Cancel Culture: Main Hakim Bukan Cuma Ada di Jalan

Siapa yang tidak percaya bahwa dunia maya memiliki budaya? Hampir tiga dekade kita hidup dengan teknologi secanggih ini yang menghubungkan kita dengan seluruh dunia, mustahil rasanya kalau tidak ada sesuatu, entah itu perspektif, nilai, ataupun budaya baru yang muncul setelah adanya dunia maya. Cancel culture, atau canceling, merupakan sebuah istilah atau ‘budaya’ dunia maya yang sedang mencuat dalam tiga hingga empat tahun belakangan.

Jika kita menelusuri permasalahan ini kepada akarnya, kita akan bertemu dengan sang induk, yaitu media sosial. Media sosial adalah salah satu media atau penyalur hak kebebasan untuk berpendapat yang paling canggih yang pernah umat manusia miliki. Semua orang bebas menyatakan fakta dan juga opini sesuai dengan pegangan diri sendiri mereka masing-masing. Instagram, Facebook, dan Twitter merupakan contoh kecil dari raksasa yang kini merajai separuh hidup dari kawula muda era modernisasi ini. Semua orang memiliki hak yang sama di media sosial untuk menyatakan apa yang ingin mereka ucapkan. Namun mereka harus menyadari konsekuensi dari apa yang mereka ucapkan. Entah konsekuensi itu berdampak kepada diri mereka sendiri, maupun orang lain.

James Charles, Kanye West, Chris Brown, bahkan selebritas Indonesia seperti Anya Geraldine dan Awkarin merupakan salah satu dari banyak korban dari konsekuensi tersebut. Selebritas merupakan subyek yang sangat rentan terhadap isu seperti ini. Semua ini berawal dari pengguna media sosial atau yang kerap dipanggil sebagai netizen, mengekspos salah satu kejadian yang menjatuhkan nama baik dari selebritas tersebut, lalu *poof* hancurlah karir dari selebritas terkait dan hanya bergantung apakah tim public relation mereka dapat mengatasi permasalahan tersebut. Apa yang netizen sebarkan di dunia maya dapat dikatakan mengancam karir mereka sebagai selebritas. Ada yang bertahan, namun juga ada yang jatuh. Karier mereka hancur karena apa yang mereka bangun, dihancurkan oleh sebuah tagar atau cuitan yang mendiskreditkan nama baik mereka. 

Secara definitif, cancel culture adalah sebuah upaya untuk menghentikan dukungan kepada sebuah tokoh masyarakat atau mungkin sebuah perusahaan karena sebuah perbuatan yang pernah mereka lakukan sebelumnya, yang dinilai memiliki nilai yang ofensif atau kurang pantas untuk dilakukan. Istilah ini muncul setelah adanya gerakan tagar #MeToo pada tahun 2017, tagar #MeToo merupakan sebuah gerakan melawan tindakan pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh (pada umumnya) pria yang dinilai memiliki kuasa yang lebih dan terkenal. Secara kronologis awalnya gerakan ini didorong oleh korban pelecehan seksual dan aktivis Tarana Burke tahun 2006 di media sosial Myspace. 

Lalu istilah ini digunakan kembali pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh produser film ternama Harvey Weinstein pada Oktober 2017 silam. Gerakan ini muncul dan menjadi viral pada media sosial Twitter dan lalu tersebar di berbagai media sosial lainnya. Bahkan gerakan ini menarik perhatian dari kalangan selebritis seperti Gwyneth Paltrow, Jennifer Lawrence, dan bahkan Uma Thurman, salah satu bintang dalam film yang diproduseri oleh Weinstein sendiri yakni film Pulp Fiction mendukung gerakan tagar #MeToo. Canceling ini berdampak besar bagi karir bahkan kehidupan pribadi dari Harvey Weinstein, dia kehilangan berbagai kedudukan di organisasi seperti BAFTA (British Academy of Film and Television Arts) dan AMPAS (Academy of Motion Picture Arts and Sciences) atau yang dikenal sebagai ‘the Academy’ dan berbagai organisasi lainnya. Lalu kehidupan pribadinya juga berantakan, istri dari Weinstein memutuskan untuk meninggalkan dirinya setelah kasus kekerasan seksual tersebut mulai tersebar luas.

