Cancel Culture dan Peran Petisi Online

oleh: Fina Nurul Zakiyyah

Juara 1 Sayembara Menulis: Cancel Culture dan Peran Pemerintah terhaap Keberadaan Influencer di Indonesia

Fenomena cancel culture kini ramai menjadi perbincangan masyarakat, istilah ini semakin populer di Indonesia sejak munculnya pemberitaan mengenai salah satu aktor asal Korea Selatan, Kim Seon Ho yang tersandung kasus gaslighting dan aborsi terhadap mantan kekasihnya. Istilah cancel culture disinyalir merupakan perkembangan dari istilah “call out culture” yang muncul sejak tahun 2014, tepatnya dalam industri lagu di Amerika Serikat yang merujuk pada “budaya pengucilan” atau fenomena sosial dimana seseorang yang dikenal oleh masyarakat luas (biasanya public figure atau seseorang yang memiliki position of power) dikucilkan, digugat, diboikot karena suatu kesalahan atau tindakan yang ofensif. Menurut (Nakamura, 2015) fenomena cancel culture merupakan sebuah boikot budaya yang disepakati untuk tidak menggaungkan dan memberikan ruang kepada seseorang. Lisa berpendapat bahwa cancel culture dapat mencegah orang-orang untuk melakukan atau mengatakan hal-hal yang buruk.

Cancel culture tidak terlepas dari dorongan perubahan sosial yang dapat mengatasi ketidaksetaraan, pernyataan rasis, tindakan pelecehan seksual, dan perilaku yang dianggap buruk lainnya. Contohnya di Indonesia adalah kasus glorifikasi pembebasan Saipul Jamil dari penjara, yang merupakan narapidana kasus pelecehan seksual. Masyarakat beramai-ramai menyuarakan bentuk protes melalui ruang diskusi publik berbasis online, seperti platform Twitter, Instagram, dan lainnya. Bahkan masyarakat pun meminta kepada seluruh lembaga penyiaran untuk tidak menampikan Saipul Jamil sebagai pengisi acara di stasiun televisi manapun. Contoh lainnya adalah kasus salah satu selebgram Indonesia bernama Rachel Vennya yang kabur dari kewajiban karantina di Wisma Atlet yang membuat masyarakat geram dan melakukan cancel culture campaign terhadap influencer Indonesia tersebut.

Tentunya fenomena cancel culture ini tidak terlepas dari penandatanganan petisi online yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk boikot terhadap suatu produk, individu atau kelompok yang melakukan tindakan ofensif. (Lindner & Riehm, 2011) dalam (Simamora, 2018) berpendapat bahwa petisi online berperan sebagai permintaan kepada otoritas publik (biasanya parlemen atau institusi pemerintah) untuk tujuan mengubah kebijakan publik atau mendorong tindakan tertentu oleh institusi publik. Petisi online dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menciptakan perubahan, salah satunya mendorong perubahan sosial (Hamid, 2015). Namun, seberapa besarkah pengaruh petisi online terhadap tindakan cancel culture di Indonesia? pada kenyataanya Indonesia belum memiliki lembaga yang menampung petisi secara khusus, bahkan belum ada regulasi hukum yang mengaturnya. Kita ketahui bahwa media petisi online yang biasanya digunakan untuk melakukan suatu cancel culture campaign, salah satunya adalah platform change.org. Media yang mewadahi penyampaian petisi atau kampanye ini berdiri sejak tahun 2012 di Indonesia. Meskipun penggunaannya terus meningkat, pemerintah Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menjawab petisi yang telah terakumulasi. Hal ini berbanding terbalik dengan negara Korea Selatan dan Amerika Serikat yang menampung hasil petisi dan mewajibkan pemerintahnya menjawab petisi apabila telah didukung atau ditandatangani oleh 100.000 orang dalam kurun waktu 30 hari. Meskipun demikian, bukan tidak mungkin jika petisi online tidak dapat memengaruhi suatu cancel culture campaign di Indonesia. Misalnya saja petisi yang dilakukan untuk memboikot Saipul Jamil tampil di TV Nasional dan Youtube, langkah ini dinilai telah menggerakan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk melakukan analisis dan mengambil sikap larangan amplifikasi dan glorifikasi terkait kebebasan Saipul Jamil bagi stasiun TV Indonesia. Petisi tersebut telah ditandatangani sebanyak 547.660 dengan judul petisi “Boikot Saipul Jamil Mantan Narapidana Pedofilia, Tampil di Televisi Nasional dan Youtube”. Selain itu terdapat pula petisi yang ditujukan kepada Rachel Vennya berjudul “Segera Proses Hukum bagi Rachel Vennya Berani Kabur dari Karantina” yang ditandatangani 13.664 pendukung telah menggerakan aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus
tersebut, hingga pada tanggal 4 November 2021 Rachel Vennya ditetapkan sebagai tersangka kasus pelanggaran karantina. Disamping hal itu, petisi online juga dapat dijadikan parameter suatu persoalan apakah hal tersebut butuh diusut sampai tuntas atau hanya ajang ikut-ikutan saja (mob mentality) bagi masyarakat.

Belum adanya regulasi mengenai petisi online serta lembaga yang mengaturnya membuat aturan ini menjadi belum jelas, tentunya hal ini juga berpengaruh pada cancel culture campaign di Indonesia. Namun demikian petisi online bukan berarti tidak dapat memengaruhi. Pemerintah harus bergerak cepat untuk mengatur petisi online agar masyarakat dapat memiliki kebebasan berpendapat dan mewujudkan terjaganya ruang publik yang ideal. Dalam hal ini pemerintah juga dapat berperan sebagai penengah antara public figure yang terdampak cancel culture dan masyarakat yang menciptakan kampanye tersebut. Dengan begitu, tidak ada bentuk penghakiman atau self superiority dari kedua belah pihak. Pemerintah juga dapat berperan sebagai pengawas yang memiliki kuasa atas identifikasi kelayakan petisi online tersebut, apakah layak diwujudkan atau hanya ajang mob mentality masyarakat saja.

Daftar Pustaka


Husna, A. M. (2021). Petisi Boikot Saipul Jamil Tembus 500 Ribu Tanda Tangan, KPI Surati 18 Stasiun TV Nasional Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Petisi Boikot Saipul Jamil Tembus 500 Ribu Tanda Tangan, KPI Surati 18 Stasiun TV Nasional, https://www.trib. Tribun News. https://www.tribunnews.com/seleb/2021/09/12/petisi-boikot-saipul-jamiltembus-500-ribu-tanda-tangan-kpi-surati-18-stasiun-tv-nasional


Lindner, R., & Riehm, U. (2011). Broadening Participation Through E-Pe_titions? An Empirical Study of Petitions to the Parliament. 1–23.


Nakamura, L. (2015). The unwanted labour of social media: Women of color call out culture as venture community managerment. A Journal of Culture/Theory/Politics, 106–112.


Rachel Vennya Kembali Diperiksa Kasus Kabur Karantina Hari Ini. (2021). CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211101072004-12714795/rachel-vennya-kembali-diperiksa-kasus-kabur-karantina-hari-ini


Simamora, R. (2018). Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan: Studi Kasus Change.Org Indonesia Periode 2015-2016. Jurnal Komunikasi Indonesia, 6(1), 57–67. https://doi.org/10.7454/jki.v6i1.8617

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *