Rilis Bedah Film:

Mengulik Gender dalam Sebuah Pro dan Kontra di Indonesia

Isu gender merupakan isu yang semakin gencar diperbincangkan belakangan ini. Realita sosial yang hakikatnya dirasa tidak memberikan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, akhirnya banyak menciptakan dobrakan pro dan kontra. Diantaranya seperti pakem yang mengharuskan perempuan mengerjakan urusan domestik dan laki-laki seharusnya menafkahi keluarga. Namun tentu, selain itu pun masih banyak isu-isu gender yang sangat polemik, kompleks, dan bersifat tabu di Indonesia. Oleh karena itu pada  25 September 2021, departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Fikom Universitas Padjadjaran mengadakan  Bedah Film bersama Kementerian Kajian Cinematography Club Fikom Unpad, sebuah acara annual yang membahas dan membedah film-film dengan isu tertentu. Kali ini Kastrat BEM Fikom Unpad mengkaji film berjudul “Jemari yang Menari di atas Luka Luka”, sebuah film yang berhasil meraih Piala Citra 2020 untuk kategori Film Cerita Pendek Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2020. Film ini mengangkat tema gender yang polemik dengan cara unik. 

Bedah Film akan diawali dengan pembukaan oleh moderator, Ainun Nabila. Kemudian kita pun diberi sambutan hangat oleh Wakil Ketua BEM Fikom Unpad, Friansyah N. Hakim. Selanjutnya, pada awal acara sekitar 70 peserta langsung disuguhkan dengan pemutaran film “Jemari yang Menari di atas Luka Luka”. Secara singkat, film ini bercerita tentang seorang perias jenazah yang hadir di tengah duka seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya yang berbeda secara “gender”. Dalam film tersebut kita dapat melihat bagaimana konflik dan kesedihan yang terjadi ketika jenazah harus didandani secara “berbeda”. Silent movie dan tone greyish yang dibawa dalam film ini, membuat penonton dapat merasakan perjuangan gender yang harus dihadapi oleh jenazah selama masa hidupnya.

Setelah film selesai, acara kemudian masuk ke sesi pembicara satu yang dibawakan oleh Putri Sarah Amelia atau Pupu selaku sutradara film. Pupu mengatakan bahwa film Jemari yang Menari di atas Luka Luka merupakan inisiasi dari 3 dosen salah satu universitas di Jakarta. Lewat film ini, Pupu menjelaskan bahwa dirinya ingin mewakilkan suara para kaum transgender yang notabene merupakan minoritas di Indonesia. Pupu merasa film pendek merupakan media yang tepat dalam menyuarakan hal tersebut, namun tantangan justru datang ketika ia harus mencari cast dan crew yang tepat dalam film tersebut, karena para pemeran dan kru harus bersifat terbuka terhadap isu “sensitif” ini. Pencarian tersebut menghabiskan waktu yang cukup lama, hal ini dikarenakan Pupu tidak ingin timnya memiliki nilai yang bertentangan dengan cerita yang diangkat dalam film ini.


Setelah mba Pupu, sesi pun masuk ke pembicara dua yang dibawakan oleh Dr. Budiawati Supangkat, MA. selaku Dosen Studi Gender dan Seksualitas di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran. Pada kesempatan tersebut, Bu Wati banyak membahas mengenai kondisi yang berlaku mengenai gender dan seksualitas Indonesia. Gender merupakan isu yang tidak pernah berhenti hingga sekarang dan seterusnya, karena selama manusia hidup gender pasti akan terus berjalan. Dalam penjelasan Bu Wati mengatakan bahwa gender merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan melalui konstruksi sosial, gender sangat erat kaitanya dengan kultur yang ada pada laki-laki dan perempuan. Namun gender berbeda dengan seks, seks sendiri merupakan istilah untuk pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan bersifat “given”, melekat pada jenis kelamin tertentu. Untuk meng-emphasize semua itu, bu Wati kemudian memberikan audiens gambar gender tree yang kembali menjelaskan bahwa gender merupakan hasil dari kebudayaan yang diajarkan melalui interaksi sosial. gender is made, bersifat dinamis dan dapat diubah. Sementara sex merupakan bagian biologis yang sifatnya mutlak, pemberian tuhan. Pada hakikatnya seks tidak dapat diubah, kecuali dengan adanya perkembangan teknologi seperti sekarang.

Selanjutnya, acara kemudian masuk ke sesi pembicara 3 yang diisi oleh Rebeca Amelia selaku Analis Layanan Informasi & Kesadaran Publik di Komnas HAM RI. Pada sesi awal Rebeca langsung memperkenalkan istilah yang tidak cukup umum dalam lingkup gender, yaitu SOGIE singkatan dari sex, orientation, gender identity, dan expression gender. Rebeca mengatakan penting untuk kita mengenal SOGIE untuk memahami kompleksitas isu gender. Seperti yang kita tahu sex merupakan hal yang bersifat kodrat, seperti penis, buah zakar, dan sperma. Rebeca menjelaskan selain ketiga itu, manusia terlahir juga dengan kromosom, XY untuk laki-laki dan XX untuk perempuan. Namun dibalik itu semua, ada pula manusia yang terlahir dengan kromosom berbeda yang menjadikan ia berbeda. Rebeca mengatakan hal ini penting kita pahami karena pada dasarnya beberapa manusia “berbeda” bukan karena keputusannya, namun karena memang terlahir seperti itu. Satu hal yang menjadi poin highlight Rebeca ialah, seks dapat berubah di meja operasi namun tidak dengan fungsinya. Sementara berbeda dengan gender yang begitu dinamis, gender tercipta dari adanya budaya, agama, teknologi, konstruksi masyarakat, dan lain-lain. Pada umumnya bagi laki-laki, gendernya harus bersifat gagah, kuat, pencari nafkah, dan sebagainya. Sementara bagi perempuan, mereka haruslah seseorang yang mengerjakan urusan domestik, feminin, lemah, emosional, cantik, dan sebagainya. Padahal itu semua bisa dipertukarkan. Selanjutnya Rebecca menjelaskan bahwa masing-masing manusia sebenarnya memiliki orientasi seksual yang bermacam, diantaranya seperti heteroseksual, biseksual, homoseksual, dan panseksual. Lalu tak lupa, Rebecca juga menjelaskan mengenai identity gender yang terbagi atas laki-laki, perempuan, transgender, queer, dan non-binary. Selanjutnya Rebecca menjelaskan mengenai ketidaksetaraan gender mempengaruhi kualitas kehidupan sosial. Contohnya seperti marginalisasi, konstruksi sosial memandang bahwa wanita merupakan sosok yang irrasional, unstable, emosional dan semacamnya. Hal ini yang kemudian menjadikan wanita akan sulit untuk menempati posisi strategis dalam sebuah pekerjaan, yang mana kemudian ini berdampak pada kondisi ekonomi. Selain menjelaskan kondisi gender dan seks secara sosial, Rebecca pun membahasnya melalui sisi hukum. Berdasarkan prinsip universal, “semua orang di dunia memiliki hak yang sama, tidak dibedakan karena setiap manusia lahir dengan kemerdekaan dan martabat yang sama dalam hak”. Pada poin akhir, Rebecca menyampaikan bahwa sebenarnya di Indonesia telah ada pengakuan ragam gender yang berasal dari suku Bugis yang biasa dikenal dengan calabai, calalai, dan bissu.

Setelah sesi pembicara selesai, agenda kemudian masuk ke sesi diskusi. Pertanyaan kemudian bermunculan, diantaranya ditujukan kepada Rebecca mengenai bagaimana cara kita menangani atau memberi pendekatan kepada seseorang mengenai banci atau bencong yang sering dianggap guyon. Rebecca kemudian menjawab bahwa sebenarnya banci merupakan sebuah profesi, berbeda dengan transgender yang memang merupakan lahir dari jati diri atau keinginan diri sendiri. Hal inilah yang kemudian perlu dipahami, bahwa sebutan banci/waria yang terkadang bersifat offensive itu berbeda dengan transgender. Tak luput, pada satu bagian Bu Budiawati kemudian menambahkan bahwa banyak dari transgender memilih berubah bukan hanya sekedar karena gaya hidup, melainkan banyak sekali persoalan-persoalan sosial yang harus mereka hadapi, dan tentunya banyak pula pertimbangan yang telah mereka ukur, jadi biarkanlah “transgender” menjadi urusan mereka masing-masing.

Intisari Sesi Diskusi Bedah Film “Jemari yang Menari di atas Luka Luka”:

  • Gender dan Seks merupakan dua hal yang berbeda
  • Gender lahir dari konstruksi sosial, bersifat dinamis dan dapat berubah sewaktu – waktu
  • Seks merupakan hal yang kodrat, biologis, dan tidak dapat diubah. Sekalinya dirubah di atas meja operasi, tidak akan bisa mengubah fungsinya.
  • Pemahaman mengenai SOGIE (sexual, orientation, gender identity, dan expression gender) diperlukan untuk lebih memahami gender.
  • Ketidaksetaraan gender telah banyak membawa dampak negatif, diantaranya seperti marginalisasi, double burden, subordinasi, dan violence.

Sudah Siapkah Pemuda Indonesia Menyambut Generasi Emas 2045?

“Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini banyak anak yang putus sekolah.”

Ditulis oleh: Cicin Yulianti

Begitulah kurang lebih pernyataan yang dikemukakan oleh Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Samto, terkait pendidikan saat ini. Pernyataan tersebut bukanlah hal baru yang kita tahu karena sudah lama pendidikan di Indonesia jelas belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.

Terlebih kondisi pandemi Covid-19 malah memperparah kondisi pendidikan saat ini. Tidak sedikit murid yang tak bisa belajar karena keterbatasan gawai atau koneksi internet. Ditambah masalah pemindahtanganan pekerjaan rumah (PR) murid yang akhirnya dikerjakan oleh orang tua. Hal tersebut memang sangat memprihatinkan karena lagi-lagi menggambarkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia malah membuat ibu rumah tangga komat-kamit dan tepuk jidat menghadapinya.

Tugas pemerintah saat ini memanglah berat dalam menghadapi permasalahan pendidikan bagi anak muda. Apalagi melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2020, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia hari ini didominasi oleh usia muda. Adapun generasi yang mendominasi dari keseluruhan jumlah tersebut adalah generasi Z sebanyak 27,94 %  lalu diikuti oleh generasi milenial sebanyak  25,87% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272.229.372 jiwa. 

Angka-angka di atas membawa kita pada sebuah fakta bahwa Indonesia sedang mengalami Bonus Demografi. Artinya, Indonesia memiliki potensi besar kedepannya dalam memaksimalkan pembangunan nasional lewat penduduknya yang berusia produktif. Hal tersebut selaras dengan gagasan negara Indonesia tentang Generasi Emas 2045. Generasi Emas 2045 sendiri menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia di tahun 2045, di mana Indonesia genap berusia 100 tahun dan memiliki taraf  hidup yang lebih sejahtera. Oleh karena itu, semua aspek yang berhubungan dengan pendidikan sebagai penentu peradaban sangat perlu diperhatikan untuk mewujudkan gagasan tersebut, tanpa terkecuali.

Pendidikan Adalah Inti Kehidupan

Berbicara soal pemuda, maka tak jauh dengan pendidikan sebagai penentu karakter dan intelektual mereka. Berhasil atau tidaknya pendidikan menjadi kontribusi yang besar dalam tercapainya pembangunan nasional. Arah terpenuhinya kebutuhan pendidikan pun sudah tertuang dalam Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sasaran dari perpres tersebut adalah menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.  Namun pertanyaannya, bagaimana pendidikan sangat menentukan tercapainya Generasi Emas 2045?

Maju atau tidaknya peradaban sebuah negara sangat tergantung pada kapasitas pendidikan yang dimiliki oleh warganya. Di Indonesia, sistem pendidikan sudah mulai dirancang sedemikian rupa, namun nyatanya belum juga menyeluruh. Hal tersebut terbukti dari hasil riset Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018, memperlihatkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih ada di peringkat ke-7 paling bawah, di mana total negara yang disurvei berjumlah 78 negara. Indonesia menduduki peringkat ke-72 dalam kualitas Membaca, peringkat ke-72 untuk bidang Matematika, dan peringkat ke-70 untuk kompetensi Sains.

Data di atas cukup mengejutkan karena dalam pandangan masyarakat awam, pendidikan bisa saja sudah terlihat mumpuni. Terlebih bagi kebanyakan warga kota yang di mana kualitas pendidikannya sudah lebih maju dibanding pedesaan. Oleh karena itu, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan memiliki target capaian dalam pemerataan pendidikan.  Data dari PBB pun memperkirakan bahwa pada tahun 2045 terdapat sekitar 69,1% penduduk yang tinggal di perkotaan.

Kita pun tak bisa menutup mata dari sistem pendidikan negara Finlandia yang digadang-gadang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Jika dibandingkan dengan pendidikan Indonesia saat ini, jelas bahwa Indonesia masih jauh tertinggal. Kejamnya pendidikan Indonesia pun masih dialami oleh pemuda di mana mereka merasa tak bisa menemukan jati dirinya lewat pendidikan. Pelajar Indonesia masih merasa bersalah ketika berbeda dengan orang lain. Anak pintar masih saja distereotipkan lewat anak yang nilai Matematika-nya bagus atau menjadi juara olimpiade Sains.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia secara manusiawi menuju arah kemerdekaan lahiriah dan batiniah. Ketika masih banyak pemuda yang memiliki kecerdasan di bidang seni dan olahraga namun potensinya masih dianggap kalah oleh pemuda yang memiliki prestasi dibidang akademik, maka pendidikan di Indonesia masih belum benar-benar merdeka. Padahal masalah kemerdekaan dalam pendidikan seharusnya selaras dengan kemerdekaan Indonesia yang ke-100 di tahun 2045.

Konsep Pendidikan Modern

Berdasarkan data PBB, pertumbuhan penduduk dunia akan berfokus pada sembilan negara yakni Amerika Serikat, Pakistan, Nigeria, India, Tanzania, Ethiopia, Republik Demokratik Kongo, Uganda, dan Indonesia. Indonesia pun diprediksi akan masuk ke dalam 5 besar negara dengan ekonomi terbesar dan memiliki bonus demografi dalam pertumbuhan ekonomi. Tentunya, prediksi tersebut tidak boleh disia-siakan dan berakhir menjadi wacana saja. 

Tak tanggung-tanggung, menyikapi prediksi tersebut, Presiden Jokowi menargetkan Indonesia pada tahun 2045 bisa menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan, tentunya sistem pendidikan yang dianut negara-negara maju menjadi kiblat yang wajib dikaji oleh pemerintah Indonesia. Sebut saja Amerika, Inggris, Jerman, Finlandia, Perancis, negara-negara tersebut sudah memiliki sistem pendidikan yang tak bisa diragukan lagi. Oleh karena itu, kita pun harus sudah mulai meniru pola pendidikan di negara-negara modern tersebut.

Jejak pandemi sebenarnya bisa dijadikan modal dalam menyokong pendidikan modern menghadapi industri 4.0. Pelajar di Indonesia sudah mulai menerapkan sistem E-Learning, namun nyatanya masih banyak yang mengutamakan E-nya dibanding Learning-nya. Tools-nya sudah mendukung, namun sistem pembelajarannya masih berlangsung konvensional.  Selain itu, pandemi seharusnya mengajarkan pelajar untuk mulai terbiasa dengan konsep Blended Learning. Dalam mendorong negara-negara menjadi maju,konsep belajar blended learning bisa menjadikan pelajar lebih mandiri, leluasa, dan lebih efisien dalam mengakses modul pembelajaran. 

Untuk memaksimalkan penerapan pendidikan modern, maka Indonesia mesti mengikuti beberapa cara yang sudah diterapkan oleh negara maju mulai dari Finlandia hingga Amerika. Berikut gambaran pendidikan di beberapa negara maju yang harus mulai diterapkan oleh Indonesia menghadapi momen emas 2045:

  1. Setiap anak berhak atas pendidikan gratis yang inklusif. 
  2. Pembelajaran harus  dipersonalisasi  dalam menggali bakat dan potensi pelajar sehingga tidak masuk lagi ke dalam lingkaran stereotip  bahwa anak cerdas hanyalah anak yang pintar Sains saja.
  3. Menerapkan ujian standarisasi dengan metode kualitatif sehingga bisa berfokus pada kemampuan masing-masing anak dibandingkan metode menghafal yang mengacu pada kuantitatif.
  4. Tenaga pendidik bukan hanya dibekali kemampuan mengajar kognitif namun juga kemampuan memahami psikologi murid.
  5. Kapasitas kelas harus lebih leluasa dalam artian tidak lebih dari 30 murid agar fokus guru tidak pecah.
  6. Murid diberikan keleluasaan memilih mata pelajaran pilihan sesuai dengan minatnya seperti dalam bidang atletik,teknologi, bahasa, seni, sastra atau lainnya. 

Tidak Ada yang Salah Dengan Mencuci Raw Denim

Ditulis oleh: Luthfa Arisyi

Mungkin kalian sudah sering mendengar istilah raw denim. Ya, sesuai dengan namanya, raw denim bisa diartikan sebagai bahan denim yang ‘mentah’ karena dalam proses pembuatannya tidak dilakukan pencucian terlebih dahulu. Jadi, setelah diambil dari mesin tenun, bahan denim langsung dijahit untuk dijadikan celana atau jaket. Jins yang menggunakan bahan raw denim biasanya dapat dicirikan dengan warnanya yang gelap, tekstur bahan yang keras dan kaku, 

Di Indonesia sendiri, penggunaan jeans berbahan raw denim sudah marak sejak beberapa tahun terakhir. Banyak alasan kenapa akhirnya seseorang memutuskan untuk menggunakan raw denim, Alasan paling utama adalah karena experience yang hanya bisa didapat ketika menggunakan raw denim, yaitu warna dari raw denim yang bisa memudar seiring pemakaian atau yang biasa disebut dengan fading. Oleh karena itu, raw denim dapat menghasilkan pola kerutan yang unik di beberapa titik, khususnya titik yang sering mengalami gesekan, seperti di bagian belakang lutut. 

Pola kerutan pada raw denim dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah kualitas kain atau fabric, pewarna yang digunakan, tingkat ketebalan kain, dan tentunya intensitas pemakaian penggunanya. Oleh karena itu, pola kerutan yang dimiliki tiap pengguna raw denim akan berbeda dan menjadi unik karena faktor-faktor di atas. Ada satu faktor lagi yang menurut kebanyakan orang sangat berpengaruh pada pemudaran warna jeans, yaitu pencucian.

Menurut beberapa orang, haram hukumnya untuk mencuci jeans, bahkan jika hanya terkena air sedikit. Hal tersebut dinilai dapat merusak kain dan warna jeans. Selain itu, mencuci jeans juga dinilai dapat merusak pola kerutan yang nantinya akan dihasilkan. Tidak heran makanya jika ada orang yang tidak mencuci jeansnya selama enam bulan, satu tahun, atau bahkan tidak pernah dicuci seumur hidup. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan hal itu. 

Hal yang ingin saya bahas di sini adalah, pola pikir orang-orang ketika akhirnya memutuskan untuk menggunakan jeans berbahan raw denim dan bagaimana mereka memperlakukan jeansnya. Kebanyakan orang menggunakan raw denim untuk mencari pola kerutan yang dihasilkan dari pemakaiannya. Dengan begitu, mereka akan menggunakan jeansnya setiap hari dan kebanyakan tidak akan mencucinya dalam waktu yang lama. Mereka akan memperlakukan jinsnya selayaknya seorang raja yang tidak boleh tersentuh air, kotoran, atau apa pun itu. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, pertanyaannya adalah apakah nyaman menggunakan jins yang tidak dicuci dalam waktu lama, terkena keringat, debu, dan lain sebagainya?

Saya pribadi menganggap fading atau pola kerutan pada jeans sebagai bonus yang saya dapatkan ketika menggunakan raw denim. Hal utama yang saya pikirkan ketika membeli jeans berbahan raw denim, khususnya celana adalah ukuran yang pas dan kecocokan dengan bentuk kaki saya. Mengingat bahannya yang kaku dan keras, sangat penting bagi kita untuk memperhatikan ukuran dan kecocokan dengan bentuk tubuh. Salah ukuran sedikit, jins tidak akan terasa nyaman ketika dikenakan.

Selain itu, saya juga tidak masalah jika harus mengenakan jeans di tengah-tengah hujan atau harus mengenakan jins saya ke tempat-tempat yang kotor. Hei, ini cuma celana! Jika kotor atau sudah terasa tidak nyaman tinggal dicuci. Jika sudah terasa bau karena terkena keringat juga tinggal dicuci, kok. Pakaian diciptakan untuk memberikan kenyamanan bagi penggunanya, bukan jadinya memberikan perasaan tidak enak ketika mengenakannya. Memang dalam mencuci jeans berbahan raw denim juga tidak bisa sembarangan. Ada teknik khusus yang harus dilakukan jika ingin mempertahankan pola kerutan yang sudah mulai timbul. Tetapi balik lagi, tidak ada yang salah dengan mencuci jeans jika memang dirasa sudah tidak nyaman. Toh ini juga cuma celana.

Sekali lagi, saya tidak menyalahkan pola pikir orang-orang dan bagaimana mereka memperlakukan jeansnya. Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk berpakaian dan memperlakukan pakaiannya. Tingkat kenyamanan setiap orang tentunya berbeda-beda dan cara untuk memperoleh kenyamanan itu kembali lagi ke diri masing-masing orang.

Sebuah Pengantar Menuju Dunia Alternative Universe

Ditulis oleh Shobihatunnisa Akmalia

Dilansir dari detik.com Alternative Universe atau biasa disingkat AU adalah suatu cerita yang ditulis dengan dimensi yang berbeda dari asalnya atau yang seharusnya. Istilah AU ini sering digunakan oleh para fans baik fans Kpop, Cpop, Thailand, Western, bahkan karakter anime untuk membuat cerita. Saat ini, AU menjadi trend dikalangan remaja karena sesuatu yang unik dan banyak cerita AU yang relate dengan kehidupan remaja.

Jenis AU yang saat ini menjadi trend dan digemari remaja adalah socmed AU. Socmed AU ini AU yang berlatar di media sosial dan berisi tentang sebuah percakapan melalui fitur chatting dan tampilannya dapat berbentuk room chat WhatsApp atau thread sebuah tweet di Twitter. Selain itu, ada juga AU yang berbentuk narasi seperti cerita-cerita biasanya. Selain jenisnya yang unik, genre-genre yang bisa ditemukan dalam AU itu beragam dan sama seperti cerita/cerpen lainnya. Ada genre horor, romantis, komedi, romance-comedy, dan angst (genre yang menguras emosi).

Twitter menjadi platform yang mainstream digunakan dalam pembuatan atau pembacaan AU. banyak karya yang sudah lahir dan diterbitkan dari AU-AU yang berada di Twitter. Selain Twitter, banyak platform lain yang biasanya digunakan dalam membuat dan membaca AU, yaitu Wattpad, Write.as, Privatter, Ao3, dan lain-lain.

Referensi

Anjani, R. (2021, Mei 05). Arti AU dan Istilah-istilah Lain yang Dipakai Anak Zaman Now di Twitter. detik.com. https://wolipop.detik.com/entertainment-news/d-5558805/arti-au-dan-istilah-istilah-lain-yang-dipakai-anak-zaman-now-di-twitter