Cancel Culture dan Tuntutan Menjadi Flawless: Adilkah?
oleh: Putih Rana Aghnia
Juara 3 Sayembara Menulis: Cancel Culture dan Peran Pemerintah terhadap Keberadaan Influencer di Indonesia
Cancel culture ialah gerakan masif masyarakat luas untuk mengenyahkan orang atau kelompok lain. Konsep ini sebenarnya sudah ada sejak lama dengan nama lain yang lebih konvensional seperti boikot, dimana orang-orang berhenti memberi dukungan karena tindakan seseorang atau kelompok tersebut dianggap telah menyalahi norma, bersifat rasial, dan menyinggung hal yang terlalu sensitif.
Semua orang dan kelompok dapat di-cancel, terutama bagi mereka yang kerap muncul di permukaan media. Beberapa contohnya adalah seorang selebgram yang kabur di masa karantina, salah satu co-founder brand kosmetik lokal terkemuka karena kasus perundungan di masa lalunya kembali mencuat, seorang komedian karena tindak pelecehan seksual, hingga salah satu merk es krim yang diduga telah melakukan eksploitasi tenaga kerja.
Awalnya, budaya ini ramai di sekitar tahun 2017, dimana muncul tagar #MeToo di jagat Twitter sebagai bentuk pengakuan para korban kekerasan seksual sehingga netizen berdiri mendukung para korban dengan meng-cancel pelakunya yang pada saat itu adalah seorang entertainer ternama. Dikutip dari Abie Besman pada diskusi publik bertajuk “Cancel Culture di Indonesia: Kesadaran Sosial atau Sekedar Ikut-Ikutan?” beliau berkata “Cancel culture adalah alat against the bully dan voicing the voiceless yang seharusnya dilakukan oleh media, tapi kini dilakukan oleh mob atau masyarakat,”
Cancel culture muncul sebagai sarana pemberian sanksi sosial oleh publik. Di era yang serba digital ini, sanksi biasanya berupa hate speech di media sosial hingga munculnya petisi-petisi. Selain itu, cancel culture juga dilakukan untuk memberi pelajaran bagi semua orang agar dapat memikirkan dengan baik tindakan yang akan dilakukan karena setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya.
Sayangnya, canceling lebih kurang adalah sulutan emosi netizen yang meledak sehingga sulit untuk menerima opini yang berlainan dan cenderung menolak melihat dari perspektif orang yang di-cancel tersebut. Karena itu juga, tidak sedikit orang yang menjadi korban cancel culture salah kaprah karena netizen terlanjur naik pitam oleh hoax yang ditelannya bulat-bulat, terutama para influencer di media sosial.
Identik dengan media sosial, tentu saja tidak lepas dari populasi para influencer yang menjadi salah satu alasan mengapa intensitas penggunaan media sosial semakin meningkat setiap harinya. Hidup para seleb dunia maya yang terbilang sempurna mendorongnya mendapat banyak pengikut di akun-akun yang dimilikinya. Pengaruhnya juga tidak main-main sehingga para influencer ini sering dijadikan incaran utama sebagai penggiat marketing dengan istilah endorse bahkan hingga menjadi brand ambassador.
Citra positif dan panggung yang luas juga mendorong pemerintah rela menggelontorkan dana puluhan miliyar untuk menggunakan jasa influencer sebagai sarana sosialisasi kebijakan dengan harapan dapat menggiring opini masyarakat secara instan, bahkan terlalu instan. Pemerintah terkadang lupa bahwa para influencer terutama di media sosial juga menjadi sasaran empuk budaya pengenyahan ini. Selain itu, penggunaan pihak ketiga justru membuat akses komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyatnya terpotong.
Cancel culture sendiri menimbulkan sikap masyarakat menjadi intoleransi terhadap kesalahan dan alergi akan ketidaksempurnaan, terutama jika orang tersebut adalah seorang public figure kenamaan. Dengan artian, semakin terkenal orang tersebut maka semakin tebal juga dinding norma yang membatasi ruang ekspresinya.
Layaknya kemunculan media sosial yang menjadi panggung budaya pengenyahan, fenomena cancel culture juga bagaikan sekeping koin yang memilki dua sisi, bisa berdampak positif dan bisa juga negatif. Lalu bagaimana dengan budaya canceling di Indonesia?
Faktanya, implementasi cancel culture di negara ini tidak setegas di negara lain, layaknya Korea Selatan atau Amerika Serikat yang benar-benar dapat “mengenyahkan” orang yang di-cancel tersebut. Di Indonesia, fenomena ini berlangsung serbacepat, yaitu; cepat ditanggapi, cepat meledak, cepat terdistraksi, cepat surut, cepat lupa, serta cepat “Ya sudahlah ya.” sehingga agaknya ini lebih seperti tindakan bullying musiman berkedok canceling ketimbang sebagai usaha untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih baik. Pada akhirnya, tindakan canceling di Indonesia cenderung memberikan kesempatan kedua atau lebih pada mereka yang dicancel dan itu bukanlah hal yang sepenuhnya salah, bukan?
REFERENSI
Athallah, R. A. (2020). Kecewakan Daku, Kau Ku-Cancel. https://www.remotivi.or.id/mediapedia/574/kecewakan-daku-kau-ku-cancel/ (Diakses Pada 24/11/2021 21:14)
Fajrina, H. N. (2021). Netizen Indonesia ‘kan Pemaaf, Emang Bisa Menganut Cancel Culture? https://uzone-id/netizen-indonesia-kan-pemaaf-emang-bisa-menganutcancel-culture/ (Diakses Pada 24/11/2021 21:42)
Riskinaswara, L. (2020). Menkominfo: Penggunaan Influencer oleh Pemerintah Tidak Salah. https://aptika.kominfo.go.id/2020/09/menkominfo-penggunaaninfluencer-oleh-pemerintah-tidak-salah/ (Diakses Pada 25/11/2021 10:46)
Romano, A. (2020). Why we can’t stop fighting about cancel culture. https://www.vox.com/culture/2019/12/30/20879720/what-is-cancel-cultureexplained-history-debate/ (Diakses Pada 25/11/2021 11:31)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!