G30S Militer dan Sejarah Kelam Etnis Tionghoa

 

Menjelang pemilihan Presiden 2019, isu bernuansa rasial serta konspirasi tentang kebangkitan PKI kembali mewarnai drama politik Indonesia. Lewat media sosial, hoax tentang bangkitnya PKI dan agenda Komunis China untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia menjadi jualan yang laris di masyarakat, sehingga membangkitkan kembali sentimen rasial dan xenofobia terhadap etnis Tionghoa di masyarakat. Etnis Tionghoa sudah lama menjadi korban diskriminasi dan fitnah, dan ini bukan hal yang baru bagi mereka. Sejak zaman kolonial mereka sudah mendapat perlakuan diskriminatif lewat politik adu domba Penjajah Belanda.

 

Dalam Jakarta: sejarah 400 tahun karya Susan Blackburn, dituliskan, sebelum VOC tiba di Nusantara, relasi antara Pribumi dan Tionghoa sangat akur. Kerajaan-kerajaan di Nusantara sudah ribuan tahun menjalin hubungan diplomatik dan dagang dengan berbagai dinasti di Tiongkok. Ketika VOC datang, mereka memanfaatkan orang Tionghoa sebagai rekan berdagang dan memberikan mereka perlakuan istimewa yang tidak didapatkan penduduk asli. Namun hubungan mesra ini tidak berlangsung lama, pada 9-21 Oktober 1740 terjadi peristiwa Geger Pecinan. Dalam peristiwa itu VOC membantai tidak kurang dari 10.000 jiwa etnis Tionghoa selama 13 hari. Menurut Hembing Wijayakusuma, dalam Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, kekalahan VOC dalam persaingan dagang dengan EIC, Inggris, serta kekeliruan-kekeliruan VOC dalam menentukan harga dan pangsa pasar, telah menjadi alasan tambahan VOC untuk menindas warga Tionghoa. VOC menuduh masyarakat Tionghoa berencana melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial, dan, sebagai tindakan balasan, tentara kolonial membantai orang Tionghoa dengan bantuan penduduk asli yang sudah dihasut oleh VOC. setelah peristiwa Geger Pecinan ribuan etnis Tionghoa mengungsi ke berbagai daerah. Pemerintah Hindia Belanda menempatkan mereka didalam ghetto untuk mencegah mereka berbaur dan berkomunikasi dengan dunia luar, mulai dari peristiwa ini kebencian penduduk asli dengan etnis Tionghoa muncul ke permukaan.

 

Beratus tahun setelahnya orang Tionghoa tetap mengalami diskriminasi rasial, Pada 1965 muncul klaim bahwa etnis Tionghoa dan PKI bekerja sama dengan Komunis China, dalam peristiwa G30S. Peristiwa ini kembali membangkitkan kebencian rasial terhadap etnis Tionghoa Indonesia di zaman modern. Dimulai dari tanggal 1 Oktober 1965, negara diguncang dengan drama penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok pasukan bersenjata kepada tujuh Jenderal Angkatan Darat. Sontak kejadian ini membuat masyarakat dilanda kebingungan serta prasangka, yang membuat seluruh negeri bergolak. Rakyat yang sudah melarat karena tingginya bahan kebutuhan pokok, akibat hiperinflasi yang melanda sejak 1963, menjadi terpancing amarahnya akibat peristiwa malam satu Oktober 1965, yang memakan korban dari petinggi Angkatan Darat. Emosi rakyat dipermainkan lewat serangkaian isu mengenai pemberontakan yang akan dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia beserta Angkatan Kelima, yang mendapat dukungan dari RRT terhadap pemerintahan yang sah.

 

Serangkaian isu yang menyebar membuat PKI, beserta elemen-elemen organisasi dan berbagai tokoh dari kubu kiri, menjadi pihak tertuduh dalam tragedi berdarah pada dini hari 1 Oktober tersebut. Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa BungKarno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan.  Akhirnya meletus G30S. Seperti yang dijelaskan Subandrio dalam bukunya Kesaksianku dalam G30S (2000) dan Taomo Zhou dalam jurnalnya: China and Thirteen of September Movement (2014), bahwa surat kabar ABRI menyebutkan G30S adalah kudeta komunis gagal yang direncanakan dan diatur oleh rezim Peking sebagai bagian dari program revolusi dunia.  Kedekatan PKI dengan poros Peking, yang saat itu dipimpin oleh Mao Zedong, membuat publik berasumsi, bahwa RRT berada dibalik penculikan para jenderal dan percobaan kudeta, Dugaan keterlibatan RRT dan Mao Zedong membuat publik berpikir bahwa orang Cina menjadi dalang dari penculikan dan pembunuhan para Jenderal. Alhasil kecurigaan masyarakat kepada etnis Tionghoa yang sudah lama bermukim di Indonesia semakin berkembang, mereka dicap sebagai agen komunis dan dianggap berbahaya bagi stabilitas Negara. Kesenjangan sosial yang tinggi pada waktu itu juga menjadi salah satu penyebab kebencian masyarakat pada etnis Tionghoa. Pada masa itu banyak orang Tionghoa memiliki standar hidup yang lebih baik dibandingkan orang pribumi, banyak dari mereka masih bisa hidup nyaman meski negara sedang dilanda hiperinflasi. Dan pada saat yang bersamaan kampanye anti komunis mulai menyebar luas di masyarakat.

 

Perlahan kampanye anti komunis mulai berkembang menjadi kampanye anti Tionghoa di berbagai daerah, pada 10 November 1965 muncul gerakan anti Tionghoa di Makassar yang berujung pada pembantaian warga Tionghoa di Makassar. Pada 1966, keadaan semakin tidak terkendali. Harga-harga yang melambung tinggi serta stabilitas keamanan yang semakin memburuk membuat gelombang demonstrasi semakin marak di berbagai tempat, yang berkembang menjadi kerusuhan rasial, Pada 10 Desember 1966, di Medan terjadi kerusuhan massal, dimana orang Tionghoa dikejar dan dibantai karena dituduh bekerjasama dengan komunis.

 

Setahun setelahnya pada November 1967, di Kalimantan Barat terjadi Peristiwa Mangkuk Merah yang merupakan salah satu tragedi hitam bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Puluhan ribu orang Tionghoa dibantai karena dituduh menjadi simpatisan komunis, mereka dituduh merencanakan makar dan pemberontakan di Kalimantan. Pada peristiwa ini ratusan ribu orang Tionghoa mengungsi ke Pontianak dan Singkawang, untuk menghindari pembantaian yang dilakukan oleh masyarakat local, yang telah dihasut oleh pemerintah dan militer.

 

Posisi orang Tionghoa semakin terjepit dikala pada tahun 1967, dimana rezim represif Orde Baru mengeluarkan peraturan pemaksaan asimilasi bagi orang Tionghoa, lewat Surat Edaran Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 Tentang Masalah Cina, dimana mereka dilarang menggunakan nama-nama Tionghoa dan memaksa mereka menggunakan nama yang berbau lokal, serta mengganti nama Tiongkok menjadi “Cina”. Pada tahun yang sama Suharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang segala kegiatan kepercayaan serta keagamaan Tiongkok dilakukan di Indonesia.

 

Tidak cukup sampai disitu, Orde Baru semakin mengeksploitasi hak masyarakat Tionghoa, lewat diterbitkannya Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286 Tahun 1978. Pemerintah Indonesia, melalui Badan Intelijen Negara(BIN), mengawasi gerak-gerik orang Tionghoa-Indonesia melalui sebuah badan yang bernama  Badan Koordinasi Masalah Cina  (BKMC), dengan alasan untuk mengawasi masalah komunisme. Kemudian pada tahun 1988 Orde Baru mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Pers Departemen Penerangan R.I. no.02/SE/Ditjen-PPG/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan dan iklan beraksara dan berbahasa Cina di depan umum. Orde baru juga membatasi peran masyarakat Tionghoa di bidang pemerintahan serta militer.

 

Peristiwa kelabu bagi masyarakat Tionghoa seakan tak pernah berhenti. Kerusuhan rasial kembali terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, yang merupakan salah satu masa terburuk bagi sejarah Tionghoa Indonesia. Pada tanggal 13-15 Mei 1998 kembali terjadi persekusi dan pembantaian terhadap etnis Tionghoa, pemerkosaan wanita Tionghoa, serta penjarahan dan pembakaran toko-toko Tionghoa, yang dikenal sebagai peristiwa Mei Kelabu. Peristiwa ini mengakibatkan eksodus besar-besaran etnis Tionghoa-Indonesia ke luar negeri untuk menghindari kerusuhan. Namun ditengah kekalutan krisis ekonomi dan kekacauan yang melanda, pejabat Orde Baru menyalahkan etnis Tionghoa yang dianggap menguasai perekonomian dan menjadi biang kerok krisis ekonomi pada waktu itu. Pernyataan tersebut membuat sentimen anti-Cina kembali berkobar di masyarakat yang berujung pada kerusuhan.

 

Tak lama setelah reformasi, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dibentuk untuk menyelidiki peristiwa ini. Dari laporan TGPF yang diliris Komnas Perempuan dalam Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (1999) ditemukan bahwa kerusuhan Mei 1998 digerakkan secara sistematis dan terstruktur yang ditandai dengan munculnya massa provokator yang memancing warga untuk ikut melakukan pengrusakan, secara fisik tampak terlatih, beberapa berseragam sekolah, tidak menjarah dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung terbakar. TGPF juga menemukan bahwa etnis Tionghoa menjadi target utama dalam kerusuhan tersebut, sebagian besar korban kerusuhan dan pemerkosaan adalah etnis Tionghoa. Aparat yang diterjunkan di lapangan cenderung melakukan pembiaran terhadap kerusuhan anti Cina yang terjadi pada 1998.  Namun, sayangnya setelah laporan penyidikan TGPF diliris pada 1999 tidak pernah ada aktor yang diseret dan bertanggung jawab, semua dibiarkan tenggelam dan berlalu begitu saja seakan tak pernah ada hal yang terjadi.

 

Pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, satu-persatu peraturan diskriminatif warisan Orde Baru dicabut. Masyarakat Tionghoa kembali dibebaskan menjalankan tradisi leluhurnya. Namun bukan berarti duka dan ketakutan yang dialami oleh masyarakat Tionghoa hilang begitu saja, diskriminasi yang sudah berlangsung lintas generasi terlanjur menciptakan luka yang mendalam bagi mereka. Politik pemisahan identitas yang dilakukan VOC dan Orde Baru sudah terlanjur menciptakan stigma, bahwa etnis Tionghoa adalah etnis ‘pendatang’ dan ‘berbeda’ dengan penduduk asli dan stigma ini masih bertahan hingga sekarang.

 

Munculnya teori-teori konspirasi tentang ‘Komunis China’ dan ‘Kebangkitan PKI’ yang ingin menguasai Indonesia dewasa ini tak jauh berbeda dengan isu yang sama, yang muncul pasca peristiwa 65, hanya sekedar kabar burung yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Namun, minimnya pengetahuan masyarakat akan sejarah dan pendidikan literasi digital, yang membuat kebencian masyarakat terhadap etnis Tionghoa, masih terpelihara. Rakyat masih mudah terbawa dengan narasi-narasi berbau SARA dan, bila dibiarkan, hanya akan memperpanjang rantai kebencian terhadap etnis Tionghoa. Semestinya harus ada upaya untuk meluruskan sejarah etnis Tionghoa agar bebas dari prasangka, serta pengakuan bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari Indonesia, sehingga mata rantai kebencian terhadap etnis Tionghoa bisa segera terputus.

 

Penulis: M. Izzat

 

 

 

Departemen Kajian, Aksi dan Strategis

 

Bidang Sosial dan Masyarakat

 

BEM Bima Fikom Unpad 2018

 

Kabinet Archipelago

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka:

 

Subandrio. 2000. Kesaksianku Tentang G30S, Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total

 

Zhou, Taomo. 2014. China and Thirteen of September Movement, New York: Southeast Asia Program Publications at Cornell University

 

Badan Koordinasi Intelijen Negara. 1980. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia, Jakarta: Badan Koordinasi Masalah Cina

 

Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 tahun, Jakarta: Komunitas Bambu

 

Publikasi Komnas Perempuan. 1999. Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan & New Zealand Official Development Assistance

 

https://tirto.id/angkatan-kelima-diusulkan-pki-ditolak-angkatan-darat-cC14 diakses pada 16 September 2018

 

https://tirto.id/arsip-rahasia-as-hoax-mao-zedong-terlibat-g30s-cyz3 diakses pada 25 September 2018e

 

https://indoprogress.com/2017/09/baperki-komunitas-tionghoa-dan-g30s-di-kota-medan/ diakses pada 16 September 2018

 

https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-bFLp diakses pada 16 September 2018

 

https://tirto.id/tragedi-berdarah-pembantaian-mangkuk-merah-cEUq diakses pada 16 September 2018

 

https://historia.id/modern/articles/duka-warga-tionghoa-DbKmv diakses pada 17 September 2018

 

https://www.dw.com/id/kerusuhan-mei-1998-menolak-lupa/a-18464585 diakses pada 17 September 2018

 

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43940188 diakses pada 16 September 2018

 

https://www.vice.com/id_id/article/a3av7e/pengakuan-para-pelaku-penjarahan-mei-98-korban-operasi-kerusuhan-sistematis diakses pada 17 September 2018