Words of Thoughts: Bangsa Terbelah

Pada masa konsensual the founding father, harapannya kemerdekaan Indonesia dapat meningkatkan martabat bangsa dan negara setelah dijajah bertahun-tahun dan menjadi pecundang di tanah airnya sendiri. Impian besar terajut menjadi mata air bagi akal dan jiwa untuk tak mati di tengah hampa, gelisah, dan pengasingan dalam bilik-bilik kematian yang mengincar.

Bapak Bangsa. Menyatukan tiap akal pribadi satu sama lain dan menjadikannya sebuah bangsa mandiri pada pertengahan abad dua puluh lalu. Menjadi sahabat, atau berubah menyerang satu sama lain ketika akal budi dinilai tak sesuai dengan janji yang terajut tempo hari itu.

Idealisme pribadi yang bertujuan satu Indonesia, akhirnya memaksa mereka mencari jalan masing-masing demi Indonesia yang mandiri. Kadang menepis gengsi di tengah polemik demi keutuhan negara yang masih hijau muda kala itu. Sutan Sjahrir pernah menjadi seorang oposan, koalisi, hingga sekarat di negara jauh berstatus tahanan negerinya sendiri. Beliau hanya satu dari sekian banyak kasus. ( Tempo, 2010)

Maupun Hatta, yang menjadi sahabat sang presiden, dua jiwa menjelma tunggal dan lambang dari tegaknya kemerdekaan Indonesia. Memisahkan diri sebagai bentuk kritik keras terhadap rekannya yang paling dikenal sebagai proklamator kemerdekaan namun menjelma menjadi sosok yang diktator. (Tempo, 2015)

Keduanya hanyalah contoh kecil pecahnya ruang nahkoda akibat perbedaan idealisme dan penilaian kemana negara ini akan terbawa. Perspektif masing-masing, rasa kengerian yang tak sama membuat jalinan jemari yang semula saling mengeratkan berubah cerai berlainan arah.

Pancasila. Satu kata beranakan makna tentang sebuah bangsa. Dicap ideologi, namun pengertian ideologi itu sendiri masih abu untuk para pemangku kebijakan pahami. Sebagai budaya bangsa, nyatakah setiap nilainya ditanamkan dan berbuah utuh?

Ketuhanan yang Maha Esa. Menjadi landasan pertama bagi empat sila berikutnya. Mengagungkan Tuhan sebagai bukti bahwa matipun mereka tak ragu demi tanah air yang Dia restukan mereka ada di dalamnya. Gema kebesaran Yang Esa kerap dikumandangkan sebagai bagian dari daya, bahwa tiada sesuatu menakuti bangsa kecuali Sang Pencipta.

Beberapa waktu lalu, Menteri Agama dengan mudahnya membuat pernyataan terkait kehadiran radikalisme di kalangan ASN bermula dari anak Hafidz (penghafal) Al-Qur’an yang bertampang good looking (Widiyani, 2020). Pernyataan tak berdasar yang menyakiti para penghafal Qur’an dan mendermakan hidupnya untuk mengkaji ayat-ayat suci.

Kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengikuti rangkaian pertama bahwa akal budi harus diiringi akhlak mulia. Mencerminkan budaya sopan santun, berakhlak mulia. Nilai moral yang harus dimiliki seluruh rakyat Indonesia.

Publik tidak bisa menolak kenyataan negeri ini tengah dilanda krisis moral dan kepercayaan. Baik terhadap pemerintah hingga aparat keamanan. Jurnalistik yang berperan sebagai jalan tengah di antara keduanya dibungkam secara kasar dan mengerikan. Penganiayaan oleh lembaga pelindung dan pengayom, menjelma menjadi tolak ukur ada ketidakberesan dari hukum itu sendiri. (CNN Indonesia, 2020)

Persatuan Indonesia. Tanah yang kaya. Kepulauan yang membentang dari hamparan lebih dari tujuh belas ribu pulau di dalamnya. Menjadi tempat berlari dan bermuara setiap insan yang hidup di atasnya. Satu Indonesia. Membuat yang jauh menjadi dekat, dan merekatkan yang berdampingan.

Peneliti Independen sekaligus pemerhati Papua, Ridwan Al-Makassary, secara jelas menyetujui tak mudah menyelesaikan konflik di Papua. Kekerasan yang membawa korban jiwa baik itu dari pihak TNI maupun warga setempat selayaknya diakui, bahwa 75 tahun Indonesia bersorak merdeka, masih ada keraguan bahkan semangat memisahkan diri dari saudara Timur.  Hal yang patut dipertanyakan masyarakat yang mengaku bahwa Indonesia adalah satu kesatuan, sudah sejauh mana pemerintah memedulikan mereka yang ada di tepian. (CNN Indonesia, 2020)

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Janji demokrasi. Segala sesuatunya dimusyarahkan sebagai bagian emansipasi kehidupan masyarakat yang pernah dibungkam di bawah kuasa kolonial. Menyatukan suara yang sama dan meyakini yang berbeda berhak mengkritisi bilamana tak sesuai janji. Berdiskusi sehat mengkritisi secara tepat.

Pembungkaman suara di sidang paripurna terhadap faksi Demokrat yang secara jelas terlihat dilakukan oleh pemimpin parlementer di Indonesia, hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa kebebasan menyatakan pendapat tak murni adanya.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Utuhnya kerakyatan dipayungi keadilan yang langit membumi. Tidak adanya perbedaan antara pengusaha dan rakyat biasa. Namun nyatanya, keadilan seolah jadi barang mahal bagi mereka yang mengais rezeki hari demi hari. Kemudahan bagi mereka yang mengkapitalisasi segala sisi kehidupan negeri ini.

Konsensus kebangsaan tak hanya terjadi masa Pancasila. Menarik kembali sorak Sumpah Pemuda 1928 yang memulai semangat kemerdekaan satu bangsa satu tanah air. Keduanya disatukan oleh perwakilan yang mewakili kelompok masing-masing secara beragam. Saling mengkritik dan memberi pendapat dan secara lapang menerima perbedaan dengan jalan tengah yang cukup baik.

Namun mengamati lewat kacamata, hingga teropong yang nun jauh disana. Agaknya hal itu baru bersambut sebagai sebuah impian. Idealitas yang diinginkan namun tak berwujud secara realita.

Mengutip dari “Demokrasi Kita” yang ditulis langsung Mohammad Hatta. Secara lugas pernah mengkritisi keras sikap sang sahabat yang akhirnya terpenggal menjadi Dwi Tanggal. Bahwa kemudian, demokrasi berubah menjadi hal yang sentimentil bagi pemerintah. Seolah mandat kekuasaan membuat demokrasi dilucuti dan paham kebebasan ditabrak habis. Bebas bagi penguasa, cengkram berbahaya bagi rakyatnya. (Hatta, 1960)

Tak berbekas, masyarakat awam hanya bisa pasrah pada keadaan. Negarawan yang berani mengomentari kebijakan pemerintah diputar balik menjadi tersangka, disebut penghina kejam pada pimpinan negara dan antek-anteknya.

Koalisi dan oposisi tak lagi jelas warnanya. Ia yang menghujat bisa berubah sahabat. Ia yang menuntut merasa dicurangi dalam kelicikan, kini berpindah haluan memberi dukungan. Ketika rakyat saling memaki dan membela para pionir harapan. Nyatanya mereka saling bercanda dan berlagak baik satu sama lain. Membuat senapan para pendukung berbelok moncongnya ke arah mereka sendiri.

Mirisnya sistem perpolitikan demi kepentingan pribadi dan golongannya sendiri memalingkan para petinggi dari wajah masyarakat yang terkapar sekarat di pojok-pojok gang-gang sempit. Membutakan mata yang kelaparan menjadi penjahat bagi tetangganya sendiri. Membakar nilai-nilai kemanusiaan demi hawa nafsu yang tak tersalurkan akibat tatanan hidup berat yang memuakan.

Mereka mengira miskinnya hidup adalah salah mereka sendiri. Walaupun berperan, namun nyatanya ada pengemudi haluan yang membawa kapal berlayar.

Para pemimpin mengira bahwa keadilan hanya perihal perut kenyang. Padahal lebih dari itu, akal budi dan adab adalah tiang dari peradaban kokoh sebuah bangsa.

Bagaimana mungkin rakyat dapat terpenuhi haknya sebagai manusia mulia dan cerdas. Ketika pendidikan justru berubah menjadi komoditas mahal.

Budaya bangsa yang Pancasila. Budaya murni Indonesia yang kini seolah disia-sia. Istana dan Senayan yang bertindak celaka. Menumbuhkan rakyat yang tak lagi peduli pada bangsanya.

Runtuh. Nurani sang manusia yang mati telah membuat dunia menjadi gelap dan penuh kebisingan tiada manfaat. Mereka yang masih berusaha menjernihkan akal dan hati baru sampai pada tahap menuntut si pembuat onar untuk mengembalikan apa yang dicuri dan dirusak. Belum sampai pada akar masalah yang harus diobati.

Tiada salah akhirnya hiburan menjadi tempat pelarian. Oppa dan Noona menjadi alasan mereka pulang dan bangkit. Sesuatu yang fana dan mendoktrin akan gemerlap dunia yang tak abadi selamanya. Mereka alpa, bahwa oppa dan noonanya juga manusia yang dibaliknya dijadikan alat dan budak.

Tenggelam. Barangkali kartu identitas mereka Indonesia. Namun, sudahkah benar cita-citanya telah sampai pada tahap menyelamatkan bangsa ini dari kegagalan yang tak mudah diraih hanya satu dua tahun saja. Butuh jalan panjang menjadi dewasa dan berpikir idealis.

Nyaris seluruh elemen tak menyadari bahwa ada ancaman yang merusak citra diri bangsa yang berKetuhanan Yang Maha Esa. Ketika pemerintah dan rakyat sama-sama buta. Kemudian kelak tutup mata itu dibuka, barangkali kita terlambat menyadari. Bukan lagi ekspansi kekerasaan yang menghancurkan harga diri. Tatkala sebuah hegemoni mencuri akal budi bangsanya sendiri. Indonesia kehilangan identitasnya yang sejati.

References

Tempo. (2010). Sutan Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil. Jakarta: Kompas Gramedia.

CNN Indonesia. (2020, Oktober 10). AJI: Kekerasan Polisi ke Jurnalis untuk Sembunyikan Kejahatan. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201010141329-20-556854/aji-kekerasan-polisi-ke-jurnalis-untuk-sembunyikan-kejahatan

CNN Indonesia. (2020, September 24). Panas Dingin Konflik Papua di Tangan Jokowi. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200923175941-20-550076/panas-dingin-konflik-papua-di-tangan-jokowi

Hatta, M. (1960). Demokrasi Kita. Jakarta: Pustaka Antara.

Tempo. (2015). Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman. Jakarta: Kompas Gramedia.

Widiyani, R. (2020, September 4). Soal Menag Sebut Radikalisme, Apa Pengertiannya? Retrieved from detiknews: https://news.detik.com/berita/d-5159976/soal-menag-sebut-radikalisme-apa-pengertiannya

 

Oleh: Chairunisa

Words of Thoughts: RUU MiNol Minta Ditampol?

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja memasukan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Alkohol ke dalam daftar Program Legislasi Nasional. Saat saya membaca salah satu pasalnya, saya tertawa sendiri. Mungkin setelah menutup kuping terhadap masyarakat dalam UU Cipta Kerja, sekarang DPR menutup matanya dalam merancang RUU ini.

Salah satu tujuan DPR dalam membuat RUU ini adalah karena pengaturan minuman beralkohol saat ini masih belum diatur secara terpadu dan komprehensif. RUU ini menurut saya setengah-setengah dan tidak jelas. Mungkin yang saya setuju dalam RUU ini adalah bagaimana orang yang dalam pengaruh alkohol merenggut nyawa orang lain. Menurut saya hal tersebut memang sepantasnya dibuat untuk kesadaran masyarakat Indonesia.

Sebelum membahas bahayanya RUU ini terhadap masyarakat Indonesia, mari kita bahas pasal yang membuat saya beropini bahwa RUU ini dibuat saat mereka menutup mata. Pasal tersebut ada pada pasal 8 ayat 2, lanjutan dari pasal lima, enam, tujuh yang berbunyi;

 

Pada pasal tersebut disebutkan beberapa pengecualian, yang membuat saya tertarik adalah pengecualian terhadap wisatawan. Sejatinya, wisatawan ada dua, yaitu wisatawan asing dan domestik. Namun, pada halaman penjelasan per-pasal disebutkan bahwa pasal tersebut cukup jelas. Jadi saya boleh melakukan yang dilarang pada pasal lima, enam, dan tujuh jika saya sedang berpergian ke kota lain?

Kemudian, pada poin e disebutkan dalam penjelasan per-pasal bahwa tempat yang diizinkan adalah toko bebas bea, hotel bintang lima, restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka, bar, pub, klub malam, dan toko khusus penjualan minuman beralkohol.

Karena pasal lima, enam, dan tujuh tidak berlaku kepada wisatawan domestik, jadi apakah ini adalah life hack yang diberikan oleh DPR? Apakah wisatawan domestik ditakdirkan untuk menjadi reseller? Jadi apakah wisatawan domestik boleh membeli pada toko khusus penjualan minuman beralkohol dan minum di mana saja? Waduh saya tidak tahu, mungkin bisa tanya ke DPR?

