Kekerasan Seksual di Kampus: Bagaimana Seharusnya Unpad Menangani Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungannya?
- Pendahuluan
Ibrahim Malik merupakan seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) yang memiliki image sangat baik. Dirinya meraih penghargaan mahasiswa berprestasi UII pada tahu 2015, dilanjutkan ketika dirinya lulus, dia mendapatkan beasiswa Australia Awards Scholarship (AAS). Saat ini ia sedang melanjutkan studinya di program magister di University of Melbourne. Bahkan, ketika berada di Melbourne, Malik kerap diundang sebagai motivator di acara keagamaan dan kerap kali disebut sebagai ustad. Citra diri yang baik ini, hancur lebur seketika pada 17 April 2020, saat Lani (bukan nama sebenarnya) melaporkan Malik kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dengan tuduhan kasus kekerasan seksual.
Nama Malik pun diungkap oleh LBH Yogyakarta. Hal ini memicu korban-korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan Malik memberanikan diri untuk melaporkannya kepada LBH Yogyakarta. Per 4 Mei 2020, total 30 pengadu sudah melaporkan kejadian ini kepada LBH Yogyakarta.
Pihak UII merespons cepat kasus ini. Dari pihak rektorat, mereka telah mencabut gelar mahasiswa berprestasi milik Malik, lalu membentuk tim pencari fakta untuk membantu korban menempuh jalur hukum. Dari pihak mahasiswa, mereka telah menuntut pihak kampus sesegera mungkin merumuskan regulasi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus.
Berasal dari provinsi yang sama, pada tahun 2018, publik juga dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya), mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menjadi korban kekerasan oleh temannya sendiri ketika menjalani program kuliah kerja nyata. Sayangnya, kasus ini seakan-akan ditutupi oleh kampus, demi menjaga kehormatan institusi, yang kemudian berusaha “dilawan” melalui tagar #NamaBaikKampus, sebuah gerakan kampanye dari Tirto.id, Vice Indonesia, dan The Jakarta Post. Gerakan ini dilakukan guna menyampaikan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus yang tidak teradvokasi dengan baik.
Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus tak hanya sebatas “perlakuan tak senonoh antarmahasiswa”. Pada tahun 2015, terdapat dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kepada salah seorang mahasiswinya. Dikabarkan melalui Didaktika—lembaga pers mahasiswa UNJ, pelaku mengundang korban ke tempat tinggalnya dengan dalih “mengerjakan laporan keuangan”. Pihak UNJ pun mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang memberikan sanksi secara moral kepada pelaku. Namun, masalah tak berhenti di titik tersebut. Selanjutnya, pelaku malah melaporkan korban ke pihak kepolisian dengan pencemaran nama baik sebagai dasar tuntutannya.
Selaras dengan tema kekerasan seksual, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI) mengadakan survey pada 177 mahasiswi UI pada tahun 2018. Hasil menyatakan bahwa dua puluh satu orang pernah mengalami kasus kekerasan seksual di kampus, tiga puluh sembilan orang mengetahui adanya kasus kekerasan seksual di kampus, dan “hanya” sebelas orang di antaranya yang melaporkan kasus kekerasan seksual. Hal ini dianggap miris, karena 79% responden menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui kemana mereka dapat melaporkan kasus kekerasan seksual.
Lalu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh gerakan #NamaBaikKampus yang dilaksanakan pada tahun 2017, terdapat total 174 penyintas kekerasan seksual yang memberikan testimoni mengenai kasus kekerasan seksual yang mereka alami di lingkungan kampus. Mirisnya lagi, di antara para penyintas tersebut, ternyata sedikit sekali yang melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak kampus, yaitu hanya 29 orang yang melapor, kurang dari 20 persen.
Tidak terkecuali di lingkungan Universitas Padjadjaran (Unpad), sebuah survei mengenai kekerasan seksual juga telah dilakukan Fakultas Hukum Unpad (FH Unpad) terhitung sejak 2 Mei 2020 dan berlangsung hingga 19 Mei 2020. Data survei tersebut menunjukan bahwa, dari total 612 responden, 22.1% mengaku pernah mengalami kasus kekerasan seksual di kampus. Selain itu, 73.4% responden pernah mendengar adanya kasus kekerasan seksual di kampus, dan 10.6% mengaku pernah melihat secara langsung kasus tersebut. Dan ternyata, sekitar 67.6% dari total responden tersebut belum merasa terlindungi dari ancaman kekerasan seksual di kampus dan hampir seluruh responden, sekitar 97.9% setuju bahwa diperlukan adanya regulasi terkait penanganan kasus kekerasan seksual di Unpad.
Menurut survei FH Unpad tersebut, terdata sudah ada sekitar 135 mahasiswa yang mengalami kekerasan seksual di kampus, padahal masih banyak mahasiswa yang tidak mengisi survei tersebut. Faktanya, belum ada regulasi penanganan kasus kekerasan seksual di Unpad membuat mahasiswa resah akan ancaman kasus kekerasan seksual yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Masih minimnya laporan mengenai kasus kekerasan seksual di kampus memperlihatkan bahwa kasus ini merupakan fenomena gunung es (iceberg phenomenon), di mana kasus yang terlihat dipermukaan tidak menjamin jumlah kasus yang sebenarnya ada, karena dipastikan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan atau teradvokasi kepada pihak kampus. Permasalahan ini layaknya bom waktu yang bisa sewaktu-waktu meledak. Oleh karena itu, diperlukan adanya langkah pencegahan dan penanganan dini oleh kampus, tanpa harus menunggu banyak kasus yang terlaporkan di permukaan terlebih dahulu. Perlu adanya peran kampus yang tanggap dan cermat dalam menangani kasus kekerasan seksual ini, sebagai institusi yang menaungi dan bertanggung jawab atas civitas akademikanya.
2. Pembahasan
a. Konsep Kekerasan Seksual di Kampus
Menurut World Health Organization (WHO), kasus pelecehan sendiri merupakan masalah kesehatan yang sangat serius. Kasus-kasus ini mampu mengganggu dan merusak fisik, mental, dan kesehatan alat reproduksi seseorang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. WHO menyatakan bahwa penanganan yang tepat untuk kasus pelecehan seksual sangat diperlukan, karena mampu berakibat pada seseorang seumur hidupnya.
Kasus kekerasan seksual sendiri seringkali terjadi di lokasi yang “aman” menurut korban, seperti rumah dan institusi pendidikan. WHO pun menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah masalah hak asasi manusia dan masalah kesehatan publik yang serius. Oleh karena itu, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena bisa berdampak pada masa depan seseorang. Kekerasan seksual ini seperti masih dipandang tidak serius bagi beberapa orang, bahkan sampai sekarang masih terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen di beberapa kampus.
Gelfand, Fitzgerald, dan Dragsow (1995) mengkonseptualisasikan pelecehan seksual sebagai tindakan yang berkonotasi seksual yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu pelecehan gender, perhatian seksual yang tidak diinginkan, dan pemaksaan seksual. Dari setiap dimensi tersebut terdapat berbagai elemen perilaku verbal dan non-verbal.
- Pelecehan gender: sebuah perilaku yang merendahkan perempuan secara seksual di tingkat kelompok, seperti membuat ejekan maupun komentar terhadap perempuan sebagai objek seks, kemudian memberikan ucapan atau bahasa tubuh yang secara seksual mengejek tampilan atau bentuk tubuh seseorang.
- Perhatian seksual: sebuah perilaku merendahkan perempuan dengan menjadikanya objek seksual, seperti menyentuh bagian tubuh yang tidak diinginkan, mengirimkan pesan cabul atau mengirimkan foto bernuansa seksual, dan mengajukan petanyaan tentang kehidupan seksual sseorang.
- Pemaksaan seksual: biasanya pemaksaan seksual berbentuk suap atau ancaman yang bertujua untuk bisa melakukan tindakan seksual.
Menurut Komnas Perempuan ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan dari hasil pemantauan selama 15 tahun (1998-2013). 15 jenis kekerasan seksual ini bukan bentuk final, karena terdapat bentuk kekerasan seksual yang belum dapat dikenali karena keterbatasan informasi. Berikut 15 kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan.
- Perkosaan: serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus, atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan.
- Intimidasi Seksual, termasuk ancaman atau percobaan perkosaan: tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.
- Pelecehan seksual: tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.
- Eksploitasi Seksual: tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya.
- Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual: tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.
- Prostitusi paksa: situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi.
- Perbudakan seksual: Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual.
- Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung: Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai.
- Pemaksaan kehamilan: situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki.
- Pemaksaan aborsi: pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.
- Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi: disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan.
- Penyiksaan seksual: tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani, rohani, maupun seksual.
- Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual: cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
- Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayaan atau mendiskiminalisasi perempuan: kebiasaan masyarakat, kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cedera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan.
- Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama: cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan perempuan “nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan.
WHO juga memberikan pernyataan dalam laman resminya, bahwa kekerasan seksual sering terjadi di sebuah tempat yang mereka pikir “aman”, seperti sekolah maupun kampus/universitas.
Kekerasan seksual di kampus menurut Ari J. Adipurwawidjana, dosen FIB Unpad, dalam Webinar “Mewujudkan Kampus Aman-Kampus Tanpa Pelecehan dan Kekerasan Seksual” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Gender dan Anak Unpad dan Girl Up Unpad, hal tersebut terjadi karena adanya ketidakmampuan dan kegamangan banyak anggota civitas akademika dalam memahaminya dan hal tersebut menyebabkan mereka kesulitan dalam menentukan posisinya dalam permasalahannya. Walaupun ada perundang-undangan dan regulasi yang mempromosikan kesetaraan gender, kebudayaan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di kampus dapat memunculkan adanya kuasa yang tidak berimbang.
Pelecehan dan kekerasan berbasis gender dalam kebudayaan arus utama menghalangi pengarusutamaan kesetaraan gender dalam kebudayaan dan kehidupan sehari, termasuk di kampus. Untuk itu, menurut Ari, pelecehan dan kekerasan semacam ini harus tidak dipahami sebagai perkara seksual melainkan harus dipandang sebagai relasi kuasa. Menurutnya, perbedaan antara relasi kuasa dengan hubungan romantis antara dua pihak terletak dari adanya consent (persetujuan) dari kedua belah pihak. Dalam relasi kuasa, di sisi lain, relasi tercipta melalui paksaan, baik yang bersifat eksplisit seperti pernyataan ancaman, atau implisit seperti menciptakan situasi yang memberi tekanan untuk tunduk. Walaupun begitu, pernyataan implisit ini problematik karena rentan terhadap perbedaan penafsiran.
Lalu menurut Hani Yulindrasari. akademisi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dalam Webinar yang sama, mengatakan bahwa kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik
Kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi civitasnya, terutama mahasiswa. Kampus merupakan tempat belajar mahasiswa untuk pengembangan kognisi serta pengembangan skill. Namun, kasus kekerasan seksual tidak melihat waktu, tempat, dan jabatan, alhasil kasus kekerasan seksual ini juga bisa terjadi di kampus. Kekerasan seksual di kampus melibatkan berbagai lapisan civitas kampus, baik itu dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, dan tenaga penunjang. Menurut Hani, kekerasan seksual di kampus merupakan kasus yang terjadi di dalam maupun di luar lingkungan kampus terhadap anggota masyarakat kampus ataupun bukan anggota masyarakat kampus oleh anggota masyarakat kampus ataupun bukan anggota masyarakat kampus.
Ia menambahkan, kekerasan seksual di kampus yang paling umum terjadi berbentuk perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, serta pemaksaan aborsi. Korban dan pelaku bisa siapa saja, mau itu mahasiswa, dosen, tenaga pendidik, maupun tenaga penunjang seperti satpam, OB, pedagang, dan lain-lain.
Seperti yang telah digambarkan dalam survei #NamaBaikKampus di awal dan beberapa survei lainnya yang serupa, para korban kekerasan seksual di kampus kerap kali enggan untuk melapor terkait masalah yang menimpanya. Dalam hal ini, menurut Hani, ada beberapa alasan yang bisa melatarbelakangi mengapa para korban cenderung enggan untuk melapor, yaitu: tidak tahu lapor kemana, malu, tertekan, merasa bersalah, akut diteror/dicelakakan pelaku (karena relasi kuasa yang tidak seimbang), takut membuat keluarga malu, dan takut akan stigma sosial (rape culture—victim blaming culture). Lebih jauh lagi, peran kampus nyatanya masih kurang serius dalam menangani kasus, seperti belum ada payung hukum yang berpihak pada korban serta korban dituntut memiliki alat bukti dan saksi yang sulit ditemukan karena, pada dasarnya, kejadian kekerasan seksual biasa terjadi tanpa ada saksi.