Weinstein merupakan salah satu contoh dari cancel culture yang memiliki dampak masif terhadap kehidupan sang korban dari budaya tersebut. Dampak itu bukan hanya dirasakan bagi Weinstein, namun juga kolega dari Weinstein sendiri seperti pembuat film ternama Quentin Tarantino yang mendukung Weinstein saat dirinya terkena kasus kekerasan seksual. Quentin Tarantino juga menjadi korban dari cancel culture walau dampak yang dirasakan tidak sebesar apa yang dialami oleh Weinstein. 

Menurut saya pribadi, kejadian Weinstein menjadi rambu ‘waspada’ untuk kita, sebagai pengingat bahwa kekerasan dan pelecehan seksual itu dapat terjadi kepada siapa saja. Tidak mengenal status sosial maupun jabatan. Sejak kejadian itu, awareness masyarakat terhadap isu kekerasan dan pelecehan mengalami peningkatan yang drastis. Makin banyak korban yang berani speak up mengenai kekerasan dan pelecehan seksual yang pernah menimpa mereka. Sehingga budaya canceling ini ternyata memiliki dampak yang positif diluar ‘kekejaman’ netizen yang mengatakan apa yang terjadi pada pelaku itu setimpal dengan apa yang mereka lakukan.

Namun apa yang terjadi bila canceling terjadi pada suatu isu yang seharusnya tidak dibawa ricuh? Saya ingin mengulas mengenai sebuah keributan yang pernah terjadi di media sosial Twitter beberapa saat lalu, tepatnya pada awal bulan Juni 2020. Eva Jaya Putri dengan nama akun @peceleve, mengkritik cuitan dari Anya Geraldine yang menggunakan nama akun @Anyaselalubenar yang mengupload swafoto beserta foto yang sangat casual di Twitter. Eva mengkritik isi konten milik Anya yang dinilai sangat tidak peduli dengan isu rasial yang sedang memuncak di media sosial.

Dalam permasalahan ini, publik terbagi menjadi dua belah kubu. Antara pihak yang menilai Eva benar dan pihak yang menilai Eva salah. Akibat dari kejadian ini, sempat terjadi perdebatan mengenai kewajiban seseorang dalam aksi dan kepedulian mereka terhadap isu rasial. Ada yang berargumen bahwa isu rasial adalah permasalahan yang harus semua orang pahami dan turut terlibat. Pihak ini menyampaikan bahwa jika seseorang memutuskan untuk diam dan tidak mengambil sikap, merupakan tindakan yang ignorant. Sedangkan pihak oposisi mengatakan bahwa semua orang memiliki hak atas apa yang ingin mereka sampaikan terhadap publik. Kedua pihak memiliki argumen yang kuat, kita tidak dapat mengidentifikasi secara benar dan kita tidak dapat membenarkan salah satu pihak. Sehingga upaya canceling ini dinilai kurang efektif karena tidak memiliki pondasi yang kuat untuk membangun argumen untuk menjatuhkan pihak yang dituju dan merupakan sebuah upaya yang seharusnya tidak pernah terjadi.

Budaya canceling ini juga dinilai sebagai sebuah budaya yang dinilai bersifat negatif oleh banyak publik figur karena dinilai merupakan sebuah upaya online shaming yang sangat destruktif dan kadang tidak melihat dari perspektif yang sangat besar. Sesuai pada hakikatnya, manusia diciptakan memiliki akal serta moral dan belajar mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan kejadian yang mereka alami. Kita tidak dapat menjustifikasi apa yang seseorang anggap benar dan tidak benar. Cancel culture merupakan salah satu budaya yang dinilai memiliki intensi untuk ‘menggembalakan’ publik untuk hanya melihat suatu permasalahan dalam perspektif yang negatif. 

