ELEGI ENERGI: FENOMENA RESOURCE CURSE DAN POTENSI SUMBER DAYA BUMI INDONESIA

Oleh: L. Ligardi Díaz, (@diazligardi)

Sains Informasi dan Perpustakaan, Fikom Unpad 2017

 

 

“Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang
– Ir. Soekarno

Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan sumber daya alam tambangnya Indonesia bahkan pernah menjadi anggota OPEC, kelompok berpengaruh beranggotakan bangsa-bangsa eksportir minyak. Implikasinya adalah sektor Migas menjadi tulang punggung utama pemasukan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam jangka waktu yang relatif lama. Bahan galian mineral dan batubara pun masih menjadi primadona hingga saat ini karena jumlahnya yang berlimpah dan beragam. Tidak hanya soal Migas, kekayaan sumberdaya bumi Indonesia memang begitu melimpah, bahkan sejarah membuktikan kekayaan Indonesia pernah menjadi perhatian Amerika Serikat dan Uni Soviet, kedua negara yang saat itu berperang ideologi untuk mendapatkan hegemoni negara-negara dunia ketiga.

Kekayaan ini didukung oleh proses pembentukan kepulauan Indonesia yang dihasilkan dari tumbukan antara tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Samudera Pasifik dan lempeng Samudera India-Australia. Kekayaan sumber daya bumi ini hendaknya dapat dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak demikian, kekayaan yang dimiliki di bumi Indonesia justru seakan-akan menjadi kutukan bagi rakyat Indonesia sendiri karena kebijakan dalam pengelolaan sumber daya bumi Indonesia belum dapat menjadi sarana bagi pemerintah untuk mendapatkan manfaat baik dalam jangka pendek, menengah atau jangka panjang dari sumber daya melimpah tersebut. Maka, apakah Indonesia terkena Resource Curse?

Seorang praktisi ekonomi mineral dari Colorado School of Mines, Roderick G. Eggert  mempertanyakan Is Mining a Curse?” Apakah Industri Tambang adalah kutukan? Dalam publikasinya yang berjudul Mining and Economic Sustainability: National Economies and Local Communities yang diterbitkan pada tahun 2001. Eggert mempertanyakan mengapa banyak negara yang memiliki kekayaan sumber daya mineral justru masuk dalam kategori negara ‘tidak makmur’. Negara-negara tersebut seakan gagal melakukan kapitalisasi kekayaan sumber daya mineral mereka untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri, contohnya Brazil, Afrika Selatan, Irak, Equatorial Guinea yang kaya minyak tetapi miskin, dan Indonesia. Padahal, industri tambang adalah berkah bagi negara yang memilikinya, karena faktanya tidak semua negara memiliki kekayaan sejenis itu.

Istilah resource curse dalam dunia ekonomi pertambangan pada dasarnya bukan hal yang asing. Resource cursemerupakan performa ekonomi suatu negara yang memiliki kekayaan mineral dan mungkin lebih buruk daripada negara-negara yang tidak memiliki kekayaan mineral. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan kondisi negara kita, mengingat Indonesia terkenal dengan kekayaan alam yang melimpah terutama dari sektor tambang, namun dengan kekayaan alam yang ada tidak dapat mengerek peningkatan kesejahteraan masyarakat hingga kini.

Kutukan Resource Curse pantas disematkan pada performa ekonomi pada beberapa negara berkembang yang diberkahi dengan kekayaan mineral dan energi, pertumbuhan riil Gross Domestic Product tidak sesuai dengan pengharapan. Kondisi yang berperan dalam keterjadian resource curse ini diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya kekuatan pasar eksternal, tekanan ekonomi internal, dan kesalahan institusional.

Faktor-faktor lain yang memperparah yaitu jatuhnya harga mineral dunia, volalitas harga, Dutch Disease serta korupsi dan keputusan kebijakan yang lemah. Dutch Disease sendiri dapat diartikan sebagai penyakit negara yang seluruh kegiatan ekonominya ketergantungan kepada industri tambang—sebuah kondisi yang berisiko. Kondisi krisis Venezuela saat ini adalah efek dari Dutch Disease, sedangkan Equatorial Guinea memiliki masalah korupsi dan kebijakan yang lemah, menempatkan 75% penduduknya dibawah garis kemiskinan, meratap diatas tanah kaya akan minyak bumi.

Selain itu dikenal istilah linkage effect, yaitu industri secara tidak langsung terkena efek kelesuan industri tambang, seperti industri transportasi, industri bahan bakar, dan industri manufaktur. Lesunya industri tambang dikarenakan faktor eksternal seperti kejatuhan harga minyak akhirnya berdampak pula terhadap industri linkage effect yang secara tidak langsung juga memperlambat laju perekonomian Indonesia.

Dimana posisi Indonesia?

Selain faktor-faktor diatas, penyebab terjadinya resource curse lebih kepada pengambilan kebijakan yang tidak tepat dalam memanfaatkan surplus dana yang ada dari hasil kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu negara. Pendekatan kondisi surplus di Indonesia mungkin masih sulit dibayangkan, namun dengan kenyataan yang ada, kekayaan alam Indonesia belum mampu mensejahterakan masyarakat.

Sektor energi yang selalu menjadi isu hangat nasional, menyangkut pada kondisi Indonesia yang berada pada ring of fire. Hal ini memperkaya tanah Indonesia dengan adanya deretan gunung api. Kondisi ini memungkinkan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki potensi panas bumi yang besar di level dunia, yaitu sebesar 28.100 MWe. Sedihnya, merujuk pada publikasi resmi Kementerian ESDM, potensi tersebut baru dimanfaatkan sebesar 1189 MWe, hanya 4% dari potensi total. Betapa sebuah elegi sembari melihat kondisi sebagian masyarakat di Indonesia Timur yang bahkan belum pernah tersentuh listrik berpuluh-puluh tahun.

Beralih ke sektor perminyakan. Minyak yang dikenal sebagai ‘emas hitam’ -bukan dalam artian sesungguhnya- telah menjadi komoditi penting perdagangan global sejak Oil Boom 4 dekade lalu. Pertamina sebagai ujung tombak industri migas negara benar-benar berjaya di era 70’an.  Indonesia bahkan berperan aktif ketika masih menjadi anggota OPEC sampai keluar pada tahun 2008. Keluarnya Indonesia dinilai wajar, dikarenakan Indonesia sudah mulai mengimpor minyak sejak 2003.

SKK Migas memberikan laporan mengenai produksi minyak Indonesia per Januari 2016, meskipun data ini didapat dari 2016, dengan asumsi kontrak pengeboran minyak yang biasanya berlangsung belasan tahun maka tidak akan ada perubahan signifikan di tahun 2020. Hal yang cukup mengejutkan dimana Pertamina sebagai entitas BUMN Indonesia hanya memiliki share sebesar 15% saja.

Refleksi dalam data diatas, sangat disayangkan ketika cadangan minyak bumi Indonesia secara terus menerus dibor asing dan dibawa ke luar negeri, lalu diimpor kembali ke dalam negeri ketika telah menjadi produk siap pakai. Maka dari itu, sangat disarankan untuk melakukan lokalisasi pengolahan bahan tambang esensial seperti minyak dan gas alam melalui pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam di Indonesia dan pengilangan-penyulingan minyak, serta peningkatan added value bagi mineral logam sebelum diekspor. Diharapkan dengan melakukan hal tersebut, akan mendatangkan keuntungan besar bagi negara, seperti penambahan jumlah lapangan pekerjaan dan meningkatnya penerimaan negara bukan pajak (PNPB).

Sektor tambang adalah salah satu komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). Meninjau sumbangannya terhadap APBN, sektor pertambangan pada  2 tahun terakhir telah memenuhi target yang telah ditentukan. Penerimaan negara dari sektor pertambangan tahun 2018 yang ditargetkan sebesar Rp32,1 triliun telah terkumpulsebesar Rp46,6 triliun, memberikan kontribusi sebesar 5,3% dari total penerimaan negara. Pada tahun 2019 yang ditargetkan sebesar 41,2 triliun terealisasi 45,59 triliun. Hal ini adalah sebuah peningkatan yang menggembirakan mengingat 4 tahun sebelumnya pada 2015 hanya menyumbang Rp29,6 triliun, bahkan menurun di 2016 menjadi Rp27,2 triliun.

Kontribusi positif ini memiliki peran dalam menyerap tenaga kerja baru serta menekan angka pengangguran. Hal ini layak diapresiasi, tetapi dirasa belum cukup untuk mengeluarkan Indonesia dari resource curse. Kita perlu memutar otak karena tidak selamanya kita bisa bergantung ke minyak. di lain sisi, dunia barat sedang ramai mengampanyekan renewable energy (energi terbarukan).

Energi Terbarukan, Sebuah Solusi atau Elegi?

Energi berbasis fosil, seperti minyak bumi dan batubara tidak akan eksis selamanya. Cadangan migas dunia terus berkurang secara ekspoensial mengingat manusia mengeruk dan menyedot setiap hari demi menjalankan ekonomi serta pembangunan. Krisis energi bisa saja terjadi, bilamana negara-negara tidak bersiap mencari alternatif lain. Krisis energi dapat merambat kepada krisis-krisis lain, termasuk krisis sosial bahkan geopolitik lantaran energi berperan sebagai penopang aktivitas ekonomi.

Dunia barat sudah mulai memberikan perhatian serius pada penggunaan energi terbarukan. Mobil-mobil konsumen hybrid maupun full-electric sudah keluar di pasaran dan mendapat ulasan positif untuk performanya. Memang, harga yang saat ini dibanderol tinggi belum dapat dijangkau oleh kelas berpenghasilan menengah, tetapi hal ini bukan masalah besar mengingat teknologi akan semakin terjangkau dari waktu ke waktu. Penulis yakin, suatu saat akan ada mobil listrik yang memiliki harga setara dengan mobil bensin di kelas yang sama.

Pada saat artikel ini ditulis, Indonesia masih mengandalkan energi berbasis fosil untuk memenuhi kebutuhan energinasional. Energi berbasis fosil ini terus menipis keberadaannya, sementara kita baru berancang-ancang untuk shiftingke energi terbarukan. Posisi Indonesia yang merupakan negara tropis menyimpan potensi luar biasa untuk pemanfaatan sumber energi terbarukan. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebutkan kepada Kompas, potensi energi terbarukan nasional mencapai  417,8 gigawatt. Potensi itu tersebar dalam bentuk panas bumi, angin, matahari, air dan laut.

Sayangnya realisasi pemanfaatan energi terbarukan lebih cocok dijadikan elegi daripada diberikan apresiasi. Potensi energi panas bumi sebesar 28.1 gigawatt baru dimanfaatkan sebanyak 1189 megawatt, atau hanya 4 persen. Sumber energi air memiliki potensi 75 gigawatt, dengan pemanfaatan sebesar 6,08 gigawatt atau  8 persen; sumber bioenergi berpotensi 32,6 gigawatt dengan pemanfaatan 1,9 gigawatt atau sebesar 5 persen. Energi surya memiliki potensi raksasa 297,8 gigawatt tetapi dengan pemanfataan minim yang hanya 0,14 gigawatt atau 0,07 persen. Lebih miris, energi laut yang memiliki potensi 17,8 gigawatt belum dipanen sama sekali menjadi listrik.

Logika sederhana, tentu saja energi terbarukan belum dapat menjadi solusi untuk mengeluarkan Indonesia dari resource curse, jika pemanfaatannya minim. Kecuali pemerintah berani mengeluarkan anggaran ‘jor-joran’ untuk investasi di sektor ini. Sebagai pembanding, India bahkan memiliki kementerian sendiri untuk fokus pada pemakaian energi terbarukan. Perlu kita sadari bahwa waktu terus berjalan menggerus siapapun yang belum siap, serta cadangan energi fosil terus menipis dari hari ke hari. Saat ini, penulis hanya bisa berharap.

Penutup

Pemerintah Indonesia sudah sewajarnya menjalankan amanat konstitusi yang terkandung dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945 untuk menggunakan seluruh kekayaan bumi yang ada untuk kemakmuran rakyat. Segala usaha pemerintah dari mulai regulasi sampai tahapan eksekusi harus berpedoman pada amanat ini. Kemampuan suatu negara untuk merubah keadaan tergantung pada usaha yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan tersebut.Apabila ditemukan usaha yang menyimpang, wajar rakyat mengamuk mengingatkan mereka para pemimpin yang mengantuk. Mahasiswa sebagai kaum yang mempunyai idealisme dan menyadari kebebasan berpendapat perlu ikut andil memperjuangkan agar negara kita dapat lebih serius dalam usaha menuju kedaulatan energi, serta menjauh dari kutukan ‘resource curse’. Semoga.

Selamat Hari Jadi Pertambangan dan Energi Indonesia 28 September 2020!

 

Penulis:
L. Ligardi Díaz, Fikom’17
@diazligardi
Temukan tulisan penulis lainya di medium.com/@ligardi

 

References

Carmichael, S. (2013). Venezuela’s Chance to Escape the “Resource Curse”. Retrieved from HARVARD BUSINESS REVIEW.

Center for Global Development. (2010). Can Oil Money Be Spent Well? Alan Gelb on Resource Revenues and Development. Washington D.C. Retrieved from https://www.cgdev.org/media/can-oil-money-be-spent-well-alan-gelb-resource-revenues-and-development

Devasahaam, S., Downling, K., & Mahapatra, M. (2016). Sustainability in the Mineral and Energy Sectors. Florida: CRC Press.

Eggert, R. (2001, October). Mining and Economic Sustainability: National Economies and Local Communities. Retrieved from https://pubs.iied.org/pdfs/G00952.pdf

HARVARD BUSINESS REVIEW. (2013). HARVARD BUSINESS REVIEW: Venezuela’s Chance to Escape the “Resource Curse”. Retrieved from Harvard Business Review: https://hbr.org/2013/03/venezuelas-chance-to-escape-the-re

Inkpen, A. (2016). HARVARD BUSINESS REVIEW: The Global Oil and Gas Industry. Brighton: Harvard Business Publishing.

International Renewable Energy Agency. (2017, Maret). Renewable Energy Prospects: Indonesia. Retrieved from IRENA : International Renewable Energy Agency: https://irena.org/-/media/Files/IRENA/Agency/Publication/2017/Mar/IRENA_REmap_Indonesia_report_2017.pdf

Kasbani. (n.d.). Sumber Daya Panas Bumi Indonesia: Status Penyelidikan, Potensi Dan Tipe Sistem Panas Bumi. Retrieved from Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi: http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=841&Itemid=611

Mehlum, H., Moene, K., & Torvik, R. (2006, January). Institutions and the Resource Curse. OXFORD ACADEMIC: The Economic Journal, 116(508), 1-20. doi:https://doi.org/10.1111/j.1468-0297.2006.01045.x

Mulyana. (2018, November 15). Kontribusi Pertambangan ke APBN Lampaui Target. Retrieved from MEDIA INDONESIA: https://mediaindonesia.com/read/detail/198000-kontribusi-pertambangan-ke-apbn-lampaui-target

Rully, R. (2020, September 8). Menteri ESDM: Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Baru 2,5 Persen. Retrieved from Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2020/09/08/152800726/menteri-esdm–pemanfaatan-energi-baru-terbarukan-baru-2-5-persen?page=all

Tiess, G., Majumder, T., & Cameron, P. (2015). Encyclopedia of Mineral and Energy Policy. Berlin: Springer Berlin Heidelberg.

 

Bedah Film Madona dan Memoria: Ancaman Kasus Kekerasan Seksual di Tengah Masyarakat

Kegiatan Bedah Film Madonna dan Memoria merupakan program kerja Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM Fikom Unpad Kabinet Pancarona, berkolaborasi dengan Cinematography Club (CC) Fikom Unpad, diselenggarakan pada 20 September 2020.

Kegiatan ini merupakan rangkaian screening film pendek yang memuat tema tentang kekerasan seksual, yaitu Madonna dan Memoria. Madonna (2017) merupakan film pendek besutan Sinung Winayoko. Secara singkat, film ini mengisahkan tentang kasus kekerasan seksual yang dialami oleh kakak-beradik (Melati dan Ilalang) yang sedang bekerja di perairan lepas, oleh majikannya sendiri.

Film Memoria (2016) disutradarai oleh Kamila Andini, mengisahkan Maria, seorang ibu dan penyintas kekerasan seksual yang terjadi ketika konflik Timor Leste. Setelah berumah-tangga dan memiliki anak bernama Flora, ia masih diterpa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya sendiri.

Selain screening film, kegiatan ini dilanjutkan dengan diskusi daring terkait tema tersebut. Untuk menuntun jalannya diskusi agar tepat sasaran dan berdaya guna, kami mengundang dua narasumber ahli, yaitu Talissa Febra dan Gorivana Ageza.

Talissa Febra atau Tassa merupakan anggota dari Samahita Bandung, komunitas yang bergerak di bidang pendampingan sosial korban atau penyintas kekerasan seksual. Komunitas ini mengutamakan pemulihan korban dan advokasi tindak kekerasan seksual, terutama yang berlokasi di Bandung.

Lalu Gorivana Ageza atau Echa, ia merupakan pengamat film yang berasal dari komunitas Bahas Sinema. Komunitas yang telah berdiri sejak 2015 ini berfokus kepada pemutaran dan kajian film. Kegiatan komunitas ini bisa diakses di laman website bahasinema.com dan media sosial Instagram @bahasinema.

Audiens mulai memasuki ruang Zoom pukul 15.00 WIB. Setelah itu, kegiatan dibuka oleh moderator acara, Namira Fathya, mahasiswa Fisip UI yang memiliki kepedulian akan kasus kekerasan seksual dan juga memiliki ketertarikan dengan perfilman. Kegiatan dilanjutkan dengan sesi screening film yang dimulai dari pukul 15.35 WIB. Audiens diberi waktu satu jam untuk menonton film yang disediakan di link Google Drive.

Setelah waktu screening film habis, audiens diperkenankan untuk memasuki kembali ruang Zoom untuk mengikuti rangkaian kegiatan selanjutnya, yaitu diskusi dengan narasumber ahli. Rangkaian diskusi dimulai dengan pertanyaan Namira Fathya kepada para narasumber mengenai tanggapan mereka tentang kedua film, sekaligus mempersilahkan narasumber untuk memaparkan materi yang telah dipersiapkan.

Echa menanggapi kedua film tersebut sebagai film yang sangat bisa membuat penontonnya ikut sedih dan getir melihat kasus kekerasan seksual yang dialami karakternya. Selain itu, menurutnya terdapat banyak simbol hierarkis yang ditunjukkan di kedua film tersebut.

Dengan banyaknya simbol hierarkis, kedua film tersebut memiliki benang merah yang sama, yaitu adanya relasi kuasa yang ditunjukan dalam simbol tertentu atau karakter. Dalam film Madonna, terdapat simbol hierarkis berupa patung Bunda Maria, poster Soeharto, dan mandor. Lalu di Memoria, tentara atau TNI direpresentasikan sebagai kuasa negara sekaligus lelaki yang melecehkan perempuan. Tentara tersebut juga menampilkan kesombongan dan kejumawaan aparat keamanan di Indonesia.

Dalam relasi kuasa tersebut, menurut Echa, perempuan lah yang paling dikorbankan sebagai pihak yang menempati posisi paling bawah dalam sebuah hierarki relasi kuasa. Terlihat dari adegan akhir film Madonna, di mana Melati menjadi objek pelampiasan dengan adegan yang menggetirkan, dan juga nasib karakter Maria di film Memoria, ketika Timor Leste telah merdeka dari Indonesia, Maria masih belum mendapatkan kemerdekaan atas tubuhnya yang tetap dirusak oleh suaminya sendiri.

Walaupun begitu, sosok perempuan di kedua film tersebut (Melati, Maria, dan Bunda Maria) ditunjukan dengan cara yang menarik. Salah satunya, ada tendensi membawa imaji kesucian perempuan dalam adegan menutup mata patung Bunda Maria.

Echa menambahkan, dalam film Memoria, pernikahan ditunjukkan sebagai satu-satunya jalan keluar atau solusi tunggal atas segala permasalahan, terutama kemiskinan. Pernikahan dijadikan sebagai bagian dari kegiatan transaksional, di mana perempuan yang menjadi objek dari transaksi tersebut. Padahal, terlihat dari nasib Maria, pernikahan bisa jadi hanya sebagai perpindahan dari satu penindasan ke penindasan lain. Karakter Flora adalah sosok yang tidak punya pengetahuan, dan kenaifannya membawa imajinasi bahwa nikah adalah jalan menuju kebebasan dan kemerdekaan, padahal nyatanya tidak.

Terakhir, Echa mengatakan film Memoria mungkin terinspirasi dari tulisan Aida Milasari, mengisahkan kasus perkosaan istri orang Timor Leste oleh tentara, tentara tersebut dibunuh kemudian dibalas dengan tentara menyerbu desa dan membunuh semua laki-laki di desa itu. Desa tersebut pun dikenal dengan “Desa Para Janda”.

Selanjutnya tanggapan Tassa mengenai kedua film tersebut, ia mengatakan, kedua film tersebut jelas memperlihatkan bahwa kasus kekerasan seksual bukan hanya tentang hasrat seksual, melainkan cara untuk mendominasi antara pihak yang relasi kuasanya tidak seimbang.

Pada dasarnya, korban kekerasan seksual memiliki cara tersendiri untuk mengobati lukanya, tidak terkecuali para korban yang ada di kedua film tersebut. Menurut Tassa, lelaki yang ada di Madonna (Ilalang) melakukan pelampiasan ke adiknya sebagai cara untuk mengobati keresahannya. Lalu di Memoria, Maria mengobati dirinya dengan menyimpan sakitnya sendiri. Hal tersebut adalah beban para korban kekerasan seksual, mereka mengobati lukanya sendiri dan ingin melindungi orang-orang terdekatnya.

Tassa pun memberikan materi singkat tentang fenomena kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender adalah serangkaian tindak kekerasan, penganiayaan, perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan kepada seseorang khususnya perempuan dan kelompok minoritas gender lainnya didasari oleh kondisi ketidaksetaraan gender.

Ada banyak jenis kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, verbal, sosial, dan kekerasan gender berbasis online. Kekerasan seksual biasanya juga disertai dengan kekerasan psikis atau mental, dan masalah utamanya ada di ketimpangan relasi kuasa.

Berdasarkan Foucault, relasi merupakan hubungan, yang bisa jadi positif jika seimbang, dan kuasa merupakan sebuah sistem dominasi atau resistensi. Dalam kasus kekerasan seksual, relasi kuasa tidak hanya terbatas kepada masalah gender, namun bisa juga relasi ekonomi, pendidikan, umur, status, sosial. Contohnya kasus kekerasan seksual yang ada di Film Madonna, masalah tidak terbatas pada gender korban dan si pelaku, tapi juga ada kuasa si mandor terhadap pekerjanya.

Terakhir, Tassa juga menyampaikan perihal bagaimana cara kita menolong korban kekerasan seksual, di antaranya kita bisa mendengarkan kisah mereka, mencari tahu kebutuhannya, jangan menghakimi dan memaksakan pendapat, lalu menghubungi kontak lembaga pelayanan terdekat.

Rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Para audiens diperkenankan untuk bertanya seputar tema dan film yang telah ditayangkan. Sesi ini dimulai dengan sharing salah satu audiens bernama Shafira Maulizar yang berasal dari Aceh. Ia bercerita kisah film Memoria juga dialami oleh masyarakat Aceh ketika menjadi daerah operasi militer. Pada saat itu, banyak kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pihak militer. Sayangnya kasus-kasus tersebut tidak banyak terungkap dan diketahui publik.

Selanjutnya pertanyaan dari Dihan, ia bertanya apakah penggambaran adegan pemerkosaan yang eksplisit di media massa terutama di film itu dampaknya baik atau buruk, atau bahkan sebenarnya tidak diperlukan. Echa menjawab, hal tersebut balik lagi ke concern si filmmaker apakah ia bisa menampilkan adegan dengan baik atau malah jadi eksploitasi. Seharusnya ia bisa tahu batas penampilan seksual yang sifatnya seni dan eksploitasi.

Tassa menanggapi, penggambaran adegan kekerasan seksual harus dilihat dari sisi korban. Adegan tersebut harusnya ditampilkan sebagai bentuk kritik atas kasus tersebut, jika memungkinkan, adegan disampaikan secara tersirat saja sebagai shock value. Selain itu, harus ada content warning yang jelas sehingga penonton bisa mengetahuinya terlebih dahulu.

Pertanyaan selanjutnya dari Fariza. Kedua film memiliki latar di daerah pedalaman dan terpencil, pasti banyak korban yang tidak tahu harus melapor ke mana. Ia bertanya bagaimana solusinya dan pendekatan kepada korban yang berada di pelosok tersebut.

Tassa menjawab, ia sebagai pihak advokasi korban kekerasan seksual terus mencoba membantu korban dari berbagai daerah dan berkoneksi dengan jaringan terdekat. Ia juga mengingatkan agar kita waspada dan membangun relasi dengan teman-teman dekat, serta mengajari orang terdekat apa yang harus dilakukan jika terjadi kekerasan seksual.

Lalu Echa menanggapi, jangankan memikirkan kemana ia melapor, masih banyak korban tidak tahu dan sadar bahwa ia adalah korban kekerasan seksual. Maka dari itu, kesadaran perlu dikembangkan dari lingkungan sosial terdekat. Kelas menengah dan urban saja masih banyak kasus, kesadaran tersebut harus tetap dikembangkan sampai pelosok-pelosok, karena seringkali kasus kekerasan seksual berbenturan dengan penilaian dan dilematika sosial.

Selanjutnya pertanyaan dari Shafira untuk Tassa, mengenai cara mengatasi ekspresi ketika mendengar cerita tentang kekerasan seksual tanpa membuat korban minder. Tassa menjawab, biasanya korban tidak akan terlalu fokus ke wajah kita. Kita sendiri harus fokus ke diri korban dan apa yang bisa kita lakukan untuk dia, karena jika korban cerita ke kita, berarti korban telah memercayai kita. Cukup mendengar cerita korban dan membuat ia nyaman tanpa menghakimi juga sudah baik. 

Tidak hanya audiens, ternyata Echa juga ingin bertanya ke Tassa, mengenai seperti apa keadaan mental pendamping jika dihujani dengan kisah-kisah kekerasan seksual dan hal apa yang menjadi endurance untuk tetap berjuang. Tassa menjawab, biasanya ada 1-2 orang yang menganai satu kasus ringan, namun jika kasus berlapis misal sekaligus kasus ekonomi, bisa 3-5 orang.

Setiap tim tersebut ada yang mengurus bagian hukum, advokasi korban, pelaku, dll. Divisi pendampingan juga ada kelas sendiri yang diisi oleh dokter dan psikiater agar mengerti kapasitas emosional dan kemampuan sendiri. Para pendamping sangat mengandalkan komunikasi jujur dan terbuka, jika ada yang tidak sanggup bisa keluar, jangan sampai depresi.

Pertanyaan selanjutnya dari Daffi, mengenai cara pendekatan kepada penyintas untuk menceritakan pengalamannya ketika ia ingin membuat film tentang kekerasan seksual, dan bagaimana cara mengemas pengalaman tersebut agar tidak terkesan mengeksploitasi. Echa menjawab, penting untuk filmmaker merasa empati dan menempatkan di posisi yang sama dengan korban. Buat korban merasa nyaman, kalau bisa konsultasi dengan ahli, misal pendamping atau psikolog. Filmmaker juga harus punya gambaran jelas tentang isu, dan Echa memberi saran agar dikemas secara fiksi untuk memperhalus isu, bukan medium dokumenter.

Lalu menurut Tassa, biasanya jarang sekali ada korban yang ingin menceritakan kasusnya ke publik. Jika tujuannya untuk membangun awareness, jangan menempatkan korban di depan kamera, apalagi sampai eksploitasi tanpa menggunakan perspektif korban. Dan jika sudah yakin, presentasikan secara hati-hati tanpa membuat korban trauma, setelah ada banyak pertimbangan.

Pertanyaan terakhir datang dari Rein Venareal. Ia bertanya mengenai adat istiadat di film Memoria yaitu budaya belis, di mana wanita bisa dibeli melalui pernikahan, bagaimana mengatasi sistem budaya seperti itu tanpa menghilangkan (menyinggung) budaya setempat.

Tassa menjawab, nilai agama biasanya tidak bisa dilawan, namun sebagai orang yang mampu untuk menolong sebaiknya kita menolong korban dan memberikan pendampingan untuk korban tindak kekerasan.

Echa menanggapi, budaya merupakan bentuk pemaknaan yang selalu berubah seiring berjalannya waktu. Harus memunculkan kesadaran dan sudut pandang bahwa kebudayaan bukan sesuatu yang dicangkok begitu saja dan tidak semua orang bisa terima dan mempertahankannya. Kita sendiri juga harus terus mengkritisi budaya.

Kegiatan Bedah Film ini selesai pada pukul 18.05 WIB, ditutup dengan pemaparan kesimpulan oleh Namira Fathya dan sesi foto bersama seluruh audiens.

Diskusi Publik #2 “Pentingnya Manajemen dan Komunikasi Risiko ketika Pandemi: Telaah Kebijakan Pemerintah di Era New Normal”.

Didasari pada kekhawatiran masyarakat mengenai belum tepatnya penerapan New Normal dalam masa pandemi di Indonesia. Mengingat bahwa jumlah pasien positif Covid-19 terus bertambah signifikan semenjak New Normal diterapkan pada 1 Juni 2020 lalu.

Memicu Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Bima Fikom Unpad Kabinet Pancarona mengadakan diskusi publik untuk saling bertukar pendapat mengenai hal tersebut pada hari Minggu, 6 September 2020 yang berlangsung pukul 13.00 hingga 15.30 WIB.

Diskusi yang dilakukan secara daring melalui media Zoom ini menghadirkan Erman Sumirat, SE, MBuss, CSA, CRP, Ak dan Dr. Herlina Agustin, S.Sos, M.T.

Alur diskusi dipimpin oleh Shereina Sarah Ayumi (Kepala Bidang Kominfo BEM Fikom Unpad) selaku moderator.

Diskusi dimulai dengan pemaparan materi oleh kedua narasumber pada pukul 13.30 WIB. Materi yang diberikan membahas dari sisi ekonomi dalam hal ini manajemen risiko dan komunikasi risiko.

Kemudian dipersempit ruang lingkupnya sesuai dengan fokus studi masing-masing narasumber— Erman Sumirat, SE, MBuss, CSA, CRP, Ak selaku Dosen FEB Unpad dan Dr. Herlina Agustin, S.Sos, M.T. selaku Dosen Fikom Unpad.

Pemaparan materi dilakukan yang dengan teknik yang menarik yang terkadang memancing gelak tawa dan perhatian audiens, masing-masing narasumber diberikan waktu selama 45 menit untuk memaparkan berdasarkan sudut pandang bidang yang dikuasai, dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab bersama audiens.

Sesi tanya-jawab dibuka dengan pertanyaan dari Ermawanto. Pertanyaan dari beliau adalah, “Bagaimana menyikapi regulasi pemerintah yang bisa berubah sewaktu-waktu dan berdampak besar pada perusahaan?”

Pertanyaan dijawab oleh narasumber Herlina Agustin bahwa sikap yang dilakukanlah adalah berusaha memperhitungkan risiko dengan cara manajemen risiko dari setiap keputusan kemudian lakukan review komunikasi risiko serta perbanyak informasi sebagai opsi penanganan risiko yang ada.

Dari narasumber Erman Sumirat, beliau menjawab jika masalah regulasi tergantung industri tempat bekerja. Menurut Erman, pemerintah yang memiliki power dalam memberikan aturan. Namun perubahan itu bisa juga diintervensi oleh pengusaha-pengusaha nakal.

Jika tujuannya adalah membuat bisnis, Erman menyarankan terlebih dahulu membuat mapping bisnis untuk membuat manajemen risiko. Erman menjelaskan biasanya dalam perusahaan yang memang bagian untuk melakukan komunikasi dalam rangka “melobi”.

Pertanyaan kedua diajukan oleh Fariza dari Fakultas Komunikasi Unpad. Pertanyaan dari beliau adalah,

“Untuk bisa mempersiapkan risiko ekonomi ke depan, salah satu hal terpenting bagi beberapa orang adalah memiliki tabungan. Namun bagaimana jika seseorang tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk menabung, bahkan kurang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari?”

Erman Sumirat menjawab dengan mengharuskan adanya safe income yang bisa diandalkan dalam keadaan seperti krisis ini. Biaya hidup harus lebih hemat  demi menjaga tanggungan agar bisa menabung

Erman juga mengatakan, untuk menabung harus ada patokan-patokan tertentu yang dipakai demi menjaga tabungan.

Dari sisi Herlina Agustin menjawab bahwa menabung tidak selamanya tentang saving money, tetapi bisa jadi kesempatan buat investasi dalam kemampuan atau saving skill. karena skill ini juga bisa dikembangkan di masa pandemi ini. Seperti adanya sertifikasi dan sejenisnya.

Pertanyaan ketiga datang dari Dinda mahasiswi Fakultas Hukum Unpad, ia bertanya: “Menurut pendapat Bapak dan Ibu, regulasi seperti apa yang ideal untuk diimplementasikan di situasi saat ini (Pandemi Covid-19) sehubungan dengan manajemen risiko dan komunikasi risiko?’

Dari pertanyaan ini narasumber Herlina Agustin menyatakan bahwa penanya harus menjelaskan secara spesifik regulasi jenis apa. Dengan kejelasan jenis regulasi atau siapa yang mengeluarkan dengan begitu bisa diperjelas tujuan regulasinya ingin berfokus kemana.

Herlina Agustin juga menjelaskan sebelum memutuskan sebuah peraturan kita perlu informasi yang banyak, dan pertimbangan risiko yang jelas.

Pertanyaan terakhir datang dari Camilia Mahasiswi UNY, pertanyaan beliau adalah,

“Bagaimana cara membangun komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat agar terciptanya satu pemahaman tentang kebijakan yang telah dibuat dalam masa pandemi ini jika dilihat dari manajemen resiko dan komunikasi risiko?”.

Pertanyaan ini kembali dijawab oleh Herlina Agustin terlebih dahulu, ia mengatakan seharusnya pemerintah punya payung (legal) untuk melindungi warga. Jadi tujuan utama harus sudah jelas dan implementasinya juga tepat.

Dalam penanganan Covid-19 dan beberapa bidang komunikasi yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan hukum atau regulasinya. karena seringkali aturan dan implementasi hanya beradu untuk kepentingan tertentu semata.

Sedangkan narasumber Erman Sumirat menjawab dengan akronim singkat yaitu komunikasi harus SMART yang merupakan singkatan dari spesifik (specific), bisa dicapai (achievable), bisa diukur (measurable), realistis, dan tepat waktu (timely).

Selesai sesi pertanyaan pukul 15.30 WIB, kedua narasumber membuat pernyataan penutupan untuk seminar kali ini.

Narasumber Erman Sumirat pertama-tama berterima kasih untuk undangan dari BEM Fikom Unpad ini. Ia mengatakan bahwa hidup itu memang penuh risiko, kuncinya adalah kita perlu memikirkan apa yang mungkin terjadi bagaimana mitigasinya, serta berapa biayanya.

Setiap risiko dan krisis harus ada mitigasinya dan solusinya, meskipun bisa berlangsung cepat atau lambat, sebagai manusia kita seharusnya tetap tenang, tidak panik dan tetap memikirkan jalan keluar terbaik.

Sedangkan Herlina Agustin menekankan kepada pengendalian dan disiplin diri di masa pandemi. Dengan cara mengendalikan diri serta mengetahui apa yang kita harus lakukan dan disiplin seperti tetap cuci tangan dan menggunakan pake masker. Baginya, kesehatan adalah kunci dari produktivitas dan peningkatan ekonomi.

Intisari Diskusi Publik;

  •         Perlu adanya kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah karena kecepatan pemulihan ekonomi dari krisis masa pandemi tergantung pada rakyat dan pelaku ekonomi.
  •         Dari sisi manajemen, risiko bisa diminimalisir dengan cara mapping atau membuat profil risiko yang didasari oleh skala prioritas besaran risikonya fungsinya demi memberikan penanganan yang tepat.
  •         Masyarakat perlu memahami pentingnya komunikasi risiko sebagai proses interaktif pertukaran informasi dan pendapat tentang risiko antara penilai risiko, manajer risiko, dan pihak berkepentingan lainnya.
  •         Dibutuhkan keberanian saat berkomunikasi di tengah risiko, pandemi seharusnya dapat menyadarkan masyarakat untuk melihat fenomena ini agar berusaha mencari dan membentuk mitigasi dan solusi bukan hanya sekedar peristiwa belaka.
  •         Komunikasi risiko memiliki 7 macam kebutuhan review yaitu; Scientific review, Editorial review, Management review, Sensitivity review, Legal review, Patens review dan Public affair review.