Media “Pisau Bermata Dua”
oleh: Atsilah Sofy Aliah
Juara 2 Sayembara Menulis: Cancel Culture dan Peran Pemerintah terhadap Keberadaan Influencer di Indonesia
Cancel Culture adalah istilah dari adanya budaya penolakan masa, berupa sikap atau gerakan kolektif masyarakat untuk memboikot seseorang atas perbuatan atau perkatannya, digunakan untuk menghukum seseorang yang berperilaku di luar norma. Dengan menghilangkan pengaruh suatu pihak tersangka, berupa ajakan untuk mematikan karir serta pembatalan kerjasama.
Ajakan untuk mematikan karir tersangka, memiliki tujuan agar orang yang dianggap berperilaku tidak sesuai dengan norma, bisa bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan menanggung sanksi sosial yang pantas ia terima.
Itu tujuan semestinya. Namun sisi lainnya, ternyata cancel culture ini seperti pisau bermata dua. Ia memiliki dampak positif dan negatif di waktu yang sama. Dampak positifnya dari ini budaya, kita dapat menjatuhkan karir dan pengaruh orang berkuasa yang berperilaku di luar norma. Namun sisi negatifnya ialah intimidasi masal yang ia terima, menyebabkan psikis dari korbannya bisa terganggu sehingga menyebabkan depresi salah satunya.
Depresi ini wajar diterima ketika tepat sasarannya, ketika benar tersangka melakukan kejahatannya. Namun masalahnya, beberapa kali terjadi secara nyata masyarakat salah sasaran rupanya, mereka termakan berita yang mentah saja, Mereka ikut menyuarakan tanpa mencari tahu kebenaran yang berita yang mereka terima.
Berita tersebut bisa jadi dari internet misalnya, atau karena beberapa influencer ikut membicarakannya. Dalam keadaan ia yang memiliki ratusan ribu pengikut di linimasa, tentu akan berdampak dalam mempengaruhi banyak keputusan manusia lainnya.
Manusia lain itu akan melihat bagaimana berfikir dan melihat sesuatu menurut sudut pandangnya, bagaimana ia bertindak atas kejadian yang menimpanya, ataupun ideologi seperti apa yang ia percaya. Secara sadar tak sadar, mereka (influencer) memperngaruhi pikiran pengikutnya. Dan tidak dapat kita sangkal kita menirukannya.
Kita menirukannya, tanpa banyak memikirkannya. “Salah siapa?” menjadi pertanyaan yang tak lagi berguna. Karena menurut saya, setiap manusia harus sadar akan perannya. Bagi diri kita sendiri misalnya, mungkin harus lebih bisa memfilter berita yang kita terima. Bagi influencer yang memiliki banyak pengikut di linimasa, mungkin mereka harus lebih memperhatikan bahwa mereka menjadi orang yang berpengaruh dalam menggiring opini masa, maka berhati hati dalam berbicara. lalu, pemerintah harus apa?
Disinilah peran pemerintah berada, ketika ia seharusnya memperketat peraturan kebiasaan influencer dalam bermedia. Memberi tambahan peraturan kode etik influencer dalam bermedia misalnya. Dengan mereka tidak berbicara isu melainkan harus fakta, tidak menyebutkan nama tersangka jika belum pasti beritanya, usahakan meneliti berita sebelum membicarakannya, jika perlu angkat suara tolong cantumkan sumber beritanya, tidak berbicara yang mengandung unsur cabul ataupun pencemaran nama baik sebagaimana mestinya, serta banyak kode etik lainnya yang perlu ditetapkan untuk influencer dalam bermedia.
Karena media menjadi senjata bermata dua, yang mana kita bisa memandang baik atau buruk suatu perkata, tergantung bagaimana media mengemasnya. Maka pemerintah tentu harus berperan atasnya.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!