Mungkin saja mayoritas atau minoritas dari publik yang membudidayakan budaya ini memiliki kecenderungan untuk tidak mencari informasi mengenai suatu isu secara mendalam dan menilainya secara tepat. Namun kita harus melihat juga siapa yang tidak melakukan hal tersebut. Miskonsepsi adalah suatu hal yang sering terjadi dalam masyarakat jika dihadapkan suatu isu dan kadang berdampak besar apalagi jika miskonsepsi terjadi pada masyarakat yang memiliki herd mentality karena dorongan untuk diterima oleh kelompok terdekatnya. 

Menurut Irving Janis, seorang psikolog dari Yale University, like-minded group yang sepakat bahwa mereka benar, dan mempercayai bahwa konsensus adalah perlambang dari kekuatan kelompok mereka. Situasi ini disebut dengan istilah groupthink yang menurut Janis merupakan sesuatu yang terkadang bisa menjerumuskan suatu kelompok menjadi kurang kritis dan bisa memberikan dimensi yang salah terhadap suatu isu. Groupthink merupakan suatu hal yang harus dihindari dalam berkomunikasi dan menghadapi suatu permasalahan.

Jika kita tidak menyaring informasi dengan baik, budaya cancel culture ini menjadikan kita untuk menjadi ‘hakim’ yang mengadili perbuatan seseorang di media sosial berdasarkan subjektivitas yang kita percaya adalah pandangan objektif. Mungkin memang budaya ini memiliki dampak positif, membuka jalan kepada publik untuk mengetahui sebuah isu serta meningkatkan awareness dari publik. Namun seperti ucapan dari Angelica Ross, seorang pebisnis dan pembela hak transgender mengenai kekuatan dari media. “Media merupakan pedang bermata dua yang memiliki kekuatan untuk merubah hati dan pikiran seseorang melalui cerita yang benar sesuai dengan kekuatan untuk menggambarkan seseorang, atau sebuah masyarakat, dalam cahaya yang menyesatkan”.

Tidak ada salahnya jika kita menyuarakan pendapat kita, apa yang kita percaya dan yakini benar. Tapi kita tidak bisa menggambarkan bahwa apa yang kita yakini sebagai sebuah objektivitas atau kebenaran yang hakiki. Cancel culture merupakan budaya yang terkadang malah memberikan pandangan negatif dan malah memunculkan argumentum ad hominem yang menyerang pribadi dari objek yang terkena canceling. Jika kita memang harus menjadi ‘hakim’, setidaknya kita harus menjadi ‘hakim’ yang bisa menilai berdasarkan keadilan, bukan menjadi ‘hakim’ yang hanya ingin memuaskan ego dengan menjatuhkan nama baik seseorang supaya merasa diri sendiri lebih baik daripada korban dari cancel culture. Dan yang terakhir, hilangkanlah mental mengikuti mayoritas atau mob mentality. Jadilah pribadi yang kritis dalam menilai suatu isu. Cari, amati, dan bentuklah argumentasi pribadi, bukan hanya mengikuti apa yang orang katakan.

 

DAFTAR PUSTAKA

‘Getting Canceled’ and ‘Cancel Culture’: What It Means. (n.d.). Retrieved from https://www.merriam-webster.com/words-at-play/cancel-culture-words-were-watching

Croteau, J. (2019, February 04). Social Media And The Mob Mentality: How We Can Fight It. Retrieved from https://www.forbes.com/sites/jeannecroteau/2019/02/01/our-society-is-broken-lets-fix-it/#735edf0b704b

Kecewakan Daku, Kau Ku-Cancel. (n.d.). Retrieved from https://www.remotivi.or.id/mediapedia/574/kecewakan-daku-kau-ku-cancel

Krogerus, M., Tschäppeler, R., Weber, S., Piening, J., & Jones, L. (2019). The communication book: 44 ideas for better conversations every day. Penguin Business.

Lemoine, A. (2020, January 31). What Does Cancel Culture Mean? Retrieved from https://www.dictionary.com/e/pop-culture/cancel-culture/#:~:text=Cancel culture refers to the,the form of group shaming.

Romano, A. (2019, December 30). Why we can’t stop fighting about cancel culture. Retrieved from https://www.vox.com/culture/2019/12/30/20879720/what-is-cancel-culture-explained-history-debate


Oleh: Yohanes Stephen