Tekanan dan stress yang dimiliki korban karena dilema tersebut seringkali berdampak buruk, korban cenderung kehilangan semangat kuliah bahkan tidak mau melanjutkan karena takut akan ancaman pelaku maupun stigma sosial. Lebih jauh lagi, ia juga dapat mengalami trauma psikis dan fisik, sampai dengan depresi dan self-harm.
b. Serba-serbi penanganan kasus kekerasan seksual oleh kampus
Berdasarkan hasil survei pada bagian pendahuluan, kita mendapatkan pemahaman bahwa kasus kekerasan seksual di kampus tentunya bukanlah sebuah permasalahan ringan. Kasus-kasus kekerasan seksual di kampus tentu membutuhkan adanya “bantuan” dari pihak rektorat, selaku institusi pengampu di mana kasus-kasus ini terjadi. Sayangnya, berdasarkan riset yang kami lakukan dengan melihat artikel-artikel media tentang kasus kekerasan seksual di kampus, pihak kampus dari kasus-kasus terkait kerap kali terlihat seolah berusaha menutup-nutupi kasus tersebut, guna menjaga nama baik institusi.
Mengambil contoh kasus Agni di UGM. Pihak rektorat berusaha menyelesaikan kasus ini “hanya” dengan mempertemukan kedua pihak—korban dan pelaku, untuk mencapai kesepakatan non-litigasi (kesepakatan untuk menyelesaikan masalah hukum tanpa melalui jalur pengadilan). Bahkan, dilansir dari media Suara Jogja, ada kesan bahwa UGM seolah melakukan victim blaming (menempatkan korban sebagai pihak yang bersalah dalam suatu kasus), karena Agni dianggap mempermalukan nama baik institusi.
Pada akhirnya, pihak UGM menyusun rancangan Peraturan Rektor tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan akhirnya disahkan pada bulan Januari tahun 2020. Sayangnya, peraturan yang disahkan terasa menghapus pasal-pasal penting yang terdapat dalam draf, di mana yang awalnya terdapat 36 pasal pada draf asli, berujung hanya terdapat 18 pasal ketika peraturan ini disahkan. Pihak rektorat UGM pun kembali dianggap memihak pelaku kekerasan seksual, yang menyebabkan viralnya tagar #UGMBohongLagi.
Contoh penanganan dari pihak kampus lainnya muncul dari kota Medan. Dugaan kasus pelecehan seksual muncul di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU). Terdapat dugaan dengan dosen sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap tiga orang mahasiswi FISIP USU. Respon terhadap kasus yang diberikan oleh pihak program studi (prodi) dianggap mengecewakan, karena seakan-akan kasus ini dututupi, lagi-lagi, dengan dalih nama baik institusi. Bahkan Kepala Prodi terkait menyatakan bahwa kasus pelecehan seksual terjadi karena adanya kesalahan dari diri korban sendiri.
Dugaan kasus pelecehan seksual juga mencuat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB Undip). Kini, terdapat empat korban dan satu pelaku. Untuk menemukan jalan keluar dari kasus ini, pihak fakultas menyarankan metode non-litigasi kepada korban dan pelaku. Langkah ini diambil, menurut pihak fakultas, karena kasus pelecehan seksual mampu diselesaikan secara prosedural dekanat, tak perlu sampai ke pihak rektorat, terutama pihak luar kampus. Ditambahkan oleh Suharyo, Pembantu Dekan 2 FIB Undip, kasus pelecehan seksual sendiri “bukanlah pelanggaran yang berat,” terlebih pelaku sendiri sudah cukup mendapatkan ganjarannya berupa sanksi sosial.
Kurang memadainya penanganan kasus pelecehan seksual di kampus ternyata tak hanya dialami oleh universitas dalam negeri. Baylor University, sebuah universitas di negara bagian Texas, Amerika Serikat, akhir-akhir ini mencapai kesepakatan dengan dua orang korban pelecehan seksual yang kasusnya terjadi pada tahun 2011. Hal ini mengindikasikan bahwa penanganan kasus pelecehan seksual di kampus juga merasakan kesulitan sehingga memakan waktu yang lama, bahkan untuk negara sekelas Amerika Serikat. Bahkan, menurut rubrik The Cut dalam New York Magazine menyatakan bahwa kejadian pelecehan seksual berupa gang rapes (pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang) kemungkinan besar terjadi di seluruh universitas di Negeri Paman Sam.
c. Langkah ideal penanganan kasus kekerasan seksual oleh kampus
Kami merangkum beberapa hal yang didapatkan melalui riset yang telah dilakukan. Hal-hal ini diharapkan mampu membantu dan menjadi bahan pertimbangan bagi pihak rektorat Unpad dalam penyusunan regulasi terkait kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Kami sebutkan langkah-langkah penting yang dapat dilakukan pihak rektorat Unpad untuk menangani kasus kekerasan seksual di kampus, sebagai berikut:
- Pihak kampus harus menciptakan peraturan/regulasi mengenai penanganan kasus pelecehan seksual serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku pelecehan seksual.
