksinya yang menarik perhatian. Selebrasi “Buka baju” ala Jojo di dua laga final Asian Games cabang olahraga bulu tangkis tunggal putra menyebabkan namanya menjadi sorotan. Banyak penggunaa media sosial yang menuliskan komentar terkait hal tersebut, sebagian besar di antaranya adalah perempuan. Komentar-komentar tersebut tidak hanya berisi pujian dan ekspresi kekaguman, beberapa warganet juga menuliskan ekspresi seksual mereka melalui komentar seperti:

 “#jojobukabaju kenapa sih cuma kaosnya doang yang dibuka .. Gemes deh pengen merosotin celananya HAHAHA ..”

“Aaak gantengnya! Rahim gue anget”

Selain rahim anget, ada pula beberapa kalimat yang menjadi populer di media sosial belakangan ini misalnya “ovarium meledak”, “tuba fallopi bergetar”, “serviks melebar”, hingga “hamil online”.

Berdasarkan fenomena tersebut, Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Fikom Unpad, pada Kamis (13/9) mengadakan diskusi bersama beberapa mahasiswa Fikom Unpad. Hasil diskusi tersebut menyebutkan bahwa komentar-komentar yang ditulis warganet terkait Jojo merupakan bentuk dari ujaran seksual. Ujaran seksual sendiri memang belum memiliki definisi pasti, tetapi berdasarkan makna dari masing-masing kata, ujaran berarti kalimat yang dilisankan dan seksual berarti berkaitan dengan seks atau jenis kelamin. Seperti halnya ujaran seksual, ekspresi seksual pun belum memiliki definisi pasti, akan tetapi seorang Penulis dan Praktisi Pendidikan Seksual bernama Cory Silverberg menyatakan bahwa ekspresi seksual tidak hanya terbatas pada pengungkapan aktivitas seksual semata, ekspresi seksual juga meliputi pikiran, perasaan, hasrat, harapan, dan bahkan impian terkait seksualitas.

Berkaitan dengan komentar-komentar yang dilontarkan oleh warganet tersebut sebagian orang menganggap hal tersebut sebagai ekspresi seksual belaka, alasannya karena dalam mengungkapkan komentar tersebut tidak ada relasi kuasa yang dimiliki warganet terhadap Jojo. Sebagaimana menurut Pengamat Gender dan Seksualitas UI, Irwan Hidayana menyampaikan bahwa bisa jadi komentar-komentar tersebut menjadi kebanggan bagi Jojo sebagai laki-laki karena memiliki tubuh maskulin yang (dianggap) ideal berdasarkan konstruksi sosial masyarakat saat ini.

Objektifikasi kepada bentuk tubuh orang disini terlalu dibesar-besarkan oleh media dan kita tidak bisa menyalahkan media sepenuhnya karena disitulah fungsi atau peruntukan media. Banyak pendapat yang bermunculan pada kasus ini yang intinya hanya dibuat media untuk membentuk persepsi di masyarakat. Di media sosial semua orang dapat meberikan atau mengutarakan pendapatnya karena media sosial merupakan ruang yang bebas.

Namun, sebagian yang lain mengatakan bahwa hal tersebut sudah masuk pada ranah seksis dan merupakan suatu tindak pelecehan seksual. Hal ini karena komentar-komentar tersebut dirasa tidak menghargai Jojo sebagai atlet, meskipun Jojo sendiri tidak menyadari bahwa komentar-komentar yang ditujukan kepadanya mengarah pada pelecehan seksual, tetapi fonemenai ini jelas menunjukkan adanya objektifikasi tubuh Jojo sebagai atlet.

Beberapa orang beranggapan bahwa seharusnya kasus seperti ini tidak seharusnya dibesar-besarkan karena dianggap sebagai candaan biasa. Hal tersebut sering terjadi dan beberapa orang yang menjadi sasaran juga tidak mempermasalahkannya atau bahkan bangga dengan ujaran seperti itu. Di kalangan feminis, “pelecehan” yang menimpa Jojo menjadi permasalahan besar karena sering terjadi di media sosial. Ini dikarenakan teori feminisme memiliki landasan yang kuat terkait dengan objektifikasi di media sosial.

Dalam teori-teori feminisme, ada banyak perspektif dari yang menyatakan bahwa objektifikasi yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki adalah tidak sama. Beberapa argumen dari teori feminisme, khususnya dari gelombang kedua, yang menyediakan argumentasi yang kuat dalam analisis patriarki. Perspektif pertama yang paling sederhana adalah perspektif budaya pemerkosaan. Budaya pemerkosaan memosisikan perempuan selalu sebagai objek seksual yang agensinya tiba-tiba berubah ketika ia menjadi korban. Perempuan selalu dilihat sebagai tubuh dan wajahnya saja, tidak peduli apa pun profesinya, apakah seorang jurnalis, hakim, akuntan, atau dokter, sehingga selalu ada embel-embel penampilan fisik seperti “politikus cantik”, “dokter cantik”, sampai “mayat cantik”. Tetapi ketika perempuan menjadi korban pelecehan dan pemerkosaan, perempuan disalahkan karena dianggap memancing tindakan-tindakan tersebut.

Objektifikasi perempuan terjadi karena masyarakat kita mempunyai budaya pemerkosaan yang menyerang feminitas. Perempuan yang memiliki keperempuanan dianggap inferior dan wajar apabila dikuasai melalui pemerkosaan. Objektifikasi perempuan adalah bagian dari penguasaan kelelakian terhadap keperempuanan dan dalam bentuk-bentuk lebih lanjut menjadi pelecehan atau pemerkosaan.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil diskusi yang diadakan Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Fikom Unpad, pada Kamis (13/9) menyebutkan bahwa komentar-komentar yang ditulis warganet terkait Jojo merupakan bentuk dari ujaran seksual. Berdasarkan makna dari masing-masing kata, ujaran berarti kalimat yang dilisankan dan seksual berarti berkaitan dengan seks atau jenis kelamin. Sebagian orang menganggap hal tersebut sebagai ekspresi seksual belaka, sebagaimana menurut Pengamat Gender dan Seksualitas UI, Irwan Hidayana menyampaikan bahwa bisa jadi komentar-komentar tersebut menjadi kebanggan bagi Jojo sebagai laki-laki karena memiliki tubuh maskulin yang (dianggap) ideal berdasarkan konstruksi sosial masyarakat saat ini. Sebagian orang yang lain beranggapan bahwa seharusnya kasus seperti ini tidak seharusnya dibesar-besarkan karena dianggap sebagai candaan biasa. Di kalangan feminis, “pelecehan” yang menimpa Jojo menjadi permasalahan besar karena sering terjadi di media sosial. Berbeda dengan kalangan anti-feminis yang merespon masalah tersebut adalah bumerang kepada kalangan feminis karena korban pada kasus ini adalah laki-laki dan beranggapan ini merupakan bentuk “perlawanan” perempuan kepada lawan jenisnya karena biasa dijadikan objek pelecehan.

Oleh: Dita Ariane dan Siti Nurul F

 

Departemen Kajian dan Aksi Strategis

BEM Bima Fikom Unpad 2018

Kabinet Archipelago