Setelah membahas pasal, mari kita bahas bahayanya RUU ini bagi masyarakat Indonesia. Karena RUU ini berisi larangan bagi siapapun untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual minuman beralkohol, maka akan berdampak sekali bagi konsumen maupun produsen.

Melihat hal tersebut, dalam pandangan saya, probabilitas penjualan minuman yang aneh (dicampur kimia untuk memabukan) akan masif. Jika melihat bagaimana ganja dilarang di Indonesia kemudian salah satu masyarakat ‘pintar’ Indonesia membuat ganja sintetis dimana tidak ada kandungan ganja sama sekali, hanya saja tembakau yang dicampur dengan kimia.

Itu adalah pandangan awam saya sebagai masyarakat, mohon maaf jika ada salah kata, ini pure keresahan saya terhadap pemerintahan yang mana tidak pernah mendengarkan aspirasi, namun selalu membuat UU yang kontradiktif bagi masyarakat. Sekian dan terima kasih.

 

Oleh: Sulthan Ariq Aden

Words of Thoughs #10 Virus Hoax Menjangkiti Masyarakat

Saat ini dunia sedang dihebohkan dengan virus yang dinobatkan oleh WHO sebagai sebuah pandemi, virus itu adalah virus Covid-19. Namun, rupanya tak hanya virus Corona yang perlu untuk masyarakat lawan saat ini. Masyarakat tidak menyadari bahwa terdapat satu virus yang sudah lama merajalela, tetapi belum ada tindakan pencegahan serius untuk memusnahkannya. Virus tersebut adalah virus hoax.

Saat ini kita sudah berada di era digital, di era ini semua bidang sudah dimudahkan dengan pesatnya perkembangan teknologi, khususnya internet. Tentu hal ini merupakan sebuah kemajuan yang sangat berguna bagi berbagai aspek kehidupan. Namun, segala sesuatu di dunia ini tidak hanya membawa sebuah keuntungan, tetapi akan selalu ada kerugian yang mengikutinya. Sama halnya dengan perkembangan teknologi ini.

Kemudahan akses informasi harus diiringi dengan kemampuan memilah informasi dan bijak dalam mempergunakannya. Dua hal tersebut haruslah beriringan karena apabila tidak maka akan memberikan dampak buruk yaitu mudahnya informasi hoax tersebar di kalangan masyarakat. Mengapa disebut virus hoax? Karena seperti virus lainnya, sebuah informasi hoax akan dengan mudah tersebar dengan cepat ketika sudah ada satu orang yang terjangkit, dalam hal ini yaitu mempercayai suatu informasi hoax dan menyebarluaskannya.

Definisi hoax itu sendiri adalah informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi yang sebenarnya. Dalam KBBI disebutkan bahwa arti hoax adalah berita bohong. Dengan kata lain, arti hoax dapat didefinisikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan, tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Menurut Silverman (2015), hoax adalah sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun ‘dijual sebagai kebenaran. Menurut Werme (2016), hoax adalah berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoaks bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.

Berikut ini adalah jenis-jenis hoax yang perlu diwaspadai:

  1. Satire atau parodi

Satire merupakan konten yang dibuat untuk menyindir pada pihak tertentu. Kemasan konten berunsur parodi, ironi, bahkan sarkasme. Secara keumuman, satire dibuat sebagai bentuk kritik terhadap personal maupun kelompok dalam menanggapi isu yang tengah terjadi.

  1. Misleading content(konten menyesatkan)

Misleading content dibentuk dengan cara memanfaatkan informasi asli, seperti gambar, pernyataan resmi, atau statistik, akan tetapi diedit sedemikian rupa sehingga tidak memiliki hubungan dengan konteks aslinya.

  1. Imposter content(konten tiruan)
    Imposter content terjadi jika sebuah informasi mencatut pernyataan tokoh terkenal dan berpengaruh. Tidak cuma perorangan, konten palsu ini juga bisa berbentuk konten tiruan dengan cara mendompleng ketenaran suatu pihak atau lembaga.
  2. Fabricated Content(konten palsu)
    Fabricated content terbilang menjadi jenis konten palsu yang paling berbahaya. Konten ini dibentuk dengan kandungan 100% tidak bisa dipertanggungjawabkan secara fakta.
  3. False connection(koneksi yang salah). Konten jenis ini biasanya diunggah demi memperoleh keuntungan berupa profit atau publikasi berlebih dari konten sensasional.
  4. False context(konteks keliru)
    False context adalah sebuah konten yang disajikan dengan narasi dan konteks yang salah. Biasanya, false context memuat pernyataan, foto, atau video peristiwa yang pernah terjadi pada suatu tempat, namun secara konteks yang ditulis tidak sesuai dengan fakta yang ada
  5. Manipulated content(konten manipulasi)
    Manipulated content atau konten manipulasi biasanya berisi hasil editan dari informasi yang pernah diterbitkan media-media besar dan kredibel.

Misinformasi atau sering disebut hoax kini tengah menjadi persoalan yang cukup serius. Pasalnya, hoax menjadi salah satu pemicu fenomena putusnya pertemanan, gesekan, dan permusuhan. Lantas Mengapa banyak orang yang mudah percaya dengan informasi-informasi hoax dan mengapa pula penyebarannya begitu masif meski kebenarannya belum  dapat dipastikan?

“Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Misal seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya,” ujar Laras Sekarasih, PhD, dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia, saat dihubungi Kompas.com.

Yang menjadi faktor utama disini ialah fanatisme dan afirmasi. Ketika seseorang terlalu fanatis terhadap sesuatu maka jika terdapat informasi mengenai hal yang ia fanatiskan, maka keinginan untuk pengecekan kebenaran akan berkurang. Selain itu, Ketika kepercayaan, opini, atau sikap seseorang sudah terafirmasi, akan timbul pemicu seseorang dengan mudahnya meneruskan informasi hoax kepada pihak lainya.

Selain faktor-faktor tersebut, banyak juga hal-hal lain yang menyebabkan masyarakat mudah terkena hoax, berikut penjelasannya:

  • Dilansir dari forbes.com, yang membahas tentang artikel eksperimen yang dilakukan oleh IFL science, sebanyak 141 ribu orang membagikan berita berjudul Marijuana Contains “Alien DNA” From Outside Of Our Solar System, NASA Confirms, padahal isi beritanya sama sekali tidak membahas DNA Alien. Ketika disurvei, para pembaca memang hanya tertarik dengan judulnya dan tidak membaca isinya. Hal ini dapat kita simpulkan bahwa hoax dapat menyebar ketika pembuat berita memberikan judul yang tidak sinkron dengan sebuah isi tulisannya.
  • Dalam penelitian yang dilakukan oleh University of Leicester ditemukan bahwa orang yang mengalami lebih banyak tragedi dan kesulitan akan lebih mudah ditipu ketika ia tumbuh dewasa. Misalnya, seseorang yang mengalami perundungan, perceraian, cedera, dan tragedi lainnya akan cenderung lebih mudah mempercayai informasi salah. Hal ini mengindikasikan bagaimana misinformasi tersebut bisa menyerang masyarakat luas, dengan mudahnya akses informasi melalui sosial media, kelompok masyarakat yang demikian akan semakin rentan untuk mendapatkan berita yang salah.
  • Menurut para ahli, semakin banyak seseorang mendengarkan ide, semakin besar kemungkinan seseorang mempercayai ide tersebut sebagai hal yang benar. Informasi-informasi ini akan disajikan dalam berbagai media seperti televisi, radio, dan internet. Hal tersebut dapat kita telusuri bahwa pesan hoaks tidak semata-mata dibuat begitu saja, tetapi dirancang dan disebarkan dengan sedemikian rupa agar dapat dipercaya oleh orang-orang. Oleh karena itu, cara “repetition” dilakukan oleh para penyebar berita melalui media agar pesan palsu ini dapat tersebar luas dan pada akhirnya akan memengaruhi para pembaca berita.

 

Hoax menurut pandangan ahli

  • Ahli Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Muhammad Alwi Dahlan menjelaskan hoax atau kabar bohong merupakan kabar yang sudah direncanakan oleh penyebarnya tersebut. “Hoax merupakan manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah.” Dia menjelaskan, ada perbedaan antara hoax atau berita bohong biasa, karena hoax direncanakan sebelumnya. “Berbeda antara hoax dengan berita karena orang salah kutip. Pada hoax ada penyelewengan fakta sehingga menjadi menarik perhatian masyarakat,”
  • Guru Besar hukum siber dari Universitas Malaya, Malaysia, Abubakar Munir bahkan menyebutkan bahwa penyebaran berita bohong melalui instrumen media online tidak hanya merusak kehidupan demokrasi suatu negara, tapi lebih jauh menjadi penyebab runtuhnya tatanan sebuah negara bangsa.

Di era globalisasi ini, hoax sudah menjadi tumor negara. Sebagai generasi yang paham dengan teknologi dan informasi, kita harus pintar dalam memilih informasi dan berita. Karena saat ini banyak berita palsu yang sengaja disebarkan oleh oknum-oknum yang tidak betanggung jawab. Jika tidak  teliti dan hati-hati, pengguna media sosial atau netizen akan dengan mudah termakan hoax dan bahkan bisa ikut menyebarkan hoax tersebut. Tentunya akan sangat merugikan bagi pihak korban fitnah. Langkah sederhana untuk mengidentifikasi berita hoax agar kita tidak termakan hoax, yaitu hati-hati saat membaca judul berita yang sensasional dan provokatif, cermati alamat situs, perksa faktanya, cek keaslian foto atau video, dan ikut serta dalam komunitaas anti-hoax.

 

Referensi

https://www.liputan6.com/news/read/3867707/hoax-adalah-ciri-ciri-dan-cara-mengatasinya-di-dunia-maya-dengan-mudah

https://www.merdeka.com/jatim/mengenal-arti-hoax-atau-berita-bohong-dan-cara-tepat-menyikapinya-kln.html#:~:text=Arti%20hoax%20adalah%20kabar%2C%20informasi,direkayasa%20untuk%20menutupi%20informasi%20sebenarnya.&text=Padahal%20pencipta%20berita%20tersebut%20tahu,ia%20berikan%20adalah%20berita%20palsu.

https://www.medcom.id/telusur/cek-fakta/4KZ6rAqK-mengenal-7-jenis-hoaks

https://www.liputan6.com/news/read/3867707/hoax-adalah-ciri-ciri-dan-cara-mengatasinya-di-dunia-maya-dengan-mudah

https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/01/11/ojm2pv361-ahli-hoax-merupakan-kabar-yang-direncanakan

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c8a3ed470ef2/pandangan-dua-ahli-tentang-pengaturan-berita-bohong/

https://tirto.id/3-alasan-kenapa-orang-mudah-tertipu-hoaks-dan-berita-bohong-ejku

https://www.idntimes.com/science/experiment/bayu/ini-8-alasan-kenapa-banyak-orang-indonesia-mudah-percaya-hoax-atau-kabar-bohong/8

https://nasional.kompas.com/read/2017/01/23/18181951/mengapa.banyak.orang.mudah.percaya.berita.hoax.?page=all

 

Oleh: Maharani Arlla Yesifa, Muhammad Hisyam Nahir, dan Yasmina Shofa Az Zahra

Diskusi Publik “Media Coverage dalam Isu Kekerasan Aparat di Media Mainstream”

Divisi Kajian dan Aksi Strategis BEM Fikom Unpad pada 29 November 2020 kemarin telah melaksanakan diskusi publik terkait cakupan pemberitaan media mainstream mengenai isu kekerasan aparat selama demonstrasi UU Cipta Kerja yang terjadi beberapa waktu sebelumnya.

Sesuai dengan sampaian Ketua BEM Fikom Unpad 2020 Daniel Rexa Faraz, diskusi ini diharapkan mampu membangun wawasan dan sikap terkait pers Indonesia yang masih mendapatkan banyak tekanan khususnya dalam peliputan demonstrasi beberapa waktu terakhir.

Mengundang Abie Besman, S.Sos, M.Si. selaku Executive Producer Kompas TV sebagai perwakilan praktisi media, serta Dr. Eni Maryani, M.Si. selaku dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad sebagai perwakilan akademisi.

Bertajuk “Media Coverage dalam Isu Kekerasan Aparat di Media Mainstream”, diskusi ini berfokus pada sikap represif yang diterima jurnalis di lapangan peliputan. Demonstrasi besar-besaran yang terjadi di beberapa kota di Indonesia di ketahui telah menumbuhkan kembali isu pembungkaman pers oleh aparatur negara.

Tak hanya bicara tindakan perundungan terhadap jurnalis. Diskusi ini kemudian bergeser pada mengenai media massa yang memberikan pengaruh dalam sebuah tatanan masyarakat. Nilai yang akhirnya dibangun dalam masyarakat, maupun pandangan khalayak yang muncul terhadap industri media massa saat ini.

Sepanjang diskusi dilakukan, ada lima pertanyaan yang hadir kepada panelis hari ini.

Pertanyaan pertama datang dari Amin Saragih selaku akademisi Fikom Unpad. Ia bertanya mengenai komentar Eni Maryani terhadap kompetensi jurnalis yang kurang memahami tentang rendahnya literasi media, UU Pers, hingga Kode Etik Jurnalistik.

Eni Maryani mengakui masih ada jurnalis yang tidak memahami tiga hal tersebut. Kemudahan menjadi jurnalis dari berbagai bidang nyatanya dapat menumbuhkan perbedaan paham jurnalisme dalam lingkup profesi jurnalis selama ini. Bagi kalangan akademisi jurnalistik, profesi jurnalis bukan lagi melihat secara materi yang dihasilkan, melainkan pilihan hidup dalam meliput fakta untuk sampai pada masyarakat. Ketidakpahaman terhadap kode etik dapat menanggalkan rasa puas terhadap karya jurnalistik tersebut. Selain itu institusi perusahaan media saat ini belum memiliki model perlindungan kokoh terhadap para wartawannya, yang justru rentan mendapat pemutusan kerja sepihak. Karena itu penting pembentukan dan pemahaman regulasi yang baik dalam melindungi dan membangun jurnalis oleh berbagai pihak terkait.

Pertanyaan selanjutnya dari Fariza kepada Abie Besman. Kepolisian sebagai aparat merupakan salah satu sumber utama pemberitaan jurnalis. Informasi yang dihadirkan oleh polisi selamanya benar atau justru sebaliknya, terutama berkaitan dengan kerusuhan di tengah demonstrasi.

Abie mengakui bahwa aparat adalah bagian dari sumber berita. Jika kita bertindak sebagai seorang masyarakat sipil yang membutuhkan perlindungan, mau tidak mau kita harus memercayai kepolisian sebagai pihak berwenang. Namun selaku jurnalis, kewenangan belum tentu membuktikan kebenaran, tugas jurnalis adalah mengawasi dan menguji fakta lapangan. Sebab pemilik otoritas belum tentu membuktikan kebenaran.

Selanjutnya adalah pertanyaan dari Maisaroh. Menyinggung soal kepentingan dari media massa dalam menyajikan isu tertentu, ia menangkap kepentingan terhedup cenderung condong pada dimensi realistis dibanding dimensi idealis seorang jurnalis. Negosiasi seperti apa yang tepat bagi jurnalis di antara idealisme serta kepentingan yang ada di belakangnya.

Abie Besman menjawab, bahwa antara buruh ataupun jurnalis belum memiliki relasi kuasa yang seimbang dengan perusahaan. Terkadang di Indonesia kebijakan jurnalisme diberi tekanan kepentingan yang lebih kuat seperti ekonomi, politik, pemilik perusahaan dan lainnya. Jarang sekali media massa di Indonesia berdiri sendiri, melainkan pengiring bagi perusahaan yang jauh lebih besar di atasnya.

Itulah yang membuat subjektifitas sangat erat bagi media massa khususnya di Indonesia. Tak hanya melihat output media, namun lihat siapa pemilik media itu. Relasi kekuasaan tersebut tampak tidak ideal, harapannya ke depannya jauh lebih baik.

Sementara bagi Eni Maryani, pesimistik sering timbul terkait pertanyaan tersebut. Namun ia tetap mengingatkan bahwa kewajiban seseorang menjalankan apa yang mampu ia lakukan. Jika ingin menjadi praktisi media lihatlah media yang berusaha menjauhkan diri dari kepentingan pemilik medianya. Menilik segala lapisan dalam institusi hingga ideologi yang dianut, sehingga negosiasi masih mungkin dilakukan.

Dalam hierarki individu tetap memiliki peranan, termasuk jurnalis. Sebab jurnalis yang langsung melihat sebuah persitiwa. Bagaimana profesionalisme dibuktikan dengan wawasan luas dan perspektif yang berpihak pada kebenaran. Tanpa melihat siapa atasan seorang jurnalis, yang terpenting di awal adalah menghasilkan karya jurnalis terbaik. Nantinya diharapkan akan ada negosiasi antara jurnalis, pemilik media, dan pemilik modal. Bagaimanapun kebenaran harus dikemas dengan baik demi melihat daya tarik dan kualitas.

Negosiasi terbaik adalah bertindak kreatif. Tanggung jawab jurnalis buat mengubah institusi, melainkan semua orang. Karena itu pentingnya kelompok yang memiliki pendidikan tajam terkait jurnalis, sehingga pemahaman idealisme terkait jurnalistik jauh lebih sempurna.

Selanjutnya pertanyaan dari Andi Rafli terkait kontradiksi sikap represif aparat di lapangan dalam pemberitaan media. Apakah dibutuhkan keterlibatan media asing dalam menyuarakan suara yang terbungkam? Terlebih lagi di Thailand ramai pemberitaan terhadap demonstrasi oleh media asing dibandingkan media lokalnya.