- Pihak kampus harus membentuk tim investigasi yang bersifat independen serta imparsial untuk menyelidiki kasus pelecehan seksual dalam kampus, dimana investigasi akan melibatkan seluruh elemen dalam kampus.
- Pihak kampus harus menyediakan bimbingan konseling untuk korban yang melapor kepada kampus.
- Pihak kampus harus menyediakan jasa psikolog/psikiater untuk menjaga kesehatan mental dan fisik dan korban serta menjaga keamanan dari korban jika korban pelecehan tersebut terancam dari pihak manapun.
Dalam lingkup universitas, pihak rektorat Unpad dapat menjadikan langkah yang telah dilakukan oleh Universitas Indonesia sebagai referensi penyusunan regulasi. Pihak Universitas Indonesia telah membentuk Buku SOP (Standar Operasional Penangangan) kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Buku ini membahas beberapa hal yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, dan akan kami sampaikan secara singkat, sebagai berikut:
- Definisi: Istilah yang memiliki frekuensi penggunaan yang tinggi dalam kasus kekerasan seksual.
- Ruang Lingkup Kekerasan Seksual: Penjelasan mengenai kekerasan seksual dalam kampus
- Kekerasan Seksual: Penjelasan mengenai kekerasan seksual secara menyeluruh
- Penyerangan Seksual: Penjelasan mengenai penyerangan seksual (sexual assault) seperti bentuk-bentuk dari penyerangan seksual.
- Ruang Lingkup: Penjelasan mengenai ruang lingkup dari perlindungan yang diberikan oleh pihak kampus.
- Hak dan Tanggung Jawab Karyawan dan Mahasiswa: Membahas mengenai hak dan kewajiban dari seluruh elemen kampus dan memprioritaskan kenyamanan dari seluruh elemen kampus supaya terhindar dari tindakan pelecehan seksual.
- Pihak yang Berwenang Menerima Laporan: Penjelasan mengenai pihak yang berwenang untuk mendapatkan laporan mengenai kekerasan seksual dalam ruang lingkup kampus.
- Pengambilan Tindakan: Berisi mengenai opsi yang disediakan jika terjadi kasus kekerasan seksual dalam kampus.
- Proses Konsultasi: Berisi pedoman singkat perihal proses konsultasi yang disediakan oleh pihak kampus untuk pelapor kasus pelecehan seksual.
- Prosedur Pengajuan Laporan: Berisi mengenai prosedur lengkap jika korban pelecehan seksual ingin melaporkan tindakan pelecehan seksual serta proses lanjutannya.
- Sanksi: Berisi mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku serta prosedur penindakan pada pelaku pelecehan seksual tersebut.
Kami mengharapkan langkah untuk membuat SOP tersebut mampu menjadi acuan yang tepat bagi pihak rektorat Unpad untuk mengentaskan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
3. Penutup
Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Bima Fikom Unpad Kabinet Pancarona, memiliki kepedulian tinggi perihal penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus Unpad. Kepedulian ini timbul mengingat: 1) adanya kedekatan secara geografis karena lingkungan kampus Unpad merupakan tempat di mana kami—Departemen Kastrat BEM Bima Fikom Unpad, menuntut ilmu, dan 2) belum adanya regulasi yang mengatur terkait isu ini dari pihak rektorat Unpad.
Sampai saat ini, kami rasa belum ada langkah yang memuaskan yang diambil Unpad untuk mencegah serta menanggulangi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus maupun di luar yang melibatkan civitas akademikanya. Perkembangan terbaru, saat adanya audiensi bersama rektor Unpad beserta jajarannya di acara Satu Hari Bersama Ibu yang dilaksanakan BEM Kema Unpad pada 20 Mei 2020 lalu, dikatakan bahwa senat akademik akan merumuskan Etika Akademik, berisi etika kemahasiswaan yang berisi regulasi dan sanksi, mencakup kasus kekerasan seksual, narkotika, kasus hukum, korupsi, dan hal lain yang diturunkan menjadi peraturan rektor.
Namun, beberapa peserta audiensi yang terdiri dari mahasiswa Unpad mendesak agar regulasi dan pengaturan sanksi dipisahkan dari peraturan tentang Etika Kemahasiswaan tersebut, sehingga membuahkan sebuah keputusan bahwa pihak rektorat akan memisahkan kedua hal tersebut yang nantinya akan diproses oleh Direktorat Tata Kelola dan Legal. Untuk perumusan selanjutnya dikatakan akan melibatkan mahasiswa melalui diskusi lanjutan.
Alasan di atas menjadi dasar kami untuk menyusun kajian ini. Harapan kami, kajian ini mampu membantu pihak rektorat Unpad dan seluruh pihak stakeholders terkait untuk menyusun regulasi-regulasi perihal penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus Unpad. Diharapkan pula, kajian ini mampu “membuka mata” pihak rektorat Unpad bahwa permasalahan ini bukanlah hal sepele, dan membutuhkan penanganan yang serius agar kasus-kasus kekerasan seksual dapat ditangani dengan cara yang tepat dan sesuai prosedur yang disusun, serta mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, A. (2019, May 18). Dosen Mesum FIB Undip Langgar Kode Etik, Korban: ‘Ini Angin Segar’. Retrieved May 22, 2020, from tirto.id: https://tirto.id/dosen-mesum-fib-undip-langgar-kode-etik-korban-ini-angin-segar-dKUa
Adam, A. (2019, May 17). Pelecehan Seksual di FISIP USU Disimpan Jadi Rahasia Jurusan. Retrieved May 22, 2020, from tirto.id: https://tirto.id/pelecehan-seksual-di-fisip-usu-disimpan-jadi-rahasia-jurusan-dKTZ
Adam, A. (2020, May 15). Dugaan Kasus Kekerasan Seksual: Di Balik Citra Baik Ibrahim Malik. Retrieved May 22, 2020, from tirto.id: https://tirto.id/dugaan-kasus-kekerasan-seksual-di-balik-citra-baik-ibrahim-malik-ftbQ
Adinda, P. (2020, February 15). Bagaimana Cara Menangani Kekerasan Seksual di Kampus? Retrieved May 22, 2020, from Asumsi: https://www.asumsi.co/post/bagaimana-cara-menangani-kekerasan-seksual-di-kampus
Avila, T. (2016, November 23). Baylor University Reaches Settlement With Two Women Who Reported Gang Rapes in 2012. Retrieved May 22, 2020, from The Cut: https://www.thecut.com/2016/11/baylor-university-reaches-settlement-on-2012-gang-rapes.html#_ga=2.15361526.170750006.1589902692-310364945.1589902692
Ayu, W. (2019, December 28). UI Kini Punya Buku SOP Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. Retrieved May 22, 2020, from Universitas Indonesia: https://www.ui.ac.id/ui-kini-punya-buku-sop-penanganan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-kampus/
Komnas Perempuan. (2013). 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan.
Miller, J. (2017, March 25). University of Texas Releases Rape-Survey Results. Retrieved May 22, 2020, from The Cut: https://www.thecut.com/2017/03/university-of-texas-releases-rape-survey-results.html#_ga=2.256443919.500488675.1590050130-310364945.1589902692
Nadia, S., & Rizki, M. R. (2020, February 10). Kekerasan Seksual di Balik Nama Baik Kampus. Retrieved May 15, 2020, from suaramahasiswa.com: https://suaramahasiswa.com/kekerasan-seksual-di-balik-nama-baik-kampus/
Riani, A. (2020, February 11). 6 Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus, Jangan Dibiarkan. Retrieved May 22, 2020, from Liputan 6: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4176128/6-kasus-kekerasan-seksual-di-lingkungan-kampus-jangan-dibiarkan
Syambudi, I. (2019, December 30). Draf Regulasi Kekerasan Seksual UGM Dipreteli dan Memihak Pelaku. Retrieved May 22, 2020, from tirto.id: https://tirto.id/draf-regulasi-kekerasan-seksual-ugm-dipreteli-dan-memihak-pelaku-epgW
World Health Organization. (n.d.). Sexual violence. Retrieved May 22, 2020, from World Health Organization: https://www.who.int/reproductivehealth/topics/violence/sexual_violence/en/
Zuhra, W. U. (2019, April 23). Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota. Retrieved May 22, 2020, from tirto.id: https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW