Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 Tentang PPKS: Logical Fallacy pada Argumentasi Pihak Kontra

I. PENDAHULUAN

Pada 31 Agustus 2021, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi resmi meneken Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Berdasarkan penjelasan Nadiem, peraturan ini dibuat atas dasar jawaban akan kegelisahan banyak pihak, terutama mahasiswa dan mahasiswi di seluruh perguruan tinggi Indonesia akan kekerasan seksual di lingkungan kampus (Kemendikbud, 2021). Oleh karena itu, aturan ini diharapkan dapat menjadi pegangan bagi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus sesuai dengan tujuan utama dikeluarkannya beleid ini, yaitu:

  1. Sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus.
  2. Menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, serta warga kampus di perguruan tinggi.

Namun, Permendikbud Nomor 30 ini tak hanya menerima dukungan tetapi juga bentuk penolakan.  Beberapa pihak menilai bahwa aturan ini dianggap akan memberi celah untuk melegalisasi seks bebas di lingkungan kampus. PKS sebagai motor penolak beleid ini melalui legislatornya, Sakinah Aljufri, Anggota Komisi X DPR RI menjelaskan jika Permendikbud-Ristek ini tidak mengatur perbuatan zina dan perilaku menyimpang LGBT yang dilarang oleh agama sebagai satu bentuk kejahatan seksual (Ngertihukum, 2021). Selain itu, pada frasa “tanpa persetujuan korban” artinya Mendikbud Ristek sama saja melegalkan secara implisit seks bebas dan perbuatan menyimpang LGBT di kampus asal dilakukan dengan persetujuan pelakunya. Sehingga tindakan ini akan merusak generasi bangsa (PKS, 2021).

Perdebatan ini berkepanjangan akibat kekeliruan logika yang terdapat dalam argumentasi pihak kontra. Terdapat perbedaan persepsi terkait isi dan juga konteks peraturan yang dapat di-highlight pada penggunaan kata consent. Kekeliruan logika ini menyebabkan pihak kontra menggunakan argumentasinya yang tidak utuh secara nalar sebagai pembelaan yang disayangkan terlihat tidak organik dan visi untuk mengeradikasi kekerasan seksual dari kampus dengan dalih menjunjung moral bangsa.

Banyak juga suara dari pihak kontra yang mendorong untuk membatalkan peraturan Permendikbud Ristek No.30 ini dengan argumentasi legalisasi zina, padahal konteks dari isi dari peraturan ini tidak memiliki keterkaitan dengan legalisasi apapun dan hanya berfokus untuk mengidentifikasi suatu kejadian sebagai kasus kekerasan seksual. Hal tersebut menjadi permasalahan dan juga fokus isu dari pembuatan kajian ini terkait literasi informasi dan juga penyusunan agenda politik yang menghambat tegaknya keadilan dan keamanan untuk korban kekerasan seksual di tingkat perguruan tinggi

II. PEMBAHASAN

Apa yang dipermasalahkan di Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021?

Berawal dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di banyak Perguruan Tinggi yang terkuak ke media mengakibatkan banyak pihak pun khawatir akan maraknya kasus ini. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim mengutip berdasarkan data Komnas Perempuan sejak tahun 2015-2020 bahwa kasus pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen berasal dari perguruan tinggi (Nurita & Budiman, 2021). Di dalam lingkungan Perguruan Tinggi yang semestinya merupakan tempat untuk menuntut ilmu dimana seharusnya para mahasiswa bisa merasa nyaman, aman, dan terlindungi tetapi malah sebaliknya. Dari hal ini, akhirnya  Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan kebudayaan mengambil langkah untuk membuat Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 yang bertujuan untuk melindungi para mahasiswa dan mahasiswi dari segala bentuk kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. Tetapi, ternyata tidak semua orang setuju dengan dikeluarkannya Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 ini sehingga berbagai kontroversi pun terjadi.

Kontroversi ini berawal dari terdapatnya frasa “tanpa persetujuan korban” atau juga yang dikenal dengan istilah consent di dalam Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 ini yang dianggap sebagai jalan dalam melegalkan seks bebas. Beleid ini mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammadiyah, MUI, dan ormas-ormas Islam lainnya.

Menurut Anggota komisi VIII DPR RI Fraksi Partai keadilan Sejahtera Iskan Qolba Lubis, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 memiliki frasa yang mengacu pada legalitas seks bebas sehingga hal ini dianggap sangat berbahaya bagi generasi muda karena dalam aktivitas seksualnya, parameter benar atau salahnya tidak dilihat berdasarkan nilai agama dan norma yang ada, melainkan berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihak (Distania, 2021). “Mereka berlindung dibalik kata-kata tidak ada pemaksaan, dan persetujuan para pihak, serta rasa saling suka sama suka, maka aktivitas seksual itu menjadi halal. Bukankah sama saja ini kita membuka pintu seks bebas untuk dilegalkan? Permendikbud ini sangat berpotensi melegalkan dan memfasilitasi perbuatan zina dan perbuatan menyimpang LGBT yang tentunya saat ini moralitas bangsa kita sedang dipertaruhkan karena telah jelas hal ini bertentangan dengan nilai agama dan Pancasila serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.” ujar Iskan (Polemik Permendikbud Kekerasan Seksual, Iskan: Moralitas Bangsa Dipertaruhkan, 2021).

Ia pun meminta Kemendikbud untuk mencabut Permendikbud No 30 tahun 2021 atau setidaknya merevisi dan merumuskan kembali kebijakan berdasarkan pada nilai-nilai agama, pancasila, dan UUD 1945. Kemudian, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS mengatakan bahwa Permendikbud yang dikeluarkan tidak tepat karena tidak ada Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya. Lalu, Ledia juga menilai bahwa beberapa poin penting dalam Permendikbud tersebut jauh dari nilai-nilai pancasila dan lebih cenderung pada nilai liberalisme (PKS, 2021).