Abie Besman mengatakan, hal ini berkaitan dengan news value salah satunya yaitu kedekatan. Selain siapakah pembacanya, namun juga unsur geopolitik. Kepentingan apa yang hendak diraih dari sebuah negara terhadap negara asing yang dilihatnya. Contohnya pemberitaan media Jerman terhadap isu penggunaan hijab bagi anak-anak di Indonesia yang justru menuai kritik karena tidak adanya keterkaitan urusan. Kecuali berkaitan dengan isu peristiwa kemanusiaan contohnya tsunami Aceh tahun 2004 lalu.

Peliputan media asing berkaitan dengan batas negara. Selain karena perizinan yang panjang, maka khalayak berhak sangsi bahwa negara lain juga akan turut serta ikut campur dalam sebuah permasalahan tersebut.

Lalu menurut Eni, bagaimanapun media asing sendiri akan memilih berita apa yang akan mereka angkat. Hal yang tidak bersangkutan dari pemerintahan internal tentunya kecil kemungkingkan untuk dipilih.

Pertanyaan terakhir datang dari Firdaus, terkait tekanan terhadap jurnalis di media mainstream yang ditunggangi berbagai kepentingan politik. Namun sebagai media yang lebih mendapat perhatian masyarakat, bagaimana cara jurnalis untuk tetap idealis dalam memberikan pemberitaan yang benar ketika masyarakat masih awam terhadap media alternatif? Sementara masyarakat mudah sekali tergiring opini akibat media yang dikonsumsinya.

Menurut Eni, bagi masyarakat awam media mainstream lebih aman dengan prosedur yang lebih tertata. Disamping itu, segala hal yang timbu di masyarakat sebenarnya dipenuhi kepntingan sekalipun itu pengetahuan. Justru khalayak harus mampu mengenali kepentingan apa-apa yang disampaikan. Keterbukaan media terhadap kepentingan tertentu sebenarnya jauh lebih baik sehingga masyarakat dapat menilai apa yang dibutuhkannya.

Pada akhirnya segala hal harus dinegosiasikan antara media dan khalayak dengan seimbangnya dua kepentingan antara memenuhi kebutuhan media maupun konten yang dibutuhkan masyarakat.

Lalu Abie menambahkan, ini erat dengan krisis kepercayaan. Perbedaan antara media konvensional dan media digital terletak pada penanggung jawab media terkait. Tidak hanya harus cerdas memahami konten, namun juga dari mana platform tersebut berasal. Ada proses yang harus dilalui dalam mengembangkan media massa yang baik bagi masyarakat. Termasuk memahamkan masyarakat dalam berliterasi media.

Simpulan dalam diskusi kali ini di antaranya:

  • Kemewahan di abad ini bukan pada kemudahan dalam mendapatkan informasi, melainkan kemudahan untuk menyaring informasi. Hal itulah yang didapat oleh orang-orang berpendidikan tinggi di Indonesia. Sebab jurnalis tidak bergerak sendiri, melainkan society itu sendiri.
  • Para akademisi media diupayakan terus memperbaiki pengetahuan dan kompetensi di bidang media sehingga dapat membangun media yang lebih baik. Meningkatkan idealisme dalam proses sebuah media.
  • Sikap represif yang diterima wartawan baik itu media mainstream maupun alternatif tak hanya hadir dari kalangan aparatur negara. Pihak dari kalangan manapun baik itu warga sipil hingga politikus nyatanya memiliki rekam jejak dalam kasus perundungan kepada jurnalis, khususnya di media sosial.
  • Subjektifitas yang merupakan agenda setting media telah menurunkan tingkat kepercayaan berbagai pihak terhadap media mainstream. Namun, sikap tersebut akhirnya berimbas pada penghakiman wartawan yang tengah mencari objektifitas di lapangan dari berbagai sudut pandang pihak terkait dalam sebuah isu.
  • Sikap represif baik secara fisik maupun psikis tidak pernah dibenarkan dari semua sudut kehidupan hukum. Kekerasan yang terjadi saat ini adalah bagian dari kepentingan dan kepentingan tersebut akhirnya memunculkan hukum. Bagaimanapun, hukum harus memastikan bahwa dalam sudut kehidupan tidak diperlukan lagi kekerasan untuk mengatur manusia.
  • Berdasarkan akademisi yang disampaikan Eni Maryani, mobilitas media massa tidak hanya dipengaruhi oleh pihak media itu sendiri. Seluruh lapisan sosial termasuk masyarakat perlu mendukung kerja media tersebut. Masyarakat memiliki trust terhadap media mainstream yang menjadi rujukan terdekat saat ini.