Mengenal The Invisible Man of Queen, Siapakah Dia?

Pada tahun 1971, anggota terakhir sekaligus anggota termuda dari band Queen bergabung. John Richard Deacon, yang pada saat itu usianya masih 20 tahun, memegang peran sebagai pemain bass dalam band Queen. Ia bergabung atas ajakan Brian May, sang gitaris Queen dan Roger Taylor, drummer Queen. 

Selain anggota termuda, John Deacon juga dikenal sebagai anggota yang paling pendiam dan pemalu dari tiga lainnya. Hal tersebut membuat ia mendapat julukan The Invisible Man. Namun hal tersebut tidak menghalangi jalannya kontribusi John Deacon dalam memproduksi karya untuk Queen.

Queen dalam produksi lagunya, banyak melibatkan Freddie Mercury sang vokalis dan Brian May sang gitaris. Namun, Roger Taylor dan John Deacon pun diperbolehkan dan dibebaskan untuk berkontribusi dalam produksi karya. John Deacon acap kali berkontribusi mengubah beberapa lagu untuk Queen, termasuk lagu-lagu top hits seperti “You’re My Best Friend” , “Another One Bites the Dust”, dan “I Want to Break Free”.

“Another One Bites the Dust” bahkan menjadi penghantar Queen dalam ranah music disco dan R&B, yang juga merupakan salah satu dari dua lagu yang menembus urutan teratas pada chart Billboard Amerika Serikat dan memperoleh penghargaan American Music Awards 1980.

Brian May dan Roger Taylor pernah mengatakan bahwa sosok John Deacon bukan sosok yang paling “nge-rock” dalam band Queen. Hal tersebut dibuktikan dengan banyak lagu ciptaannya yang bukan bergenre rock. Namun, John Deacon selalu mendapatkan arahan maupun dukungan dalam memproduksi karya dari vokalis Queen yang iconic, Freddie Mercury.

Sayangnya, pada tahun 1991, Freddie Mercury meninggal dunia dan hal tersebut membuat John Deacon sangat terpukul. John Deacon memutuskan untuk pensiun setelah kepergian Freddie Mercury. Meskipun ia kembali pada tahun 1997 untuk melakukan rekaman lagu “No One But You (Only Good The Die Young)” yang ditulis oleh Brian May yang terinspirasi oleh persahabatan John Deacon dan Freddie Mercury, John Deacon memutuskan untuk pensiun total baik dari band Queen maupun dunia musik. 

Kala itu, John Deacon berkata bahwa “Queen is not Queen without Freddie Mercury.”. Hal tersebut memberikan gambaran jelas bahwa di mata John Deacon, sosok Freddie Mercury tidak dapat tergantikan. Ia kehilangan semangat bermusik setelah Freddie Mercury tiada.

Kehidupan John Deacon setelah pensiun sangatlah tertutup. Pada tahun 2001 saat Queen dinobatkan dalam Rock and Roll Hall of Fame, ia tidak menunjukkan kehadirannya. Selain itu, bahkan pada saat acara World Premiere film Bohemian Rhapsody yang menceritakan perjalanan karir band Queen termasuk dirinya tahun 2018 lalu, ia pun tidak hadir.

Namun, Brian May mengatakan bahwa dirinya maupun Roger Taylor masih berhubungan baik dengan John Deacon. Ia juga mengatakan bahwa apabila John Deacon tidak menghubunginya atau Roger itu merupakan pilihannya dan John Deacon adalah seseorang yang cukup sensitif. Roger Taylor pun menambahkan bahwa meskipun ia dan John Deacon tidak saling bicara, ia meyakini bahwa John Deacon merestui apa saja yang ia dan Brian May lakukan terhadap band Queen. Ia pun berkata bahwa John Deacon dan band Queen telah melakukan banyak hal bersama-sama.

Banyak yang mengatakan bahwa keterpukulan John Deacon atas kematian Freddie Mercury hingga ia kehilangan semangat bermusiknya adalah kisah yang menyedihkan, tetapi sebetulnya tidak. Ia menemukan titik untuk berani berhenti dalam bermusik bagi dirinya dan meninggalkan karya-karya yang luar biasa setelah masa pensiunnya. Tentu hal tersebut merupakan sebuah keputusan besar yang ia ambil. Ia pun menghargai sahabatnya, Freddie Mercury dalam pernyataannya bahwa tidak ada yang bisa menggantikan Freddie Mercury oleh siapapun. Ia juga berpensiun pada usianya yang menginjak kepala empat dan menikmati kehidupan setelah pensiun bersama keluarganya. What a perfect life of The Invisible Man of Queen.

Ditulis oleh: Zalfa Ghina Khairunnisa

“Baiknya Layani Kami Saja Dulu, Tuan”: Sebuah Esai Penolakan terhadap Indonesia Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2034

Pada perhelatan Olimpiade 1920, seorang bapak-bapak berujar, “saya ingin membuat perhelatan sepakbola bertaraf internasional.” Sepertinya, si bapak adalah orang baik yang Tuhan selalu kabulkan doanya karena setahun setelahnya, ia ditunjuk menjadi presiden organisasi sepakbola bertaraf internasional. Sembilan tahun setelah penunjukannya, perlombaan bal-balan impiannya diwujudkan di Uruguay. Demi menghargai kontribusinya, nama si bapak diabadikan menjadi nama trofi kompetisi tersebut.

Sejak itu, lomba ini diadakan 4 tahun sekali dan menjadi kompetisi sepakbola dengan prestise tertinggi seantero dunia. Perlombaan ini adalah Lebaran Haji, dengan stadion sebagai Ka’bah, pemain sebagai jamaah, dan trofi sebagai hajar aswad. Mereka yang berhasil mencium si hajar aswad akan dianggap telah tuntas jasanya di dunia dan dipersilahkan pulang menuju surga.

Si bapak kini telah tiada, tapi arwahnya tetap berkeliling mengawasi perlombaan ciptaannya berlangsung dalam bentuk sebuah trofi. “Ke mana lagi, ya, tahun depan?” Kata Jules Rimet.

***

Australia punya ambisi besar untuk mengundang Jules Rimet ke negaranya. Setelah kegagalan untuk menyelenggarakan Piala Dunia untuk tahun 2022, kini mereka berambisi untuk mengajukan diri untuk kompetisi edisi 2034. Namun, sang Negara Kangguru tak ingin sendiri menjadi tuan rumah. Mereka memiliki beberapa rencana kandidat yang akan diajak bekerja sama. Mereka berencana mengajak Si Kiwi—Selandia Baru, dan Si Komodo—Indonesia.

Indonesia! Negara dengan 34 provinsi ini hendak diajak Australia menjadi tuan rumah Piala Dunia! Kylian Mbappe terkena macet di Fatmawati, Haaland terjebak banjir di Buahbatu! Siapa yang tak ingin?

Yah, sepertinya saya, dan semoga, teman-teman sekalian yang membaca.

***

Yunus Nusi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), menyatakan ketertarikannya. “Kami sangat tertarik dengan tawaran tersebut. Itu merupakan momentum terbaik untuk Indonesia.” Ujarnya pada 16 Agustus 2021.

Momentum untuk siapa, Tuan?

***

Sebagai sebuah awalan, tulisan ini akan sangat berkiblat pada buku Soccernomics karya Simon Kuper dan Szymanski, sebuah buku yang saya sangat rekomendasikan baca kepada kalian yang tertarik untuk mempelajari sepakbola melalui perspektif statistik.

***

Penyelenggaraan Piala Dunia selalu dianggap sebagai suatu anugerah kepada sang negara tuan rumah. Bayangan angka-angka dalam tabel ekonomi akan naik, bule-bule dari berbagai negara datang dengan mental siap untuk menghabiskan uangnya, serta wajah-wajah pribumi tersenyum sumringah.

Sayangnya, seringkali hanya satu bayangan yang terwujudkan.

Pertama, untung secara ekonomi jarang kali terjadi, seringnya malah buntung, mengingat adanya stadion baru yang akan dibangun. Berkaca pada Piala Dunia 2022 di Qatar membutuhkan 8 stadion dengan kualitas yang sesuai untuk Piala Dunia. Alhamdulillah, menurut indosport.com, Indonesia sudah mempunyai 8 stadion yang berstandar FIFA. Namun, mengingat artikel tersebut ditulis pada tahun 2019 dan beberapa dari stadion tersebut masih dalam proses perampungan atau sudah lama tidak digunakan sehingga membutuhkan renovasi.

Berdasarkan hal tersebut, tentu lapangan pekerjaan akan dibuka. Bedeng akan dibangun di depan Stadion Utama Riau untuk tempat tinggal sementara para tukang bangunan, warung-warung makanan akan banyak dibuka, perumahan-perumahan akan dibangun dekat stadion, dan jangan dilupakan pembangunan akses yang meliputi jalan raya, hotel, dan infrastruktur lainnya yang dibutuhkan. Tentu saja, menggunakan mata telanjang, hal ini adalah penyerap tenaga kerja dan akomodasi kehidupan sehari-hari yang baik sehingga peluang untuk angka ekonomi negara akan naik.

Ternyata, berkaca pada fenomena masa lalu, kenyataannya tak begitu. 

Polandia, salah satu tuan rumah untuk Piala Euro 2012—perhelatan sepakbola antar negara Eropa, sepertinya sepadan untuk dibandingkan dengan Indonesia. Selain bendera antar negara yang hanya dibalik-balik saja, kedua negara (meski Indonesia masih calon) juga menjadi “setengah” tuan rumah untuk perhelatan perlombaan sepakbola berprestise tinggi.

UEFA—federasi sepakbola benua Eropa, meminta kepada Polandia untuk membangun bandara, hotel bintang lima, dan tentu saja, stadion baru. Hal ini menyebabkan Polandia menghabiskan 10 miliar Dollar Amerika Serikat untuk membangun permintaan “si-anak-cengeng-UEFA”. Memang, beberapa infrastruktur yang dibangun masih digunakan, namun kebanyakan—stadion baru yang megah, jalan-jalan baru, hotel-hotel yang memanjakan, dan bandara di kota kecil yang mengantuk—bukanlah sesuatu dengan tingkat urgensi yang tinggi. 

Saya tak tahu situasi nyata di lapangan, namun sepertinya, masyarakat di Sleman belum membutuhkan banyak hotel bintang lima; orang-orang Kutai Kartanegara belum membutuhkan bandara yang pernah disambangi oleh Bukayo Saka. Orang-orang sepertinya lebih membutuhkan pekerjaan dan beras dibandingkan stadion mewah yang sepertinya tak akan dapat mereka injak rumputnya.

Afrika Selatan menjanjikan pergelaran Piala Dunia dengan harga yang “murah”, dengan budget sebesar “hanya” 170 juta Dollar Amerika Serikat. Namun, seiring berjalannya waktu, “anak-yang-tak-kalah-cengeng-bernama-FIFA” meminta ini, meminta itu, sehingga biaya yang dibutuhkan membengkak 10 kali lipatnya. Hal ini dibarengi dengan proposal Piala Dunia awal yang orisinil dari Afrika Selatan “hilang”. Sebagai sesama negara berkembang, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi “Afrika Selatan kedua”.

Begitu pula dalam hal tenaga kerja. Mereka hanya akan dibutuhkan sesuai dengan periode Piala Dunia: 4 tahun sekali. Mengintip Piala Euro 1996, sebuah penelitian yang diadakan oleh Liverpool University mencoba mengetahui angka lowongan pekerjaan baru yang disebabkan oleh perlombaan dengan banyak pemain kelas dunia ini. Hasilnya? Hanya ada 30 peluang pekerjaan baru yang dibuka dengan semuanya hanya bersifat temporer.

Selain itu, satu hal yang perlu diingat: semua pembangunan ini membutuhkan uang. Dari mana uang tersebut berasal? Tentu saja APBN/APBD. Hal ini mengindikasikan, pajak-pajak yang dibayarkan oleh (orang tua) kita untuk pendidikan dan kesehatan bangsa, akan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur Piala Dunia. 

Baiknya, kenyang dan cerdaskan kami saja dulu, Tuan, dibandingkan membangun stadion baru.

***

Selanjutnya, stigma bahwa angka turis akan meningkat.

Ratusan pemain kualitas dunia akan berkumpul di satu negara akan diikuti dengan hadirnya puluhan ribu penonton sepakbola. Begitu, bayangannya.

Pada perhelatan Olimpiade 2004, salah satu perlombaan terbesar taraf internasional, mencatatkan bahwa jumlah wisatawan yang berkunjung ke negara mereka turun sebesar 10 persen. Hal ini wajar terjadi. Coba bayangkan, kalau anda bukan seorang penikmat sepakbola yang lelah dengan aktivitas rutin harian, yang berisikan pekerjaan menumpuk dan atasan yang pendapatnya suka bikin muka anda tertekuk. Anda akan lebih memilih mana: rebahan di pantai dengan es kelapa di samping atau mengantre sejam bersama puluhan ribu orang lainnya untuk menyaksikan 90 menit pertandingan yang membosankan? Sekali lagi, kalau anda bukan penikmat sepakbola.

Lalu, pada Piala Dunia 2006 di Jerman, hanya 51 persen dari seluruh wisatawan asing yang memiliki tujuan utama untuk menonton sepakbola. Menariknya, setengah dari angka tersebut adalah ekspat Jerman dari luar negeri. Tanpa Piala Dunia pun, suatu saat mereka akan pulang ke tanah airnya. Hal ini pun mengindikasikan, “hanya” sekitar 25 persen wisatawan non-Jerman yang datang untuk menonton Piala Dunia. Kalau berharap Stadion Gelora Bandung Lautan Api akan dipenuhi bule-bule Eropa dan Amerika Latin, sebagai peringatan, jangan kecewa kalau yang datang hanya akang-akang biasa seperti saya.

Angka wisatawan akan melonjak? Sepertinya utang negara yang melonjak, Tuan.

***

Satu-satunya stigma yang tepat adalah senyum para warga lokal.

Simon Kuper, salah satu penulis Soccernomics, datang ke Jerman untuk perhelatan Piala Dunia 2006. Ia mengunjungi jalan tempat tinggalnya pada masa kecil, yang 15 tahun lalu terkesan suram dan para penduduk bahkan tak berbicara satu sama lain, kini berisikan warna-warni dari negara-negara partisipan yang dipasang di tiap gedung dan seluruh warga memiliki rona wajah yang cerah.

Berkaca pada perlombaan-perlombaan dahulu, menjadi tuan rumah suatu acara olahraga besar memiliki tendensi untuk membuat warganya menjadi lebih bahagia. Analogi yang tepat adalah “anda mengadakan pesta bukan untuk mendapatkan uang, tapi untuk membuat anda senang.”

Untuk mengadakan sebuah Piala Dunia, baiknya mempunyai “uang dingin” yang dalam kamus investasi memiliki arti “porsi uang yang tidak dibutuhkan dalam waktu dekat”. Oleh karena itu, Jerman dapat menghabiskan uang untuk membuat warganya senang, berbeda dengan Brazil yang malah mendapatkan aksi demonstrasi penolakan Piala Dunia dari rakyatnya. Negara maju (tentu saja) lebih baik dan mampu untuk mengadakan Piala Dunia dibandingkan negara dunia ketiga.

Tuan, kalau memang kita punya “uang dingin” yang bisa digunakan untuk menggelar pesta semarak, kenapa perut kami terasa kosong, Tuan?

***

Tak menyebutkan hal-hal seperti kasus kekerasan pada tukang bangunan untuk Piala Dunia 2022 di Qatar, gerakan anti-stadion di Amerika Serikat, dan fenomena lainnya, saya rasa ketiga hal di atas yang saya jabarkan dapat menggambarkan kenapa Indonesia belum bisa jadi tuan rumah Piala Dunia 2034, Tuan.

Memang, Piala Dunia akan mampu membuat kami senang. Namun, sepertinya ada cara lain yang lebih efisien untuk membuat kami senang, Tuan.

Memang, Piala Dunia akan membuat turis-turis datang, tapi sepertinya uang untuk membangun hotel lebih baik digunakan untuk mengelola sektor pariwisata kami agar dapat lebih bertahan lama, Tuan.

Memang, stadion Piala Dunia akan menjadi suatu kebanggaan bagi kami, tapi sepertinya uang pembangunannya akan lebih berguna dalam rupa bantuan sosial untuk kami, Tuan.

Daripada melayani tuan-tuan baik dari Inggris, Brazil, Argentina, dan lain-lain, baiknya layani kami dulu, para penjaga rumahmu, Tuan. Layani kami, Tuan.

Daftar Pustaka

Kuper, S., & Szymanski, S. (2014). Soccernomics : why England loses, why Germany and Brazil win, and why the U.S., Japan, Australia, Turkey and even India are destined to become the kings of the world’s most popular sport. New York: Nation Books.

Ranala, A. (2019, April 23). Stadion di Indonesia yang Memenuhi Regulasi FIFA untuk Menggelar Piala Dunia. Retrieved from Indosport: https://www.indosport.com/sepakbola/20190423/stadion-di-indonesia-yang-memenuhi-regulasi-fifa-untuk-piala-dunia/stadion-di-indonesia-yang-memenuhi-syaratThe Editors of Encyclopaedia Britannica. (2021, August 19). World Cup. Retrieved from Britannica: https://www.britannica.com/sports/World-Cup-football

Rilis Diskusi Publik #2: Ada Apa Dengan Kebebasan Berpendapat di Indonesia?

Beberapa waktu lalu dunia maya Indonesia sempat dibuat heboh, terutama dalam kalangan akademisi. Hal ini dikarenakan kemunculan sebuah postingan pada akun media sosial BEM UI dengan judul “The King of Lip Service”. Pada postingan tersebut BEM UI menyampaikan kritikannya terhadap Presiden Indonesia, Joko Widodo yang kerap kali memberikan tutur kata halus dan janji semata kepada warganya, “Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya,” tulis @BEMUI_Official.

Lantas hal tersebut pun menuai banyak pro dan kontra. Beberapa pihak menyatakan bahwa BEM UI telah melakukan Langkah yang tepat dengan berani mengkritik kinerja pemerintah, namun tak banyak pihak yang tidak setuju pula dengan hal tersebut. Salah satunya datang dari pihak rektorat UI yang melakukan intervensi terhadap langkah yang diambil oleh BEM UI, selanjutnya aksi protes pun datang dari tokoh publik yang sempat mengatakan bahwa mahasiswa harusnya belajar saja, tidak perlu melakukan protes seperti itu.

Menyadari adanya permasalahan tersebut, BEM FIKOM Universitas Padjadjaran kemudian mencoba untuk mengadakan ruang diskusi publik dengan tema “Ada Apa Dengan Kebebasan Berpendapat di Indonesia?”. Diskusi publik dilaksanakan pada Jumat, 23 Juli 2021 dengan mengundang dua pembicara hebat, yang pertama ialah Dr. Suwandi Sumartia, M.Psi. yang merupakan seorang Dosen komunikasi politik dan perburuhan FIKOM Universitas Padjadjaran. Lalu pembicara kedua ialah Heri Pramono yang merupakan perwakilan dari LBH Bandung.

Diskusi dimulai pada pukul 13.30, diawali dengan pemaparan dari narasumber pertama,  yaitu Dr. Suwandi Sumartia, M.Psi. yang menyebutkan bahwa, setiap perubahan di setiap negara pasti melibatkan mahasiswa. Tidak ada revolusi suatu negara yang tidak melibatkan mahasiswa. Demokrasi tetap mengalami dinamika bahkan di negara maju. Menurut Suwandi, baik di negara maju ataupun negara berkembang, demokrasi akan terus mengalami dinamika yang berubah-ubah, hal ini dikarenakan bentuk politik yang begitu cair.  Oleh karena itu, diperlukan sebuah pemikiran kritis dari para jiwa-jiwa muda untuk memecahkan permasalahan yang ada, kasus-kasus seperti COVID-19, politik, atau penyelewengan dana bansos merupakan beberapa contoh permasalahan negara yang masih bisa belum terselesaikan dengan baik.

Selanjutnya, Suwandi membahas mengenai fenomena kebebasan berpendapat di Indonesia yang erat kaitannya dengan UU ITE dan UU KUHP. Menurutnya, kebebasan berpendapat di Indonesia masih jadi sesuatu yang “debatable”, hal ini dikarenakan pemerintahan kita yang memiliki kekuasaan absolut atau totaliter. Padahal dalam kemajuan suatu negara perlu adanya keseimbangan antara kenyataan dan pengkritik, akan berbahaya jika suara para kaum kritis selalu dibungkam. Suwandi menyebutkan salah satu faktor dari pembungkaman tersebut adalah terlalu banyaknya pasal karet yang menyebabkan kebebasan berpendapat jadi sesuatu yang berbahaya. Selain itu, Suwandi sempat menyebutkan bahwa di zaman Sekarang ini media sosial menjadi sesuatu yang berbahaya, media seperti Youtube, Facebook, Twitter, dan Instagram sering kali menjadi  medium politik yang disalahgunakan.

Terakhir, Suwandi menyebutkan bahwa fenomena kebebasan berpendapat di Indonesia sangat erat kaitanya dengan faktor high context dan low context yang melekat di masyarakat Indonesia. Beberapa orang di pulau Jawa akan menganut nilai high context yang artinya sopan santun dan ramah tamah merupakan sesuatu yang amat dijunjung tinggi, sementara banyak warga di luar pulau Jawa menganut nilai low context yang artinya mereka akan lebih to the point ketika melakukan kritik tanpa terlalu memperhatikan nilai sopan santun. Hal ini lah yang kemudian menjadi banyaknya permasalahan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Setelah selesai pemaparan materi dari Suwandi Sumartia, diskusi pun kemudian dilanjutkan oleh Heri Pramono selaku perwakilan dari LBH Bandung. Pada awal pemaparan, Heri sempat menyinggung tentang fenomena BEM UI yang memberi kritik dengan postingan “The King of Lip Service”. Lantas Heri Pramono kemudian menyampaikan jaminan kebebasan berpendapat di Indonesia berdasarkan perspektif hukum. Salah satunya datang dari jaminan dalam UUD 1945 & amandemennya. Selain itu, jaminan berpendapat datang dari jaminan HAM dan ketentuan konferensi internasional. Akan tetapi, dibalik semua jaminan tersebut, terdapat banyak tantangan yang dihadapi masyarakat ketika mereka ingin mendapatkan haknya untuk berpendapat. Kondisi kebebasan berpendapat di Indonesia banyak mengalami reaksi yang berbentuk ancaman. Contohnya, ialah beberapa tahun lalu akun Instagram LBH sempat mengalami peretasan, ketika mereka membahas mengenai UU Cipta Kerja. Selain serangan siber, ada pun berbentuk gugatan seperti pemutusan sarana jaringan di Papua. Hal ini yang kemudian menjadi wajah kebebasan berpendapat di Indonesia.

Walaupun bentuk kebebasan berpendapat sudah dijamin dalam HAM dan UUD 1945, namun akhirnya hal ini pun tetap terjegal dengan adanya UU ITE pada tahun 2020. Sepanjang tahun 2020, YLBHI mencatat terdapat 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Mengejutkannya, kasus-kasus tersebut banyak didominasi oleh adanya pelanggaran hak berekspresi serta pernyataan pendapat di muka publik. Lantas, Heri kemudian menyampaikan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kondisi kebebasan berpendapat ini, diantaranya:

  1. Kita semua manusia, harus bebas mengekspresikan diri dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi, ide, serta gagasan tanpa batas
  2. Mempertahankan internet dan semua bentuk komunikasi lainnya
  3. Kita berbicara secara terbuka dan dengan sopan tentang segala macam perbedaan manusia
  4. Mengizinkan untuk tidak ada tabu dalam diskusi dan penyebaran pengetahuan
  5. Kita membutuhkan dan membuat media terbuka yang beragam, sehingga dapat membuat keputusan berdasarkan informasi serta berpartisipasi di dalam politik

Intisari Diskusi Publik:

  • Adanya dialektika demokrasi menjadi poin yang berpengaruh dalam demokrasi dan kebebasan berpendapat di indonesia dari adanya aktor politik, buzzer, media sosial, pendidikan politik, lembaga politik, serta krisis hukum dan kepercayaan.
  • Faktor high context dan low context sering kali jadi pembeda dan awal mula munculnya permasalahan saat terjadi perbedaan dalam kebebasan berpendapat.
  • Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak semua orang sesuai Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, dengan mematuhi prinsip-prinsip HAM yang universal serta Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945. Dengan pasal-pasal tersebut, seseorang seharusnya bisa bebas berpendapat dan berekspresi dengan mematuhi prinsip-prinsip yang ada dan mendapatkan perlindungan hukum.