Selain itu, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Tholabie Kharlie, menyatakan bahwa konsep ‘consent’ itu tidak ada dalam hubungan seksual tetapi lebih ke hubungan pasien dengan dokternya. Ia juga menambahkan bahwa “Dengan mengakomodasi konsep consent dalam urusan hubungan seks, itu bertolak belakang dengan kaidah agama, kesusilaan, serta kaidah hukum UU Perkawinan” (Saputra, 2021). Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Ledia Hanifa pun ikut menyatakan kritikannya. Beliau menyatakan bahwa Permendikbud ini belum tepat karena terbit dengan belum adanya UU yang menjadi dasar hukumnya.

Adapun pasal-pasal yang memicu perdebatan, diantaranya adalah pasal 1 yang dianggap bermakna menyederhanakan masalah pada satu faktor saja. Lalu, adapun pasal 3 yang mendapat kritikan dikarenakan isinya tidak berlandaskan nilai- nilai dan norma agama. Selanjutnya adalah pasal 5 yang diartikan oleh beberapa kelompok sebagai sebuah pembenaran terhadap seks bebas (Liswijayanti, 2021).

Apakah itu Logical Fallacy?

Definisi Logical Fallacy

Fallacy atau kesesatan merupakan satu kesalahan yang sering terjadi dalam aktivitas berpikir. Kesalahan ini disebabkan oleh penyalahgunaan bahasa (verbal) dan/atau relevansi. Kesesatan atau fallacy merupakan bagian logika yang mempelajari beberapa jenis kesesatan penalaran sebagai lawan dari narasi logis. Kesesatan atau fallacy biasa terjadi karena ketidaktepatan penggunaan bahasa, antara lain disebabkan oleh pemilihan terminologi yang salah, sedangkan ketidaktepatan relevansi bisa disebabkan oleh:

  1. Pemilihan premis yang tidak tepat (membuat premis dari proposisi yang salah).
  2. Proses penyimpulan premis yang tidak tepat (premis yang tidak berhubungan dengan kesimpulan).

Sementara itu, pengertian logical fallacy atau kesesatan logika, merupakan cacat atau sesat penalaran yang tidak hanya sering (secara tidak sengaja) digunakan oleh orang-orang yang kemampuan penalarannya terbatas, tetapi juga sering (secara sengaja) digunakan oleh orang-orang tertentu, termasuk media dengan tujuan mempengaruhi orang lain. 

Jenis-jenis Logical Fallacy

Fallacies of relevance adalah tipe logical fallacy yang paling sering ditemui. Fallacy tipe ini adalah fallacy yang memiliki pernyataan atau narasi yang tidak sesuai dengan konklusinya. Tipe fallacy ini seringkali digunakan oleh para peneliti yang senang  “memaksakan”  sesuatu pernyataan agar terlihat logis. Beberapa fallacy tipe relevan ini, yaitu:

  • The Appeal to The Populace

Fallacy yang muncul karena konklusinya mengacu pada anggapan yang bersifat popular.

  • The Appeal to The Emotion

Fallacy yang timbul dari narasi pemikiran yang bersifat mengasihani, bermurah hati, ketidaktegaan atau terkait dengan hati nurani. Cirinya adalah menggunakan manipulasi perasaan (emosi) seseorang dalam berargumen daripada membuat argumen yang logis.

  • The Red Herring

The Red Herring Fallacy yang mengalihkan perbincangan dari permasalahan utama. Tujuannya adalah untuk membingungkan orang atau untuk mengalihkan fokus orang lain.

  • The Straw Man

Fallacy yang narasinya selalu menempatkan posisi “lawan” sebagai posisi yang ekstrim, mengancam, atau tidak masuk akal daripada kenyataan atau fakta yang sebenarnya terjadi. Cirinya adalah membuat interpretasi yang salah dari argumen orang lain agar lebih mudah diserang.

Strawman Argument dinamai berdasarkan sebuah orang-orang sawah yang dinilai tidak bernyawa, tidak berbahaya, dan tidak berdaya. Dalam hal ini, pihak yang menjadi strawman lah yang lebih dirugikan. Strawman fallacy yaitu ketika seseorang salah dalam menginterpretasikan sebuah pernyataan dari lawan bicara dengan maksud untuk mempermudah pemahaman dan menarik perhatian banyak orang. Dengan menggunakan cara ini, sangat mudah untuk membuat salah satu pihak terlihat lebih kuat.

Terkadang strawman argument tidak sengaja dilakukan oleh salah satu pihak. Hal ini terjadi karena pelaku tidak menyadari adanya kesalahpahaman atas sebuah premis dan akhirnya muncullah kesimpulan yang keliru.

  • The Attack on The Person

Fallacy yang narasinya menyerang pihak (orang) tertentu yang sedang memegang peranan. Tujuannya adalah untuk menjatuhkan citra pihak tertentu dengan narasi yang tidak didasari fakta yang jelas.

  • The Appeal to Force

Fallacy yang narasinya dibekali oleh kepentingan tertentu. Kepentingan tersebut bisa berasal dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan untuk “memaksa”.

  • Missing The Point (Irrelevant Conclusion)

Fallacy yang narasinya tidak terkonstruksi kuat, sehingga ketika ada bantahan dari narasi lain maka narasi awal menjadi lemah dan malah mendukung konklusi yang berbeda daripada mendukung narasi itu sendiri.  Atau dengan kata lain premis-premis awal terbantahkan sehingga menghasilkan konklusi yang mengikuti alur narasi si pembantah.

  • Ad Hominem

Ketika seseorang berargumen, seringkali permasalahan dikaitkan dengan hal-hal personal. Sehingga muncullah pernyataan-pernyataan yang tidak rasional. Hal ini dalam logika dan retorika disebut Ad Hominem. Bukannya memberikan pernyataan yang baik, Ad Hominem mengganti argumentasi logis dengan pernyataan yang tidak berkaitan dengan kebenaran atas sebuah masalah.               

Hal personal yang dimaksudkan yaitu berkaitan dengan sifat seseorang, penampilan fisik, latar belakang, atau hal lainnya yang sama sekali tidak berhubungan dengan permasalahan yang diperbincangkan atau diperdebatkan. Mereka terfokuskan pada hal-hal tersebut dari pada membalas argumen dengan memperhatikan argumen atau pernyataan sebelumnya dari lawan bicara.

Jadi, Ad Hominem adalah menggunakan sebuah hinaan dalam berargumentasi seakan-akan itu adalah argumen atau bukti yang dapat mendukung suatu kesimpulan.

  • The Appeal to ignorance

Appeal to ignorance juga biasa dikenal dengan argumentum ad ignorantiam dalam bahasa latin, yaitu ketika kita mengklaim sesuatu tidak benar hanya karena belum bisa dibuktikan kebenarannya atau mengklaim sesuatu benar hanya karena belum bisa dibuktikan ketidakbenarannya. Pada dasarnya yaitu menyimpulkan sesuatu dengan bukti yang belum cukup kuat.

Suatu kekeliruan ketika kita menggunakan sebuah ketidaktahuan akan suatu hal sebagai pendukung argumen. Hal tersebut tidak membuktikan apa pun selain menunjukkan ketidaktahuan seseorang. Jika kita tidak tahu akan suatu hal maka kita tidak bisa menarik kesimpulan apapun karena akan menyebabkan kesimpulan yang keliru.

  • False Dilemma/False Dichotomy

False dilemma adalah membatasi pilihan menjadi dua opsi, sedangkan faktanya ada lebih dari dua opsi untuk dipilih. Biasanya pilihannya yaitu opsi pertama, opsi kedua, atau keduanya. Singkatnya, false dilemma atau dilema palsu adalah penyederhanaan rentang pilihan. Tidak menjadi sebuah kekeliruan apabila memang hanya terdapat dua pilihan. Kekeliruan bisa menjadi sangat manipulatif karena dapat membuat salah satu sisi terlihat lebih buruk, umumnya digunakan pada wacana politik untuk memanipulasi publik.

Masih banyak jenis logical fallacy lainnya yang dapat kita jumpai di aktivitas berpikir. Tiap jenis memiliki penyebabnya dan tujuannya sendiri. Perlu diingat bahwa logical fallacy tidak selalu terjadi karena sebuah kesalahan atau secara tidak sengaja, tetapi terkadang memang terjadi secara sengaja atau memiliki tujuannya tersendiri.

Pemahaman Mengenai Sexual Consent dalam Permendikbuddan Analisis Statement Pihak Kontra Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021

Bagaimana Idealnya Konsep Sexual Consent dalam Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021 tentang PPKS?

Konsep consent secara umum dapat diartikan pada pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan (voluntary agreement). Sejak awal kemunculannya pada zaman Renaisans, konsep consent mulai berkembang di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan tidak hanya terbatas pada hubungan seksual (Paramita, 2021). Misalnya dapat kita lihat pada praktik seorang dokter yang secara hukum mengatur kesediaan pasien terkait tindakan medis yang dapat diambil oleh seorang dokter pada dirinya. Konsep consent juga penting dalam rangka mengubah hubungan hukum di antara dua orang atau lebih. Sebagai contoh, ketika seseorang mengambil buah dari kebun seseorang, orang tersebut akan berhadapan dengan hukum jika tidak meminta izin kepada si pemilik kebun. Namun, beda hal ketika si pemilik kebun telah mengizinkan hal tersebut, maka apa yang ia lakukan bukanlah sebuah tindak kriminal pencurian. Memberikan consent dapat diartikan secara langsung melegalkan sebuah tindakan atas dasar izin dan pengetahuan dari yang memberikan (Archard, 2019). 

Demikian juga dalam hubungan seksual. Konsep sexual consent ini berperan untuk melindungi individu dari kegiatan seksual yang tidak mereka kehendaki. Kedua belah pihak harus saling sadar dan mengizinkan untuk melakukan aktivitas seksual tanpa paksaan atau manipulasi. Namun, konsep ini sering disalahartikan oleh berbagai pihak karena memiliki berbagai jenis interpretasi terhadap definisinya. Dalam penelitiannya mengenai kasus pemerkosaan, Dan M. Kahan menyatakan bahwa kekerasan seksual juga dapat terjadi saat permintaan untuk menarik consent yang sudah diberikan oleh salah satu pihak yang sebelumnya sudah menyetujui untuk berhubungan seksual, namun ditolak oleh pelaku. Tanpa definisi sexual consent yang jelas, pelaku kekerasan seksual dapat hanya menerima tuntutan pidana yang ringan, bahkan tidak mendapat tuntutan sama sekali (Kahan, 2010). 

Dengan adanya peraturan tertulis yang mencakup tentang sexual consent sebagai dasar untuk mendefinisikan kekerasan seksual. Hal ini dapat membantu kita dalam mengidentifikasi dan meminimalisir terjadinya kasus yang tidak diinginkan kepada korban, seperti victim blaming, token resistance, dan sebagainya. 

Sexual consent tentu harus memiliki definisi yang jelas dan sepatutnya dijelaskan dalam sebuah peraturan tanpa pengecualian. Dengan mengecualikan definisi sexual consent atau meniadakan frasa “persetujuan korban”, dapat mencederai definisi kekerasan seksual serta keadilan yang ingin ditegakkan dalam peraturan Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021 tentang PPKS.

Logical Fallacy Pihak Kontra Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021

Dari berbagai pihak yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap peraturan yang dimandatkan oleh Kemendikbud Ristek ini, terdapat berbagai pernyataan yang dirasa memiliki argumentasi yang mengatribusikan penalaran yang salah terutama dalam menelisik tujuan dari pemberlakuan peraturan ini. Beberapa berargumen bahwa pengesahan peraturan ini melegalkan “seks bebas” atau perzinaan dan mengasosiasikannya dengan nilai liberalisme.

Dalam pernyataan oleh Plt. Dirjen Kemendikbud Ristek, Nizam menyatakan bahwa asumsi tersebut muncul karena mispersepsi mengenai tujuan dari Permendikbud Ristek ini. Beliau menyatakan bahwa tujuan dari Permendikbud Ristek ini adalah untuk ‘mencegah’ bukan sebagai pernyataan untuk ‘legalisasi’ tindakan apapun diluar dari upaya pencegahan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi (Kemendikbud, 2021).

Salah satu argumentasi kontra yang dibawakan oleh salah satu fraksi dari partai PKS, Sakinah Aljufri yang memberikan pernyataan sebagai berikut:

“Permendikbud Ristek ini tidak mengatur perbuatan zina dan perilaku menyimpang LGBT yang dilarang oleh agama sebagai satu bentuk kejahatan seksual” (PKS, 2021)

“Fatalnya Permendikbud ini memuat frasa tanpa persetujuan Korban. Ini artinya Mendikbud Ristek sama saja melegalkan secara diam-diam seks bebas dan perbuatan menyimpang LGBT di kampus asal dilakukan dengan persetujuan pelakunya, ini merusak generasi bangsa” (PKS, 2021)

Dalam pernyataan ini, sangat disayangkan karena beliau secara sepihak berasumsi bahwa pemberlakuan peraturan ini mengindikasikan Kemendikbud melegalkan seks bebas dan LGBT di perguruan tinggi. 

Pernyataan tersebut dapat memunculkan sentiment yang salah bagi masyarakat yang mengonsumsi informasi tersebut, dan memunculkan berbagai jenis logical fallacy. Pertama, red herring fallacy karena atas pernyataannya yang berasumsi dan membuat argumentasi bahwa peraturan ini memiliki agenda untuk melegalkan perzinahan dan LGBT di perguruan tinggi. Sehingga pernyataan ini mengesampingkan tujuan dari Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021 tentang PPKS untuk memberikan kenyamanan untuk seluruh elemen kampus serta mengakomodir kebutuhan korban kekerasan seksual. 

Kedua, false dichotomy. False dichotomy adalah sesat pikir yang memandang segala hal layaknya hitam-putih/binary. Melalui pernyataan Sakinah Aljufri (dan sebagian besar pihak kontra), beranggapan bahwa Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021 tentang PPKS melarang kegiatan seksual tanpa consent, yang berarti pula jika kegiatan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka atau dengan consent, maka kegiatan seksual tersebut dilegalkan oleh Permendikbud Ristek (padahal masih ada beberapa hukum lainnya yang mengatur hal ini, seperti norma agama dan adat istiadat).

Sesat pikir tersebut sama saja dengan contoh ini: ketika ada tulisan dilarang buang air kecil di suatu lokasi, bukan berarti diperbolehkan membuang air besar di lokasi tersebut. Seharusnya, mereka berpikir bahwa jika buang air kecil saja tidak diperbolehkan, maka mereka tidak dapat melakukan hal yang lebih buruk daripada itu.

Ketiga, straw man fallacy adalah sesat pikir di mana mereka memelintir argumen lawan guna memunculkan argumen baru yang lebih lemah sehingga lebih mudah diserang. Pernyataan sebagian besar pihak kontra mengandung straw man fallacy karena jika kita lihat pada Permendikbud No.30 tahun 2021 tentang PPKS, aturan ini berfokus pada kegiatan atau perbuatan yang dilakukan tanpa persetujuan korban. Lalu, pihak kontra memelintir argumen tersebut dengan mengatakan bahwa jika sudah mendapatkan persetujuan, maka tindakan tersebut sudah dilegalkan. Argumen yang mereka lahirkan melupakan bahwa ada hukum/norma lain yang mengatur tentang hal tersebut. 

Pada intinya, apa yang dijelaskan dalam Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021 tentang PPKS, berusaha mengatur segala tindak kekerasan seksual di kampus. Di luar daripada itu, Permendikbud 30 tidak mengatur hal tersebut karena memang tidak sesuai ranah mereka.

Selain itu pernyataan bahwa Permendikbud Ristek PPKS ini tidak mengatur mengenai perbuatan zina dan LGBT sama dengan melegalkan perbuatan zina dan LGBT juga merupakan argumentasi yang keliru. Karena fungsi dari Permendikbud Ristek PPKS ini tidak membahas terkait isu tersebut melainkan hanya berfokus untuk melindungi, mencegah, dan menciptakan ruang nyaman untuk seluruh elemen yang terlibat dalam perguruan tinggi dari kekerasan seksual. Selain itu pembahasan tentang perzinahan tentu tidak mungkin dapat dibahas secara ringkas dalam peraturan Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021 tentang PPKS yang hanya berfokus pada isu kekerasan seksual.

III. PENUTUP

Kesimpulan

Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021 tentang PPKS pada dasarnya bertujuan untuk mencegah dan juga menindak kasus kekerasan seksual di kampus, tetapi sangat disayangkan masih banyak miskonsepsi oleh berbagai pihak mengenai fungsi dari Permendikbud Ristek ini. Mengambil kesimpulan dengan menganggap penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban” sebagai dasar untuk menuduh suatu lembaga mendukung legalisasi seks bebas atau lainnya merupakan sebuah bentuk logical fallacy atau kesalahan dalam penalaran berfikir. 

Tentu, dalam terbitnya sebuah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaganya memerlukan penyempurnaan supaya secara fungsional, supaya peraturan dapat lebih optimal dalam menegakan keadilan. Seluruh elemen dari masyarakat berhak untuk memberikan kritik atau sanggahan terkait peraturan yang diterbitkan atas dasar kebebasan berpendapat. Pemerintah pun tidak punya hak untuk melarang seseorang atau kelompok apapun untuk mengkritik kebijakan yang dikeluarkan dan harus terbuka dalam menerima masukan. Namun, harus dapat mempertanggungjawabkan kritik yang disuarakan, dan yang paling krusial adalah tidak menjadikan isu ini untuk membawa agenda politik apapun.

Perlu ditekankan, bahwa Permendikbud Ristek No.30 tahun 2021 tentang PPKS merupakan langkah tegas untuk melawan serta mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Maka dari itu, kita harus bersama mengawal pemberlakuan Permendikbud Ristek No.30 tahun 2021 tentang PPKS untuk menciptakan ruang aman bagi seluruh elemen di lingkungan perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Archard, D. (2019). Sexual Consent. Taylor & Francis.

Distania, R. A. (2021, November 11). Ada Kejanggalan, Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 Disebut Mengadopsi RUU PKS yang Gagal Lolos di DPR Periode Lalu. Populis.id. Retrieved December 12, 2021, from https://populis.id/read4592/ada-kejanggalan-permendikbud-ristek-no-30-tahun-2021-disebut-mengadopsi-ruu-pks-yang-gagal-lolos-di-dpr-periode-lalu

Hansen, Hans. (Ed). 2015. Fallacies. In The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2020 Edition). Diakses dari https://plato.stanford.edu/archives/sum2020/entries/fallacies/

Kahan, D. M. (2010). Culture, Cognition, and Consent: Who Perceives What, and Why, in Acquaintance-Rape Cases. Penn Law Review, 158(3), 729. Retrieved December, 2021, from https://scholarship.law.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1137&context=penn_law_review

Kemendikbud. (2021, November 8). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia. Retrieved December 12, 2021, from https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/11/permen-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-perguruan-tinggi-tuai-dukungan

Liswijayanti, F. (2021, November 12). Kontroversi Permendikbud Ristek 30/2021, Tuai Pro dan Kontra. Femina. Retrieved December 12, 2021, from https://www.femina.co.id/trending-topic/kontroversi-permendikbud-ristek-30-2021-tuai-pro-dan-kontra

Ngertihukum. (2021, November 14). Meneropong Yang Jadi Persoalan di Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021. NgertiHukum.ID. Retrieved December 12, 2021, from https://ngertihukum.id/meneropong-yang-jadi-persoalan-di-permendikbud-ristek-nomor-30-tahun-2021/

Nurita, D., & Budiman, A. (2021, November 12). Nadiem Makarim Sebut Kasus Kekerasan Seksual di Kampus Sudah Pandemi. Nasional Tempo.co. https://nasional.tempo.co/read/1527799/nadiem-makarim-sebut-kasus-kekerasan-seksual-di-kampus-sudah-pandemi

Paramita, K. (2021, May 21). Menilik konsep “consent” dalam ilmu hukum: benarkah mendorong hubungan seks di luar pernikahan? The Conversation. Retrieved December 12, 2021, from https://theconversation.com/menilik-konsep-consent-dalam-ilmu-hukum-benarkah-mendorong-hubungan-seks-di-luar-pernikahan-158081

PKS. (2021, November 4). PKS | Legislator PKS Kritisi Permendikbudristek No 30 Tahun 2021: Dasar Hukum Tidak Jelas, Isinya Jauh Dari Nilai Pancasila. Partai Keadilan Sejahtera. Retrieved December 12, 2021, from https://pks.id/content/legislator-pks-kritisi-permendikbudristek-no-30-tahun-2021-dasar-hukum-tidak-jelas-isinya-jauh-dari-nilai-pancasila

Polemik Permendikbud Kekerasan Seksual, Iskan: Moralitas Bangsa Dipertaruhkan. (2021, November 11). MNC Trijaya. Retrieved December 12, 2021, from https://www.mnctrijaya.com/news/detail/47610/polemik-permendikbud-kekerasan-seksualiskan-moralitas-bangsa-dipertaruhkan

Saputra, A. (2021, November 10). Dekan FH UIN Jakarta Minta Konsep Consent di Permendikbud PPKS Dievaluasi. detikNews. Retrieved December 12, 2021, from https://news.detik.com/berita/d-5804637/dekan-fh-uin-jakarta-minta-konsep-consent-di-permendikbud-ppks-dievaluasi 

YourDictionary.com. (t.t). “Straw Man Fallacy Examples”. LoveToKnow. Diakses pada 29 Januari 2020 dari https://www.yourdictionary.com/

Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 Tentang PPKS: Logical Fallacy pada Argumentasi Pihak Kontra

Cancel Culture dan Peran Petisi Online

oleh: Fina Nurul Zakiyyah

Juara 1 Sayembara Menulis: Cancel Culture dan Peran Pemerintah terhaap Keberadaan Influencer di Indonesia

Fenomena cancel culture kini ramai menjadi perbincangan masyarakat, istilah ini semakin populer di Indonesia sejak munculnya pemberitaan mengenai salah satu aktor asal Korea Selatan, Kim Seon Ho yang tersandung kasus gaslighting dan aborsi terhadap mantan kekasihnya. Istilah cancel culture disinyalir merupakan perkembangan dari istilah “call out culture” yang muncul sejak tahun 2014, tepatnya dalam industri lagu di Amerika Serikat yang merujuk pada “budaya pengucilan” atau fenomena sosial dimana seseorang yang dikenal oleh masyarakat luas (biasanya public figure atau seseorang yang memiliki position of power) dikucilkan, digugat, diboikot karena suatu kesalahan atau tindakan yang ofensif. Menurut (Nakamura, 2015) fenomena cancel culture merupakan sebuah boikot budaya yang disepakati untuk tidak menggaungkan dan memberikan ruang kepada seseorang. Lisa berpendapat bahwa cancel culture dapat mencegah orang-orang untuk melakukan atau mengatakan hal-hal yang buruk.

Cancel culture tidak terlepas dari dorongan perubahan sosial yang dapat mengatasi ketidaksetaraan, pernyataan rasis, tindakan pelecehan seksual, dan perilaku yang dianggap buruk lainnya. Contohnya di Indonesia adalah kasus glorifikasi pembebasan Saipul Jamil dari penjara, yang merupakan narapidana kasus pelecehan seksual. Masyarakat beramai-ramai menyuarakan bentuk protes melalui ruang diskusi publik berbasis online, seperti platform Twitter, Instagram, dan lainnya. Bahkan masyarakat pun meminta kepada seluruh lembaga penyiaran untuk tidak menampikan Saipul Jamil sebagai pengisi acara di stasiun televisi manapun. Contoh lainnya adalah kasus salah satu selebgram Indonesia bernama Rachel Vennya yang kabur dari kewajiban karantina di Wisma Atlet yang membuat masyarakat geram dan melakukan cancel culture campaign terhadap influencer Indonesia tersebut.

Tentunya fenomena cancel culture ini tidak terlepas dari penandatanganan petisi online yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk boikot terhadap suatu produk, individu atau kelompok yang melakukan tindakan ofensif. (Lindner & Riehm, 2011) dalam (Simamora, 2018) berpendapat bahwa petisi online berperan sebagai permintaan kepada otoritas publik (biasanya parlemen atau institusi pemerintah) untuk tujuan mengubah kebijakan publik atau mendorong tindakan tertentu oleh institusi publik. Petisi online dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menciptakan perubahan, salah satunya mendorong perubahan sosial (Hamid, 2015). Namun, seberapa besarkah pengaruh petisi online terhadap tindakan cancel culture di Indonesia? pada kenyataanya Indonesia belum memiliki lembaga yang menampung petisi secara khusus, bahkan belum ada regulasi hukum yang mengaturnya. Kita ketahui bahwa media petisi online yang biasanya digunakan untuk melakukan suatu cancel culture campaign, salah satunya adalah platform change.org. Media yang mewadahi penyampaian petisi atau kampanye ini berdiri sejak tahun 2012 di Indonesia. Meskipun penggunaannya terus meningkat, pemerintah Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menjawab petisi yang telah terakumulasi. Hal ini berbanding terbalik dengan negara Korea Selatan dan Amerika Serikat yang menampung hasil petisi dan mewajibkan pemerintahnya menjawab petisi apabila telah didukung atau ditandatangani oleh 100.000 orang dalam kurun waktu 30 hari. Meskipun demikian, bukan tidak mungkin jika petisi online tidak dapat memengaruhi suatu cancel culture campaign di Indonesia. Misalnya saja petisi yang dilakukan untuk memboikot Saipul Jamil tampil di TV Nasional dan Youtube, langkah ini dinilai telah menggerakan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk melakukan analisis dan mengambil sikap larangan amplifikasi dan glorifikasi terkait kebebasan Saipul Jamil bagi stasiun TV Indonesia. Petisi tersebut telah ditandatangani sebanyak 547.660 dengan judul petisi “Boikot Saipul Jamil Mantan Narapidana Pedofilia, Tampil di Televisi Nasional dan Youtube”. Selain itu terdapat pula petisi yang ditujukan kepada Rachel Vennya berjudul “Segera Proses Hukum bagi Rachel Vennya Berani Kabur dari Karantina” yang ditandatangani 13.664 pendukung telah menggerakan aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus
tersebut, hingga pada tanggal 4 November 2021 Rachel Vennya ditetapkan sebagai tersangka kasus pelanggaran karantina. Disamping hal itu, petisi online juga dapat dijadikan parameter suatu persoalan apakah hal tersebut butuh diusut sampai tuntas atau hanya ajang ikut-ikutan saja (mob mentality) bagi masyarakat.

Belum adanya regulasi mengenai petisi online serta lembaga yang mengaturnya membuat aturan ini menjadi belum jelas, tentunya hal ini juga berpengaruh pada cancel culture campaign di Indonesia. Namun demikian petisi online bukan berarti tidak dapat memengaruhi. Pemerintah harus bergerak cepat untuk mengatur petisi online agar masyarakat dapat memiliki kebebasan berpendapat dan mewujudkan terjaganya ruang publik yang ideal. Dalam hal ini pemerintah juga dapat berperan sebagai penengah antara public figure yang terdampak cancel culture dan masyarakat yang menciptakan kampanye tersebut. Dengan begitu, tidak ada bentuk penghakiman atau self superiority dari kedua belah pihak. Pemerintah juga dapat berperan sebagai pengawas yang memiliki kuasa atas identifikasi kelayakan petisi online tersebut, apakah layak diwujudkan atau hanya ajang mob mentality masyarakat saja.

Daftar Pustaka


Husna, A. M. (2021). Petisi Boikot Saipul Jamil Tembus 500 Ribu Tanda Tangan, KPI Surati 18 Stasiun TV Nasional Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Petisi Boikot Saipul Jamil Tembus 500 Ribu Tanda Tangan, KPI Surati 18 Stasiun TV Nasional, https://www.trib. Tribun News. https://www.tribunnews.com/seleb/2021/09/12/petisi-boikot-saipul-jamiltembus-500-ribu-tanda-tangan-kpi-surati-18-stasiun-tv-nasional


Lindner, R., & Riehm, U. (2011). Broadening Participation Through E-Pe_titions? An Empirical Study of Petitions to the Parliament. 1–23.


Nakamura, L. (2015). The unwanted labour of social media: Women of color call out culture as venture community managerment. A Journal of Culture/Theory/Politics, 106–112.


Rachel Vennya Kembali Diperiksa Kasus Kabur Karantina Hari Ini. (2021). CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211101072004-12714795/rachel-vennya-kembali-diperiksa-kasus-kabur-karantina-hari-ini


Simamora, R. (2018). Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus Change.Org Indonesia Periode 2015-2016. Jurnal Komunikasi Indonesia, 6(1), 57–67. https://doi.org/10.7454/jki.v6i1.8617

Media “Pisau Bermata Dua”

oleh: Atsilah Sofy Aliah

Juara 2 Sayembara Menulis: Cancel Culture dan Peran Pemerintah terhadap Keberadaan Influencer di Indonesia

Cancel Culture adalah istilah dari adanya budaya penolakan masa, berupa sikap atau gerakan kolektif masyarakat untuk memboikot seseorang atas perbuatan atau perkatannya, digunakan untuk menghukum seseorang yang berperilaku di luar norma. Dengan menghilangkan pengaruh suatu pihak tersangka, berupa ajakan untuk mematikan karir serta pembatalan kerjasama.

Ajakan untuk mematikan karir tersangka, memiliki tujuan agar orang yang dianggap berperilaku tidak sesuai dengan norma, bisa bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan menanggung sanksi sosial yang pantas ia terima.

Itu tujuan semestinya. Namun sisi lainnya, ternyata cancel culture ini seperti pisau bermata dua. Ia memiliki dampak positif dan negatif di waktu yang sama. Dampak positifnya dari ini budaya, kita dapat menjatuhkan karir dan pengaruh orang berkuasa yang berperilaku di luar norma. Namun sisi negatifnya ialah intimidasi masal yang ia terima, menyebabkan psikis dari korbannya bisa terganggu sehingga menyebabkan depresi salah satunya.

Depresi ini wajar diterima ketika tepat sasarannya, ketika benar tersangka melakukan kejahatannya. Namun masalahnya, beberapa kali terjadi secara nyata masyarakat salah sasaran rupanya, mereka termakan berita yang mentah saja, Mereka ikut menyuarakan tanpa mencari tahu kebenaran yang berita yang mereka terima.

Berita tersebut bisa jadi dari internet misalnya, atau karena beberapa influencer ikut membicarakannya. Dalam keadaan ia yang memiliki ratusan ribu pengikut di linimasa, tentu akan berdampak dalam mempengaruhi banyak keputusan manusia lainnya.

Manusia lain itu akan melihat bagaimana berfikir dan melihat sesuatu menurut sudut pandangnya, bagaimana ia bertindak atas kejadian yang menimpanya, ataupun ideologi seperti apa yang ia percaya. Secara sadar tak sadar, mereka (influencer) memperngaruhi pikiran pengikutnya. Dan tidak dapat kita sangkal kita menirukannya.

Kita menirukannya, tanpa banyak memikirkannya. “Salah siapa?” menjadi pertanyaan yang tak lagi berguna. Karena menurut saya, setiap manusia harus sadar akan perannya. Bagi diri kita sendiri misalnya, mungkin harus lebih bisa memfilter berita yang kita terima. Bagi influencer yang memiliki banyak pengikut di linimasa, mungkin mereka harus lebih memperhatikan bahwa mereka menjadi orang yang berpengaruh dalam menggiring opini masa, maka berhati hati dalam berbicara. lalu, pemerintah harus apa?

Disinilah peran pemerintah berada, ketika ia seharusnya memperketat peraturan kebiasaan influencer dalam bermedia. Memberi tambahan peraturan kode etik influencer dalam bermedia misalnya. Dengan mereka tidak berbicara isu melainkan harus fakta, tidak menyebutkan nama tersangka jika belum pasti beritanya, usahakan meneliti berita sebelum membicarakannya, jika perlu angkat suara tolong cantumkan sumber beritanya, tidak berbicara yang mengandung unsur cabul ataupun pencemaran nama baik sebagaimana mestinya, serta banyak kode etik lainnya yang perlu ditetapkan untuk influencer dalam bermedia.

Karena media menjadi senjata bermata dua, yang mana kita bisa memandang baik atau buruk suatu perkata, tergantung bagaimana media mengemasnya. Maka pemerintah tentu harus berperan atasnya.

Cancel Culture dan Tuntutan Menjadi Flawless: Adilkah?

oleh: Putih Rana Aghnia

Juara 3 Sayembara Menulis: Cancel Culture dan Peran Pemerintah terhadap Keberadaan Influencer di Indonesia

Cancel culture ialah gerakan masif masyarakat luas untuk mengenyahkan orang atau kelompok lain. Konsep ini sebenarnya sudah ada sejak lama dengan nama lain yang lebih konvensional seperti boikot, dimana orang-orang berhenti memberi dukungan karena tindakan seseorang atau kelompok tersebut dianggap telah menyalahi norma, bersifat rasial, dan menyinggung hal yang terlalu sensitif.

Semua orang dan kelompok dapat di-cancel, terutama bagi mereka yang kerap muncul di permukaan media. Beberapa contohnya adalah seorang selebgram yang kabur di masa karantina, salah satu co-founder brand kosmetik lokal terkemuka karena kasus perundungan di masa lalunya kembali mencuat, seorang komedian karena tindak pelecehan seksual, hingga salah satu merk es krim yang diduga telah melakukan eksploitasi tenaga kerja.

Awalnya, budaya ini ramai di sekitar tahun 2017, dimana muncul tagar #MeToo di jagat Twitter sebagai bentuk pengakuan para korban kekerasan seksual sehingga netizen berdiri mendukung para korban dengan meng-cancel pelakunya yang pada saat itu adalah seorang entertainer ternama. Dikutip dari Abie Besman pada diskusi publik bertajuk “Cancel Culture di Indonesia: Kesadaran Sosial atau Sekedar Ikut-Ikutan?” beliau berkata “Cancel culture adalah alat against the bully dan voicing the voiceless yang seharusnya dilakukan oleh media, tapi kini dilakukan oleh mob atau masyarakat,”

Cancel culture muncul sebagai sarana pemberian sanksi sosial oleh publik. Di era yang serba digital ini, sanksi biasanya berupa hate speech di media sosial hingga munculnya petisi-petisi. Selain itu, cancel culture juga dilakukan untuk memberi pelajaran bagi semua orang agar dapat memikirkan dengan baik tindakan yang akan dilakukan karena setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya.

Sayangnya, canceling lebih kurang adalah sulutan emosi netizen yang meledak sehingga sulit untuk menerima opini yang berlainan dan cenderung menolak melihat dari perspektif orang yang di-cancel tersebut. Karena itu juga, tidak sedikit orang yang menjadi korban cancel culture salah kaprah karena netizen terlanjur naik pitam oleh hoax yang ditelannya bulat-bulat, terutama para influencer di media sosial.

Identik dengan media sosial, tentu saja tidak lepas dari populasi para influencer yang menjadi salah satu alasan mengapa intensitas penggunaan media sosial semakin meningkat setiap harinya. Hidup para seleb dunia maya yang terbilang sempurna mendorongnya mendapat banyak pengikut di akun-akun yang dimilikinya. Pengaruhnya juga tidak main-main sehingga para influencer ini sering dijadikan incaran utama sebagai penggiat marketing dengan istilah endorse bahkan hingga menjadi brand ambassador.

Citra positif dan panggung yang luas juga mendorong pemerintah rela menggelontorkan dana puluhan miliyar untuk menggunakan jasa influencer sebagai sarana sosialisasi kebijakan dengan harapan dapat menggiring opini masyarakat secara instan, bahkan terlalu instan. Pemerintah terkadang lupa bahwa para influencer terutama di media sosial juga menjadi sasaran empuk budaya pengenyahan ini. Selain itu, penggunaan pihak ketiga justru membuat akses komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyatnya terpotong.

Cancel culture sendiri menimbulkan sikap masyarakat menjadi intoleransi terhadap kesalahan dan alergi akan ketidaksempurnaan, terutama jika orang tersebut adalah seorang public figure kenamaan. Dengan artian, semakin terkenal orang tersebut maka semakin tebal juga dinding norma yang membatasi ruang ekspresinya.

Layaknya kemunculan media sosial yang menjadi panggung budaya pengenyahan, fenomena cancel culture juga bagaikan sekeping koin yang memilki dua sisi, bisa berdampak positif dan bisa juga negatif. Lalu bagaimana dengan budaya canceling di Indonesia?

Faktanya, implementasi cancel culture di negara ini tidak setegas di negara lain, layaknya Korea Selatan atau Amerika Serikat yang benar-benar dapat “mengenyahkan” orang yang di-cancel tersebut. Di Indonesia, fenomena ini berlangsung serbacepat, yaitu; cepat ditanggapi, cepat meledak, cepat terdistraksi, cepat surut, cepat lupa, serta cepat “Ya sudahlah ya.” sehingga agaknya ini lebih seperti tindakan bullying musiman berkedok canceling ketimbang sebagai usaha untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih baik. Pada akhirnya, tindakan canceling di Indonesia cenderung memberikan kesempatan kedua atau lebih pada mereka yang dicancel dan itu bukanlah hal yang sepenuhnya salah, bukan?

REFERENSI


Athallah, R. A. (2020). Kecewakan Daku, Kau Ku-Cancel. https://www.remotivi.or.id/mediapedia/574/kecewakan-daku-kau-ku-cancel/ (Diakses Pada 24/11/2021 21:14)


Fajrina, H. N. (2021). Netizen Indonesia ‘kan Pemaaf, Emang Bisa Menganut Cancel Culture? https://uzone-id/netizen-indonesia-kan-pemaaf-emang-bisa-menganutcancel-culture/ (Diakses Pada 24/11/2021 21:42)


Riskinaswara, L. (2020). Menkominfo: Penggunaan Influencer oleh Pemerintah Tidak Salah. https://aptika.kominfo.go.id/2020/09/menkominfo-penggunaaninfluencer-oleh-pemerintah-tidak-salah/ (Diakses Pada 25/11/2021 10:46)


Romano, A. (2020). Why we can’t stop fighting about cancel culture. https://www.vox.com/culture/2019/12/30/20879720/what-is-cancel-cultureexplained-history-debate/ (Diakses Pada 25/11/2021 11:31)