[PRESS RELEASE] DISKUSI DAN NONTON BARENG “SEXY KILLERS”

Pada Jumat, 12 April 2019 telah dilaksanakan acara menonton film “Sexy Killers: Ekspedisi Indonesia Biru” dan dilanjutkan dengan diskusi dengan pemantik, Pandu Sujiwo Kusumo dari Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD).

 

Film ini diawali dengan cerita ekspedisi ke daerah Kalimantan dimana banyak petani yang tinggal dekat lingkungan tambang batu bara dan menyebabkan para petani tidak mendapatkan air bersih dan juga menghalau air bersih untuk sawah dan kebun milik para petani. Ketika ada seorang petani yang melakukan aksi protes, ia justru ditahan selama 3 bulan. Tak hanya itu, banyak juga warga yang meninggal akibat tertimbun galian batu bara yang tak direklamasi. Sebanyak 115 jiwa melayang terhitung dari tahun 2014-2018. Tak hanya orang dewasa, anak kecil pun menjadi korban.

 

Dalam debat capres kedua tahun 2019, turut membahas mengenai bekas tambang yang belum di reklamasi. Prabowo Subianto mengatakan akan mengejar oknum-oknum yang tidak menaati peraturan. Joko Widodo menyatakan bahwa satu persatu masalah bekas tambang akan direklamasi dengan bantuan kemeterian dan pemerintah daerah.

 

Selain memakan korban jiwa, tambang batu bara yang terlalu dekat dengan lingkungan warga menghancurkan 5 rumah warga di Kalimantan Timur. Selain itu, banyak rumah warga yang retak karena penambangan tidak memenuhi aturan yang seharusnya bahwa harus berjarak minimal 500 meter dari pemukiman warga. Dan secara perlahan, tanah pemukiman warga yang mulai miring akibat dari penambangan ini.

 

Kemudian di Pulau Jawa, Pulau Karimunjawa terkena imbasnya. Kapal-kapal yang mengangkut hasil tambang batubara dari Pulau Kalimantan akan melintasi Laut Karimunjawa dan seringkali berhenti dan menancapkan jangkarnya. Akibatnya, banyak terumbu karang yang rusak. Tak hanya itu, seringkali hasil tambang mengalir ke laut. Hal ini juga turut mengganggu penghasilan para nelayan di Pulau Karimun Jawa.

 

Tak jauh dari Pulau Karimun Jawa teah dibangun PLTU terbesar di Asia Tenggara, PLTU Batang. Lahan pertanian warga pun termakan pembangunan PLTU ini. Ketika ada penolakan yang dilakukan oleh dua orang warga, justru ditahan selama 7 bulan.

 

Tak hanya di Pulau Karimunjawa, PLTU juga berkembang di Pulau Bali, PLTU Celukan Bawang. Dampak dari adanya PLTU ini ada polusi udara. Dimana, polusi udara ini menyebabkan banyak penyakit menyerang warga sekitar PLTU, seperti asma hingga kanker paru-paru. Hal ini menjadi sebuah ironi yang kurang dilihat oleh seluruh masyarakat. Kiranya, masalah tambang di Indonesia dapat menjadi perhatian bersama.

 

Setelah sesi menonton film bersama, dilanjutkan dengan sesi diskusi dengan Pandu sebagai pemantik.

 

Yuvi menanggapi film tadi dari sisi jurnalisme advokasi dan lingkungan dengan menyatakan bahwa masalah lingkungan biasanya dipersalahkan kepada konsumen. Sedangkan, Watchdoc berani membuat film ini sambil menyatakan bahwa ada andil produsen dalam permasalahan lingkungan. Kita, masih berpikir bahwa masalah lingkungan ini tidak terikat dengan bidang ekonomi-politik. Dari film ini, kita bisa melihat bahwa akar masalah lingkungan ini adalah ekonomi-politik dan isu lingkungan tidak dapat didikotomiskan dengan isu ekonomi-politik seperti yang dijelaskan juga pada buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme terbitan Marjin Kiri.

 

Pandu sebagai pemantik juga menambahkan bahwa dari tulisan Winters, Indonesia semula dengan sistem oligarki sultanik pada zaman Orde Baru, Indonesia dipimpin oleh Soeharto dan jajarannya. Namun, Indonesia sejak masa Reformasi telah bergeser menjadi sistem oligarki kolektif, dimana yang kaya yang dapat masuk ke dalam sistem pemerintahan. Pandu juga menambahkan dari tulisan yang ia baca mengenai rezim ekstraktif oleh Gerard. Rezim ini adalah ketika suatu negara berusaha mengeksploitasi dan mengekspor sumber daya dengan cara dominasi politik, kekerasan, dan terror. Dapat dilihat dari kekerasan dan terror yang menimpa para aktivis lingkungan. Inilah mengapa banyak isu lingkungan dan tambang jarang sekali terekspos oleh media, dikarenakan dari kedua kubu pasangan calon presiden memiliki oligarkinya masing-masing. Sehingga, kedua kubu ini sendiri menjadi tidak leluasa untuk menyelesaikan masalah lingkungan.

 

Kemudian, Alex menambahkan tentang pembangunan dari sisi sosiologi. Dari film yang telah ditayangkan, dapat dipertanyakan dari pandangan manakah pembangunan ini sesungguhnya, dari sisi pemerintah, swasta, atau berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dari apa yang Alex pelajari, pembangunan seharusnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun dari film ini, dari lingkungan yang hijau menjadi gundul. Jadinya, kebutuhan masyarakat yang seharusnya digali lebih dalam oleh pemerintah seakan dilupakan. Seperti jawaban Joko Widodo pada saat debat ketika mengenai pertambangan ini terkesan sangat normatif. Sehingga, pemahaman Jokowi akan kebutuhan masyarakat terkesan kurang.

 

Hasan ikut meramaikan diskusi ini dengan menceritakan pengalamannya saat kala magang di pemerintah daerah. Di mana saat itu ada peraturan baru mengenai perizinan, Hasil rapat tentang peraturan baru ini mengindikasikan bahwa peraturan ini menjadi mengesampingkan AMDAL dimana seharusnya ketika ada suatu perusahan baru diperlukan punya AMDAL terlebih dahulu. Untuk meminimalisir hal ini, pemerintah membuat satuan tugas (satgas) yang terkesan sebagai strategi agar kerusakan lingkungan tidak tercium oleh kementerian. Peraturan ini melancarkan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemerintahan daerah ini.

 

Annisa menyatakan bahwa isu ini yang sempat dinyatakan terkesan tidak “sexy” justru menjadi “sexy”. Di sisi lain memang listrik itu penting dan untuk memerdayakan listrik butuh daya yang besar. Ketika dibandingkan daya batu bara dengan tenaga matahari, memang tenaga matahari memiliki modal yang besar di awal saja tetapi tidak memerlukan modal lebih besar lagi untuk menangani dampaknya. Dari hal kecil, seperti pembangunan apartemen di Jatinangor sendiri, para kepala desa pun mendapat bagian “kue” tanpa memikirkan keadaan lingkungan dan menutupi satu sama lain. Bicara tentang politik ekonomi, di daerah asal Annisa, Banjar, ada hegemonial kekuasaan yang dilakukan oleh walikota. Ada pembangunan rumah sakit di sebelah sungai yang dimiliki oleh keluarga walikota. Limbah rumah sakit yang banyak mengandung bahan kimia langsung tersalurkan ke sungai. Tak hanya itu, banyaknya minimarket di kota Banjar yang dimiliki oleh keluarga walikota ini. Annisa berharap bahwa ketika berdiskusi ini dan mengetahui banyak isu yang berdampak negatif bagi masyarakat, kelak para peserta diskusi tidak menjadi serakah karena harta.

 

Yuvi turut menambahkan bahwa ia juga menilai isu ini “sexy”, sependapat dengan Annisa, Yuvi menilai justru menjadi “sexy” karena isu tambang batu bara seringkali tidak terekspos dan menjadi “eksotik”. Selain itu juga karena momentum yang sesuai yaitu menjelang Pemilihan Presiden dan kita terbiasa melihat citra kedua pasangan calon ini seperti yang digambarkan oleh media saja. Film ini mencoba mendekonstruksi citra yang digembar-gemborkan media saat ini. Dengan penayangan banyaknya korban yang diakibatkan, menjadikan mereka pun layak disebut sebagai sexy killers.

 

Fabian menambahkan bahwa perlu ditambahkan perspektif dari para korporasi yang diangkat dalam film ini. Kita mengetahui bagaimana komentar mengenai PLTU yang ada dan kegiatan CSR mereka tidak berjalan dengan baik. Kalau dari perspektif pemerintah, batubara ini digunakan untuk menekan harga listrik untuk masyarakat sendiri tetapi tetap saja dampaknya perlu diekspos.

 

Pandu menambahkan bahwa batubara ini digunakan untuk menggerakkan PLTU dengan mayoritas penggunanya berada di Pulau Jawa dan Bali. Dari film tadi dapat diketahui bahwa batubara yang dimiliki Indonesia sudah surplus dan dapat memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa dan Bali. Kembali lagi pada rezim ekstraktif yang telah disampaikan Pandu, batubara ini justru diekspor tanpa memerhatikan dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat.

 

Fakhri, ketua LPPMD, menyatakan bahwa film ini adalah karya dengan sudut pandang yang berbeda yang dibuat oleh Dandhy, di mana ia biasanya memberikan perspektif dari korporasi, komunitas adat, dan lain-lain. Biasanya melibatkan korporasi, pemerintah, NGO, komunitas adat, dan para pekerja. Dapat dilihat juga bahwa dasarnya adalah permasalahan ekonomi-politik. Pertama, bagaimana tanah dimanfaatkan. Kedua, bagaimana tanah dapat dipelihara secara berkelanjutan. Dimana film ini dengan logika ekstraktif, ingin menunjukkan bahwa ketika sumber daya diperas terus menerus akan menimbulkan dampak keberlanjutan lingkungan dan sosial budaya. Dari persebarannya sendiri juga terlihat ketimpangan, dengan konsumennya mayoritas berada di Pulau Jawa dan Bali, produsennya berada di Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Terlihat adanya ketergantungan satu arah, dimana Pulau Jawa dan Bali bergantung dengan Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Tidak hanya di dalam negeri, di hubungan internasional juga dapat terlihat dari ekspor kita yang cukup tinggi. Hal ini terkait dengan perihal negara maju dan negara berkembang. Negara kita terus diperas sumber dayanya. Hubungan ini begitu kompleks, sehingga Watchdoc berusaha untuk menjelaskan hal tersebut. Meskipun, menurut Fakhri sendiri, film ini belum mampu menjelaskan baik secara nasional maupun internasional.

 

Pandu menyetujui pernyataan Fakhri dan menambahkan bahwa film ini lebih menyoroti konsumsi listrik nasional dengan penggunaan batubara oleh PLTU yang terkesan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Sehingga, film ini kurang menyinggung ekspor batubara itu sendiri.

 

Yuvi mengomentari bahwa Dhandy lebih fokus kepada tokoh-tokoh yang ada dalam Pemilu saat ini. Dengan tujuan memperlihatkan citra-citra para tokoh yang bermain dalam Pemilu dengan mengaitkan pada masalah batubara.

 

Reftika turut menambahkan bahwa film ini menunjukkan bahwa ketika ada pemberitaan kerusakan lingkungan yang biasanya hanya menyebutkan perusahaan yang menyebabkannya, sekarang juga turut menunjukkan siapa yang melindunginya, yang dapat dilihat bahwa dari dalam pemerintah sendiri, baik aparatur negara atau orang yang memiliki kepentingan bisnis saja. Reftika menangkap dari film ini bahwa politik saat ini tidak bersih, hanya untuk memenuhi kepentingan tertentu saja. Juga Reftika menambahkan bahwa ketika biasanya konsumen banyak disalahkan ketika ada kerusakan lingkungan, perusahaan berdalih dengan ada permintaan maka ada penawaran. Padahal, perusahaan juga berperan dengan bagaimana dengan modal yang sesedikit mungkin dan dapat mendistribusikan dengan luas. Perusahaan pun membangun pemikiran bahwa kerusakan lingkungan jadi disebabkan oleh konsumen dan membuat konsumen menanamkan pemikiran itu.

 

Pandu menambahkan bahwa Dandhy dan Ucok sebagai pembuat film ini ingin masyarakat mengetahui bahwa kedua calon terikat dengan oligarki tambang, sehingga pilihan di kotak suara menentukkan nasib bangsa kita bahkan sampai 50 tahun yang akan datang.

 

Kemudian, ada peserta diskusi yang menambahkan bahwa dulu Moh. Hatta mempertanyakan mengapa sumber daya negara tidak diserahkan saja kepada rakyat karena rakyat lebih mengetahui bagaimana mengelola alam dan apa yang dibutuhkan. Soekarno menyatakan bahwa jika sumber daya dikelola oleh rakyat, sampai kapan kita dapat benar-benar mengelola alam kita sendiri, sehingga diserahkan kepada negara. Namun, Moh. Hatta mengkhawatirkan ketika pemerintahan dikuasai oleh orang yang salah, justru kesenjangan sosial akan semakin meningkat.

 

Dikdik mempertanyakan bahwa siapa sesungguhnya yang disebut pembunuh disini, apakah batubara, pemilik perusahaan tambang, atau kedua calon yang ada saat ini. Ia pun menambahkan bahwa ia menangkap bahwa tidak begitu perlu untuk menjadi sangat cinta dengan negara sendiri. Namun, di sisi lain dan dari berbagai film dokumenter yang dibuat Watchdoc, mengajarkan bahwa ada atau tidaknya negara, kebersamaan dan kekeluargaan harus tetap ada. Menurut Tama, Dandhy berhasil membunuh citra yang dibangun media dengan film ini.

 

Salah satu peserta diskusi menambahkan bahwa di sebuah kampung di daerah Banten memiliki prinsip, “Tuhan yang memberi, alam yang merawat, manusia yang mengolah.” Selain itu di Cimahi, masyarakat disana tidak memakan nasi sesuai arahan dari ramalan ketua adat. Dimana ramalannya adalah bahwa lahan sawah di Indonesia akan berkurang dan terbukti dengan mulai banyak ada pembangunan pabrik. Akhirnya, masyarakat mulai mengonsumsi singkong. Ia setelah menonton film ini teringat pernyataan Karl Marx bahwa sejarah perjuangan umat manusia adalah perjuangan kelas. Dimana di Indonesia sedikit bergeser menjadi kelas penguasa pemerintah, tetapi pemerintah yang kapitalis yang dapat dilihat dari bagan dalam film ini. Ia juga turut mengkritik Luhut Panjaitan yang menyatakan bahwa 20 tahun kedepan negara kita tidak akan dijajah oleh negara asing, dimana sesungguhnya pada masa kolonial pun 90% negara kita dijajah oleh negara kita sendiri (pribumi). Bahwa dapat dilihat, ada kelas yang menindas dan ada yang kelas ditindas.

 

Pandu menambahkan bahwa kita dapat melihat dari bagan yang ada dalam film ini menjadi bagi-bagi kekuasaan dan lahan. Reftika pun menyatakan bahwa ketika satu orang memimpin, pasti ada orang-orang yang mendukungnya. Di mana agar diterima masyarakat akan dipasang yang terkesan lebih suci daripada yang lain, meski nyatanya sama saja.

 

Fabian menambahkan bahwa Dandhy berhasil mengupas oligarki yang ada dan yang menunggangi negara. Dan bahwa oligarki seperti ini juga turut ada di negara lain, seperti ketika tumbangnya Uni Soviet, oligarki-oligarki seperti ini berhasil masuk ke dalam pemerintahan. Fakhri menanggapi dengan menyatakan bahwa oligarki di Indonesia cukup unik, seperti saat masa Orde Baru, oligarki tersentralisasi pada ABRI, Birokrasi, dan Golkar yang turut membangun politik oligarki Orde Baru. Dengan pusat oligarkinya adalah Soeharto. Kemudian, pada masa Reformasi, oligarki menjadi bersifat desentralisasi dan saling terhubung. Ketika Pemilu ini mengesankan bahwa kedua kubu itu saling berseteru, nyatanya ada titik yang mengaitkan kedua kubu ini. Hal ini adalah hal yang sungguh ironi karena masyarakat menangkap citra kedua pasangan calon sangat berbeda dengan kenyataan yang ada, begitu juga para pengamat politik gagal untuk melihat hal ini.

 

Ini menjadi kritik bagi kita yang mempunyai akses lebih kepada informasi. Pembagian kubu saat ini sesungguhnya menyerang orang-orang dengan ekonomi yang tidak stabil. Hal ini menjadi rentan dimobilisasi dalam keadaan politik kita saat ini. Selain itu, ada orang-orang diluar politik, seperti komunitas adat dan para masyarakat yang terluar, tertinggal, dan terdepan. Orang-orang ini meski secara kuantitas dibilang mayoritas, sesungguhnya adalah kaum minoritas jika dilihat dari kekuatan politiknya. Dan mereka tidak tersentuh dan jarang dibicarakan oleh pemerintah, hal ini sangat disayangkan. Kemungkinan besar dalam 50 tahun lagi, kita dalam kondisi yang sama.

 

Dari hasil diskusi ini, dapat kita lihat bahwa film “Sexy Killers” ini memberikan perspektif baru dalam memandangi politik dan oligarki di negara kita. Dan sesungguhnya sebagai mahasiswa yang memiliki akses akan informasi dam akses untuk meluaskan wawasa, dapat memantau setiap langkah pemerintah dan membela masyarakat.

 

 

Penulis : Natali Maura Mursi

Editor : Yuviniar Ekawati

[PRESS RELEASE] DISKUSI UMUM: “PEMBUBARAN PERS MAHASISWA USU: APA YANG SEBENARNYA TERJADI?”

Pada hari Kamis, 11 April 2019, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM Fikom Unpad mengadakan Diskusi Umum dengan tajuk “Pembubaran Pers Mahasiswa USU: Apa yang Sebenarnya Terjadi?” yang dilaksanakan di Student Center Fikom Unpad. Diskusi dimulai pada pukul 16.00 WIB dengan Salsabila Putri Pertiwi, Staff Editorial PadGHRS (Padjadjaran Research Center of Human Rights and Gender Studies), selaku pemantik, dan Staff Departemen Kastrat,  Ananda Putri Upi Mawardi, sebagai moderator diskusi. Diskusi ini bertujuan untuk membahas kasus pembubaran pers mahasiswa SUARA Universitas Sumatera Utara (USU) yang terjadi akibat kesalahpahaman akan pemuatan sebuah cerpen yang menyinggung kasus diskriminasi terhadap LGBT-Q.

 

Diskusi diawali dengan pembukaan dari Ananda, selaku moderator, dengan memperkenalkan Salsa sebagai pemantik yang memang memiliki latar belakang jurnalistik serta tertarik dengan isu gender dan hak asasi manusia. Barulah setelahnya dilanjutkan dengan pemaparan pembuka oleh Salsa.

 

Salsa memulai diskusi dengan memaparkan awal mula dari kasus pembubaran tersebut. Dalam periode 2014 – 2016, memang telah terdapat sekitar empat kasus yang melibatkan pembredelan pers mahasiswa. Kasus Persma “Lentera” merupakan yang paling heboh, karena memuat tulisan mengenai tragedi 1965 yang erat kaitannya dengan komunisme. Kasus tersebut dianggap yang paling menggemparkan karena polisi pun ikut turun tangan guna menyelidiki kasus tersebut. Kasus pembubaran pers milik USU merupakan yang terbaru. Pemuatan cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” memicu rasa tidak suka dari pihak kampus karena mengandung unsur yang dianggap vulgar serta memuat sudut pandang yang melibatkan LGBT-Q.

 

Cerpen yang diterbitkan oleh Persma USU tersebut dianggap vulgar karena mengandung kata-kata seperti rahim, penis, dan sperma. Padahal, Salsa dan salah satu peserta diskusi lainnya, Reftika, sama-sama menganggap bahwa kosa kata tersebut mengarah kepada pemaknaan biologis, bukan pornografis. Pemahaman vulgar atau tidaknya kata-kata tersebut dirasa bergantung dengan nilai dan moral yang dianut oleh seseorang.  Poin utama dari cerpen tersebut juga bukanlah sekadar kisah perjalanan cinta seorang perempuan lesbian, melainkan juga tentang bagaimana masyarakat mempresekusi dirinya karena merupakan seorang lesbian. Hal ini juga disetujui oleh salah seorang peserta diskusi lainnya, Dikdik, yang mengatakan bahwa hal yang dilakukan oleh penulis hanyalah mencoba “merasuk” ke dalam tokoh, yang mana ialah seorang perempuan lesbian, dan bukan berrmaksud untuk membuat cerita erotis. Hal tersebut pun juga dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam penulisan sastra.

 

Pembredelan, pencabutan SK, dan pemberhentian dana yang dilakukan dengan alasan semacam kasus ini pun seharusnya dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi pers. Belum lagi, konon, Persma USU saat ini tengah digantikan oleh pers baru yang lebih memihak kepada kampus. Salsa merasa ada kejanggalan di sini, yang mana seharusnya fungsi pers mahasiswa bukan lah sebagai ajang bagi kampus untuk mempertontonkan citra baiknya kepada masyarakat.

 

“Seharusnya, hal ini gak boleh dilakukan. Karena kalau begitu untuk apa ada CSR, Humas, dan sebagainya? Fungsi pers kan bukan untuk baik-baikin nama kampus. Jelas terkesan ada relasi kuasa di sini,” ujar Salsa.

 

Ancaman pencabutan dana mungkin menjadi salah satu alasan utama mengapa pihak universitas sering kali berani menekan pers mahasiswa ketika mereka memberitakan sesuatu yang tidak baik mengenai kampus. Patut diakui, bahwa kelemahan terbesar pers mahasiswa memang berpusar pada masalah pendanaan dan ketiadaan badan hukum yang tetap juga mampu menguatkan hak-hak dari pers mahasiswa itu sendiri.

 

Ananda menambahkan bahwa memang pers mahasiswa itu tidak dilindungi oleh siapapun, termasuk dewan pers, mengingat mereka bukan pers profesional melainkan hanya pers internal kampus. Oleh karena itu, jika hal seperti pembredelan terjadi, persma seharusnya dapat melapor kepada rektorat pendidikan tinggi. Terkait hal ini, pada 2017, Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) pun mengeluarkan pernyataan bahwa mereka siap membantu proses advokasi terhadap kasus-kasus yang melibatkan pers mahasiswa.

 

Isu SOGIE-SC yang diangkat juga merupakan faktor utama yang mengakibatkan pembredelan persma ini terjadi sehingga ada baiknya harus diperhatikan. Isu tersebut memang masih dianggap tabu di kalangan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan kritis sangat penting untuk dilakukan, utamanya terhadap karya sastra dan isu-isu yang mewakili kaum marginal. Seharusnya, tindakan represif tidak dilakukan oleh mereka yang memiliki relasi kuasa hanya karena sebuah lembaga atau organisasi mengangkat isu-isu marginal yang masih dianggap tabu. Universitas, sebagai institusi yang selalu menekankan bahwa mahasiswanya harus mampu bersifat kritis, juga seharusnya mampu memberikan wadah untuk mengkaji suatu praktik diskursus, bukan malah membatasi kebebasan berpendapat. Tetapi sayangnya, hingga saat ini, isu-isu terkait minoritas dan hal-hal tabu semacam SOGIE-SC dan LGBT-Q masih dibungkam dan tidak memiliki kesempatan untuk diperhatikan. Kalaupun ada pihak yang mengangkat isu tersebut seperti Pers Mahasiswa SUARA USU, keberanian mereka menyuarakan hak asasi manusia bagi kaum marginal malah dibalas dengan presekusi.

 

“Mahasiswa tanpa pers dan kritik, itu mahasiswa atau mesin?” – Farhan Muhammad, Peserta Diskusi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran

 

 

 

Penulis : Nayla Erzani

Editor : Yuviniar Ekawati

[PRESS RELEASE] DISKUSI FIKOM: “REZIM CITRA DI MUSIM POLITIK”

Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM Fikom Unpad mengadakan diskusi Fikom perdananya dengan tajuk “Rezim Citra di Musim Politik” pada Selasa, 26 Maret 2019. Diskusi dimulai pada pukul 16.30 di Saung Selasar Fikom Unpad dengan Wakil Kepala Departemen Kastrat, Raihan M. Iksan, sebagai pemantiknya.

 

Diskusi Fikom sendiri merupakan bagian dari program kerja Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM Fikom Unpad yang berfokus kepada pembahasan terkait isu-isu terkini dengan menggunakan perspektif ilmu komunikasi sebagai dasarnya. Selain untuk mencerdaskan mahasiswa Fikom, pelaksanaan diskusi ini juga bertujuan untuk mengaktivasi ruang publik yang ada di lingkungan fakultas. Oleh karena itu, pemilihan Saung Selasar Fikom Unpad sebagai tempat pelaksanaan diskusi bukan dilakukan tanpa alasan.

 

Diskusi dimulai dengan pemaparan mengenai “musim politik” yang tengah melanda masyarakat oleh Raihan, juga Yuvi selaku Kepala Departemen Kastrat yang hadir sebagai peserta diskusi. Menjelang Pemilu 2019 pada April mendatang, seluruh peserta diskusi setuju bahwa pergolakan citra para aktor politik dianggap semakin menjadi. Namun ternyata, fenomena citra pada musim politik kali ini memiliki keterkaitan dengan tiga teori komunikasi yaitu society of spectacle, agenda setting, dan spiral of silence.

 

Society of spectacle merupakan istilah yang digunakan oleh seorang filsuf bernama Guy Debord dalam salah satu karya tulisnya pada masa revolusi Perancis. Society of spectacle atau disebut pula “masyarakat tontonan” dalam bahasa Indonesia, menganggap bahwa relasi sosial dibentuk oleh sebuah citra. Keadaan ini dapat diperparah dengan kehadiran media massa serta media sosial, yang juga sering dikatakan sebagai alat pembentuk citra.

 

Terkait hal ini, salah satu peserta diskusi, Alvin, memberikan tanggapan bahwa citra tidak selalu dibentuk sepenuhnya oleh itu media sendiri, melainkan juga oleh aktor politik yang bersangkutan.

 

“Berdasarkan apa yang aku pelajarin, semua yang dilakukan aktor politik itu merupakan bentuk citra. Sehingga, citra juga terkadang tidak sepenuhnya dibangun oleh media, namun juga oleh aktor politiknya itu sendiri,” ujar Alvin.

 

Yuvi pun ikut menambahkan, bahwa baik buruknya sebuah citra yang dipertontonkan seseorang melalui sebuah media tidak dapat dipandang secara moralis. Baik buruknya sebuah citra yang dipertontonkan kepada masyarakat pastinya dipengaruhi oleh kondisi sosial yang juga tengah terjadi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa masyarakat juga sesungguhnya memiliki andil dalam pembentukan citra dari seorang aktor politik.

 

Sehubungan dengan musim politik kali ini, citra sebagai mediator dalam relasi sosial kerap memicu tumbuhnya sikap naif dalam diri sejumlah pemilih. Yuvi kembali mengatakan, bahwa pendalaman terkait society of spectacle dengan diskusi semacam ini perlu dilakukan agar masyarakat tidak menjadi seorang pemilih yang fatalis, melainkan sadar betur bahwa tiap-tiap aktor politik pasti bertindak demi citra yang hendak dibangun.

 

Pembahasan selanjutnya merupakan kajian terhadap fenomene-fenomena menjelang Pemilu 2019 yang dapat dikaitan dengan teori agenda setting. Agenda setting merupakan teori yang mengemukakan bahwa media massa memiliki kekuatan untuk memengaruhi atau bahkan membentuk pola pikir dari audiens yang terkena paparan informasinya.

 

Raihan menyetujui bahwa selama ini media memang memiliki kekuatan untuk menentukan apa yang penting dibicarakan oleh publik dan apa yang tidak. Dalam politik, media pun juga sering kali hanya menggembor-gemborkan isu yang sesuai dengan kepentingan mereka saja.  Hal ini jelas bukan sesuatu yang mengherankan, mengingat sebagian besar pemilik media massa juga merupakan pemangku kepentingan tertinggi dari partai politik. Oleh karena itu, informasi yang diberitakan media massa belakangan ini sering kali tidak lepas dari kepentingan para pemilik media yang juga berperan sebagai aktor politik.

 

Para peserta diskusi pun turut menyebutkan sejumlah contoh isu yang tertutup akibat agenda setting seperti isu agraria dan isu pelanggaran HAM 1998. Isu-isu ini tertutup akibat media kerap memberikan “panggung” terhadap isu-isu lainnya yang cenderung berulang seperti isu keagamaan dan kondisi ekonomi nasional.

 

Teori terakhir yang dipaparkan dalam diskusi adalah spiral of silence. Dalam teori ini, terdapat kondisi di mana opini kaum mayoritas menekan kondisi dari mereka yang merupakan minoritas. Pada musim politik yang sekarang tengah melanda, golput (golongan putih) menjadi kelompok minoritas yang opininya terbungkam oleh kelompok mayoritas. Namun, masih ada sejumlah media massa semi-arus utama yang masih tetap memberikan kesempatan bagi kelompok golongan putih untuk berpendapat. Metaruang, kolektiva, dan Nurhadi Aldo merupakan sebagian dari media massa yang membantu kelompok golongan putih untuk menyerukan opininya.

 

Sesungguhnya, golput sendiri hadir sebagai sebuah gerakan politik yang dipicu oleh kemuakan terhadap agen dan sistem yang telah ada. Sebagian besar masyarakat yang memilih untuk menjadi golput tidak percaya bahwa sejumlah agen mampu mengubah suatu sistem yang sudah ada secara total ke arah yang lebih baik. Kebijakan di Indonesia pun mengatakan bahwa jika 51 persen suara saat Pemilu merupakan suara golongan putih, Pemilu dapat diulang walaupun masih dengan pasangan calon yang sama sebagai pesertanya. Jika hal tersebut terjadi, golput pun dapat menjadi suatu gerakan yang berpengaruh karena mampu membuka kesempatan untuk mengubah suatu sistem Pemilu yang sudah ada. Oleh karena itu, sejumlah peserta diskusi cukup menyayangi terbungkamnya suara dari kelompok golongan putih ini.

 

Pada akhirnya, tokoh politik serta media yang turut berandil dalam mewarnai Pemilu 2019 dianggap sebagai kelompok yang terus membentuk citra populis. Populis sendiri dianggap sebagai “racun” yang berbahaya bagi demokrasi karena mereka berpotensi untuk membungkam suara minoritas, yang seharusnya juga diberikan kesembatan untuk berpendapat. Selain itu, risiko terjadinya misinformasi serta miskomunikasi antar para pemangku kepentingan politik, termasuk pula para pemilih, akan menjadi lebih besar. Oleh sebab itu, hasil diskusi menyimpulkan bahwa masyarakat harus diedukasi agar menjadi pemilih yang cerdas dan tidak hanya termakan oleh citra semata.

 

Penulis : Nayla Erzani

Editor : Yuviniar Ekawati