BERGURU PADA ‘THE GRAND OLD MAN’ INDONESIA

K. H. Agus Salim ( src: en.wikipedia.org )

KH Agus Salim. Seorang pejuang, pemimpin, politikus, diplomat dan masih banyak lagi sebutan baginya sebagai seorang manusia Indonesia yang lahir di Kota Agam, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884. Maka pada tahun ini, telah sampailah usia almarhum pada angka 134 tahun. Telah berlalu satu abad sejak ia dilahirkan dan telah 64 tahun sejak ia wafat. Namanya tetap akan menjadi kenang-kenangan indah bagi sesiapa yang mau belajar darinya. Memelajari sejarahnya.

Dialah putra keempat Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Sebagai putra seorang jaksa, Agus Salim dapat menyelesaikan sekolahnya hingga setara SMA di HBS (Hogere Burger School) 5 tahun pada usia 19 tahun dengan menyandang predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Setelah menamatkan studinya, Agus Salim berkeinginan melanjutkan kuliah di bidang kedokteran di Belanda. Namun, karena keterbatasan biaya, penolakan pemerintah Belanda untuk memberikan beasiswa kepadanya membuatnya gagal melanjutkan sekolah kedokteran. Bahkan, Kartini, gadis Jepara yang kala itu mendengar cita-cita Agus Salim, berusaha membantu dengan mengalihkan dana beasiswanya dari pemerintah belanda kepada Agus Salim. Akan tetapi, karena kekecewaannya terhadap ketidakadilan pemerintah kolonial (antara keturunan bangsawan dengan putra inlander), Agus Salim memilih untuk menolak beasiswa tersebut.

Meski gagal melanjutkan ke sekolah yang ia impikan, sesungguhnya Agus Salim tidak sedikit pun berhenti akan mimpi-mimpinya. Tidak lama setelahnya, pada tahun 1905, Agus Salim memilih berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Hindia Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, ia kembali memperdalam ilmu agamanya. Ia belajar di Jeddah dibawah naungan pamannya yang berasal dari Minang dan telah menjadi ulama di Makkah, Syekh Ahmad Khotib. Pekerjaan yang dijalaninya di Jeddah dan tugasnya sebagai penerjemah membawanya menjadi pemuda dengan penghasilan yang cukup tinggi pada masa itu.

Setelah lima tahun, Agus Salim kembali ke Hindia Belanda dan bekerja di Bureau voor Openbare Werken (BOW)—Jawatan Pekerjaan Umum—hingga tahun 1912. Selama 1912 hingga 1915, Salim membuka sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Pernah juga ia jadi redaktur bahasa Melayu dalam Commissie voor de Volkslectuur—yang belakangan jadi Balai Pustaka. Ia mulai terjun ke dunia pergerakan nasional. Meskipun akhirnya ia keluar dari BOW, pemerintah Hindia Belanda masih tetap memercayainya melakukan tugas-tugas khusus menangani kaum pergerakan, ini terjadi pada masa sebelum Agus Salim memutuskan berdiri sejajar bersama Sarekat Islam. Ia pernah ditugaskan untuk menjadi mata-mata polisi Belanda yang hadir dalam rapat SI, karena pada waktu itu terdengar desas-desus yang menyatakan bahwa Tjokroaminoto bekerjasama dengan Jerman untuk melakukan pemberontakan di tanah Jawa. Namun, desas-desus tersebut berakhir dengan tidak adanya pemberontakan dalam bentuk apa pun.

Terjun menjadi antek belanda dalam menyelidiki pergerakan nasional, Agus Salim justru malah berbalik dan mendukung Sarekat Islam. Ia juga mengambil jalan sebagai politikus, meskipun karir politiknya tidak dapat benar-benar dibilang mulus. Agus Salim resmi bergabung di SI pada tahun 1951 sekaligus juga menjadi Anggota Dewan Rakyat Volksraad bersama dengan Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Bahkan pada tahun 1921-1924 selama empat tahun, ia menggantikan posisi kedua tokoh tersebut yang telah keluar lebih dulu dari keanggotaan Volksraad dengan alasan kekecewaan terhadap pemerintah Belanda. Akan tetapi, pada akhirnya Agus Salim menyadari posisinya dan memutuskan untuk fokus pada SI.

Sebelum itu, pada tahun 1923 terjadi perselisihan di antara orang dalam SI. Pasalnya Semaun dan kawan-kawannya  menginginkan SI condong pada pemikiran kiri dan berhasil membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI. Sementara Agus Salim tetap mempertahankan dirinya dalam SI, hingga akhirnya kedua orang tersebut menjadi musuh dalam pergerakan.

Selain SI ia juga menjadi salah satu penggerak Jong Islamiten Bond. Di sini ia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku. Dengan pemahaman ilmu agamanya, ia membuat posisi perempuan dalam pertemuan yang sebelumnya berada di belakang pria dan dibatasi dengan tabir, akhirnya diberikan tempat yang sejajar dengan tempat duduk pria.

Reputasinya telah dikenal jauh. Bahkan selain sebagai tokoh pergerakan, Agus Salim juga dikenal sebagai diplomat yang andal. Ialah tokoh yang sangat berjasa dalam menggalang kepercayaan bangsa-bangsa di Timur Tengah untuk mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Disebabkan oleh kemampuan diplomasinya inilah kemudian ia dijuluki sebagai ‘The Grand Old Man’, yang kemudian dikisahkan kembali melalui novel berjudul sama, ditulis oleh Haris Priyatna dan terbit pada tahun 2017. Mengenai kemampuannya berdiplomasi, Agus Salim sendiri sejak mudanya setidaknya telah menguasi 9 bahasa. Hal itu menjadi pendukung karirnya bahkan setelah kemerdekaan Indonesia ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kemampuannya dalam berdiplomasi membuat ia dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah adanya pengakuan kedaulatan, Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.

Tidak hanya terjun dalam politik, ia juga terjun dalam dunia jurnalistik. Ia pernah menulis buku ‘‘Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauhid Harus Dipahamkan’’ sebagai buah karyanya. Agus Salim bahkan pernah merintis karir sebagai Redaktur II Harian Neratja dan diangkat menjadi Ketua Redaktur. Ia juga pernah menjabat sebagai pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta.

Sederet profesi telah dijalaninya. Tak lama setelah kembali ke tanah air dari Jeddah, sebagai pemuda yang berpenghasilan cukup tinggi, ia kemudian kembali ke kampung halamannya, menikah dan memiliki 10 orang anak dari perempuan Minang bernama Zainatun Nahar Almatsier. Bersama keluarganya inilah selanjutnya Agus Salim menjalani hidupnya dalam kesederhanaan. Memilih bertahan dalam kezuhudan. Meskipun pada saat itu, Sarekat Islam yang dipimpinnya merupakan organisasi yang besar.

Di luar, Agus Salim adalah sosok penggerak yang tidak kenal takut, ia adalah pemimpin yang memberikan contoh nyata bahwa memimpin dan menjadi seorang pemimpin bukanlah suatu hal yang mudah. Sebagaimana Mohamad Roem menceritakan pengalamannya mengunjungi bedeng kontrakan keluarga Haji Agus Salim sekitar 1920-1930an bersama Kasman Singodimedjo muda. Pengalaman itu diceritakan Roem dalam tulisan di Prisma No 8, Agustus 1977, dengan judul, Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita.” Haji Agus Salim juga dikenal sebagai pribadi dengan jiwa yang bebas, cerdas, dan religius.

Agus Salim juga memimpin keluarganya dalam mengarungi hidup. Ia mampu menjadikan segala kesusahan hidup sebagai pelajaran yang dapat ia sampaikan kepada anak-anaknya. Begitulah cara anak-anaknya tumbuh tanpa pendidikan formal.  Sebab bagi Agus Salim sendiri, pendidikan yang diberikan kehidupan telah lebih dari cukup membawanya pada titik di mana ia berada.  Dengan kecerdasannya menjalani kehidupan, ia beserta keluarganya menjadi contoh nyata seorang manusia mulia yang mengetahui posisi sebagaimana mestinya, yang menikmati kehidupan sebagaimana adanya, dengan tetap bersyukur dan terus belajar dari apa yang ada di sekelilingnya. Kehidupan seorang pemimpin yang relijius bersanding dengan kepribadian bebas dan sikap nasionalismenya, Agus Salim telah mencatatkan namanya sendiri dalam sejarah. Menjadi tokoh yang dikagumi dan disegani. Menjadi tokoh yang bahkan setelah kematiannya, masih dijadikan contoh dan tempat belajar.

Referensi         :

https:// tirto.id/memimpin-itu-menderita-seperti-agus-salim-czgj

 https:// tirto.id/pendidikan-tanpa-sekolah-ala-agus-salim-cnSC

https://m.merdeka.com/pendidikan/kisah-agus-salim-pejuang-kemerdekaan-yang-juga-menekuni-jurnalistik.html

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/06/07/kisah-k-h-agus-salim-dan-diplomasi-pertama-ri-tahun-1947-diangkat-menjadi-novel

Departemen Kajian dan Aksi Strategis

BEM Bima Fikom Unpad 2018

Kabinet Archipelago