Sesat Pikir Para Influencer Saat Pandemi, Dibalut Opini dan Perbedaan Pendapat

Pengetahuan manusia terbatas, ditambah dengan sifat alami manusia untuk melindungi diri sendiri menempatkan teori konspirasi kerap menjadi jawaban atas segala ketidaktahuan dan kekecewaan.

Pendukung lain dari maraknya orang-orang yang mempercayai konspirasi adalah tidak semua manusia bisa menerapkan sistem berpikir yang benar. Sehingga terkadang mereka terjebak dalam sesat pikir (logical fallacy) sendiri.

Banyak teori konspirasi tumbuh selama masa pandemi, tidak hanya di luar negeri, didalam negeri pun teori-teori ini laris manis diikuti orang.

Pengertian konspirasi menurut kamus Cambridge adalah kegiatan perencanaan secara diam-diam dengan orang lain untuk melakukan sesuatu yang buruk atau ilegal.

Sedangkan menurut Joseph Kosinski, profesor ilmu politik dari University of Miami, menyebutkan bahwa teori konspirasi merupakan alat bagi yang lemah untuk menyerang sekaligus bertahan melawan yang kuat.

Dari ketiga pengertian ini teori konspirasi setidaknya memiliki beberapa indikator, yang pertama adanya sebuah rencana, kemudian kelemahan.

Para penikmat teori konspirasi cenderung melemahkan diri mereka ketika diajak berdebat berdasarkan data saintifik. Kalau sudah tersudut, mereka akan menangkis dengan alasan bahwa pandangan mereka adalah sekedar opini, tidak semua orang harus mengakuinya dan mereka hanya mengemukakan pendapat yang menurut mereka benar.

Para penganut teori konspirasi juga tidak lepas dari sesat pikir. Mereka tetap menerima informasi dan mengambil informasi dengan catatan informasi tersebut bisa mendukung teori mereka. kemudian mereka akan menjahit informasi-informasi tersebut menjadi benang dukungan atas teori mereka.

Perdebatan musisi Anji dengan netizen beberapa saat lalu saat ia mengemukakan yang ia sebut sebagai ‘opini’ dan ‘kritik’ terhadap foto jurnalis media Natgeo, Joshua Irwandi. Misalnya soal fotografer yang bisa melihat jenazah saat keluarga tidak diperkenankan, kemudian mengemukakan bahwa Covid-19 tidak semengerikan yang diberitakan media-media.

Dalam kasus ini opini yang dilakukan Anji mengalami sesat pikir, saya menggolongkan sesat pikir ini pada golongan Argumentum ad nauseam, di mana pelakunya tidak bisa memberikan premis kokoh atas argumen yang dibangunnya.

Sesat pikir yang dilakukan Anji sangat terlihat ketika memasuki perdebatan, ia hanya memberikan klaim-klaim untuk membela apa yang ia sebut sebagai opini itu, beberapa klaim yang ia sebut contohnya adalah ia telah memberikan sumbangan APD dan terlibat dalam konser donasi Covid-19. Tapi tidak ada premis yang ia jelaskan, premis akan menjadi alasan dan premis-premis inilah yang akan dinilai kebenarannya. Jika Anji bisa memberikan fakta-fakta terkait opininya maka premis-premis ini kokoh, bukan sekedar berisi klaim sudah melakukan ini-itu saja.

Baru-baru ini melalui akun Instagramnya, Anji mengunggah dukungan dari rekan influencer yang ia sebut memiliki 19 juta followers tentang opininya.

Ini semakin memperkuat sesat pikir yang Anji buat dalam argumentasinya terkait Covid-19, ia terlihat memilih pandangan yang sesuai dengan perspektifnya dan menitikberatkan 19 juta pengikut orang tersebut sebagai penguat argumentasinya.

Para penganut teori konspirasi yang mencap dirinya sebagai ‘open minded’ sejatinya hanya seseorang dengan proses berpikir yang salah, ia tidak pernah benar-benar membuka pikirannya atas pemikiran yang berasal dari sudut pandang lain.

Ini bukan kasus pertama sesat pikir yang dikemukakan influencer, perbincangan Deddy Corbuzier dalam video Corona Hanya Sebuah Kebohongan Konspirasi !? (Tonton sebelum video ini ter take down) bersama Young Lex yang menganggap Covid-19 adalah cara agar masyarakat tunduk meskipun entah kepada siapa, atau Jerinx yang menganggap Corona adalah buatan para elite politik.

Para influencer ini memang menyebut diri mereka berpendapat, beropini, berargumentasi namun satu hal yang dilupakan mereka adalah Influencer sendiri yang artinya adalah orang yang memengaruhi, ada tanggung jawab sosial yang harus dipenuhi oleh orang-orang dengan pengikut besar ini.

Umumnya orang yang memiliki pengetahuan terbatas menanggung dua beban. Mereka tidak hanya telah menarik kesimpulan yang salah, melainkan juga memiliki ketidakmampuan untuk menyadari kesalahan tersebut. Orang yang terkena bias kognitif ini sering kali merupakan orang yang abai, ceroboh, dan kurang peduli secara mendalam terhadap bidang yang tidak ia kuasai.

 

Orang-orang di golongan inilah yang sangat rentan digiring opininya, terpapar hoax, konspirasi dan berbagai macam sesat pikir yang mungkin saja mereka dapatkan karena mengikuti beberapa influencer asbun (asal bunyi). Semakin banyak pengikut yang terbawa sesat pikir yang dibalut sebagai opini dan perbedaan pendapat, maka semakin besar kemungkinan para pengikut mereka meremehkan virus ini, yang mereka sadari atau tidak malah dapat membahayakan hidup sendiri.

 

Oleh: Sabrina Mulia Rhamadanty

Referensi: 

https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/conspiracy

Don Lindsay (2006,). Logical Fallacies: A Beginner’s Guide. M. E. Kabay

Edwin Coleman. (2013). Argumentum ad nauseam. Melbourne. University of Melbourne. Retrieved from https://www.academia.edu/8442714/Argumentum_ad_nauseam

https://www.instagram.com/p/CDFvyR_hyxr/

https://twitter.com/duniamanji/status/1284964714166902784

Nathaniel, Felix. Sesat Pikir Teori Konspirasi Deddy, Young Lex, dan Jerinx (1 Mei 2020) https://tirto.id/sesat-pikir-teori-konspirasi-deddy-young-lex-dan-jerinx-ffR4

Rifka Amalia. (21 Juli 2020). Sebarkan Paham Covid-19 Tak Terlalu Berbahaya Hingga Nyinyiri Foto Jurnalis Nat Geo, Anji Manji Minta Maaf, Sebut Ada Kesalahpahaman. https://sosok.grid.id/read/412254677/sebarkan-paham-covid-19-tak-terlalu-berbahaya-hingga-nyinyiri-foto-jurnalis-nat-geo-anji-manji-minta-maaf-sebut-ada-kesalahpahaman?page=all

Fauzi Akbar.(18 Mei 2020). Influencer Dan Tanggung Jawab Sosial Yang Tidak Bisa Ditawar. Retrieved from https://thecolumnist.id/artikel/influencer-dan-tanggung-jawab-sosial-yang-tidak-bisa-ditawar-780