[ #OnThisDay ] Menghendaki Pluralisme a la Bob Dylan
Dua tahun yang lalu, pada tanggal yang sama seperti hari ini, Bob Dylan dianugerahkan Nobel Prize for Literacy Award. Penghargaan tersebut menceritakan banyak pelajaran bagi kita, terutama tentang hasrat Dylan akan pluralisme. Karya-karyanya sangat penting bagi kehidupan saat ini, di mana batas antara yang di sini dengan yang di sana kian kabur dan ide “ini” dan “itu” selalu bersinggungan.
Tanah Air Memupuk Karakter Dylan
Tanah-air jadi penggalan sejarah yang penting bagi terbentuknya seorang Dylan. Ia bertumbuh-kembang di desa Hibbing, Minnesota bagian utara, AS, yang punya kekayaan alam melimpah, terutama tambang metal. Potensi alam tersebut jadi daya tarik para penduduk Eropa untuk bermigrasi. Bob Spitz dalam Bob Dylan: A Biography(2014), mengisahkan pada transisi menuju abad-20, terdapat 43 kewarganegaraan yang tinggal di sana dan sebagian besar populasinya bekerja menambang metal, disusul oleh berbisnis di Blind Pig Saloon(bisnis alkohol berkedok salon untuk kelas-bawah), dan pengrajin. Arus migran tersebut menghadirkan keberagaman budaya dan agama di waktu bersamaan. Ini berbanding lurus dengan menegangnya hubungan antara penduduk katolik sebagai agama mayoritas dan komunitas Yahudi yang bisa dihitung jari. Kondisi tersebut tidak banyak berubah saat Robert Allan Zimmerman atau Bobby atau Bob Dylan dilhairkan, 24 Mei 1941, sehingga Dylan menyaksikan situasi masyarakat yang plural dan punya potensi konflik. Walaupun begitu, Ia belum memahami betul realitas tersebut.
Ayah dan ibunya, Abe Zimmerman dan Beatty Stone, adalah pemeluk Yahudi dari komunitas misionaris yang taat. Buyut Bobby, Benjamin Harold, merupakan bagian dari generasi Yahudi pertama di Hibbing, seorang pandai besi asal Lithuania yang bermigrasi pada awal abad-20. Sejak generasi buyut sampai ibunya, tensi tinggi antar-agama meminimalisir hubungan sosial pemeluk Yahudi dengan penduduk non-Yahudi. Perhatian mereka terfokuskan pada masalah dapur dan anak-anaknya. Ibunya sibuk bekerja di toko, sementara ayahnya sibuk sebagai teknisi. Sepanjang pekan, ia selalu langsung pulang ke rumahnya di sebuah kawasan suburban, untuk asyik dengan radio, menulis puisi, bermain piano, dan melukis. Sekali waktu, ia membeli tiket kereta seorang diri dengan tujuan entah kemana. Dengan waktu luangnya yang dihabiskan sendirian hampir tiap waktu, Ia terbiasa memikirkan hal-hal yang imajinatif, melampaui kenyataan yang ada di sekitarnya. Suatu karakter yang terus berkembang hingga Ia berkarir menciptakan kritik-kritik yang puitis, lirik-lirik yang seperti jatuh dari surga.
Tumbuhnya Kritisisme
Pada umur empat belas, ia mulai berlangganan rekaman musik rock dan blues. Anggapan katolik puritan Hibbing waku itu, musik rock datang dari setan dan mendengarnya justru mendegradasi moral. Bobby punya alasan mengapa ia terus menyetel keras-keras No-Name Jive, program radio KWKH yang memutar lagu jungle/rock, bahwa ia hendak mengatakan: fuck y*u. Beberapa tahun setelahnya, dia membentuk band tanpa nama bersama pemuda Hibbing lainnya, membawakan musik Rock-Blues.
Hasrat kritisnya baru terbentuk saat ia berkuliah di University of Minnesota pada 1959, bersamaan dengan bergantinya genre musiknya dari rock menjadi folk(Bob Spitz: 2014). Waktu itu, Bobby tergabung bersama mahasiswa lainnya dalam komunitas Dinkytown, suatu daerah seperti Jatinangor, Sumedang ataupun Dipatiukur, Bandung yang menjadi sentra dagang karena kehadiran mahasiswa. Di sana, para mahasiswa menganut jalan hidup hipe, suatu bentuk perlawanan perseptual terhadap norma-norma kelas menengah beserta American Dream-nya. Komunitas ini saat itu juga akrab dengan wacana Sosialisme, Kiri Baru, Perang Teluk Babi, dan HAM.
Kebetulan, cara terfavorit mereka, termasuk Bobby, untuk mewujudkan eksistensi idealisme ini adalah bermusik di kafe, taman, dan pub. Sejak saat itu, Bobby tekun dalam mengembangkan musik folk-nya yang profetik , juga dipengaruhi Joan Baez dan Aaron Coppland. suatu bekal pentingnya untuk meluaskan narasi kedamaian di sepanjang 32 album dan single-single-nya, dan, tentunya, meraih nobel.
Belajar Kosmopolis dari Karya Dylan
Dylan menghadirkan sautu liturgi yang punya jangkauan lebih luas dari yang hari-hari ini biasa ditampilkan umat beragama dalam masyarakat kosmopolis(berlatarbelakang beragam). Ini terdapat pada lirik-liriknya yang merangkul segala identitas agama, budaya dan politik, untuk disatukan menjadi civil society(Mitchell: 2006).Ia merangkum kewarasan sikap masyarakat kosmopolis layaknya para nabi. Ini meneguhkan penghargaan nobel baginya, bahwa jika memahami literatur tertulis tentang peradaban memang sulit, orang-orang banyak cukup mendengarkan musik-musik Dylan untuk memahami pluralisme beserta urgensinya. Sudah banyak usaha dari banyak orang untuk membuktikan, bahwa lirik-liriknya punya kemagisan seperti syair-syair Rumi dan Hafez, bahkan ayat-ayat bibel dan al-quran. Dalam The-Times They Are a-Changin(1963), Bobby melagukan:
If your time to you
Is worth savin’
Then you better start swimmin’
Or you’ll sink like a stone
For the times they are a-changin’.
Barisan larik tersebut berpesan bahwa situasi yang membahayakan perlu diatasi, dengan berenang menyelamatkan diri. Bahwa dunia kini rusak hingga orang-orang perlu keluar dari kerusakannya. Intoleransi, sentimen, dan esklusivitas sempit menjadi kerusakan itu sendiri, seperti yang ditunjukan Global Piece Index 2018. Maka, orang-orang selayaknya menyelamatkan diri dari petaka tersebut. Pluralisme, adalah suatu yang ditawarkannya karena Ia berseru pada siapapun yang sadar(come gather round people..), bahwa pertikaian antar-identitas akan membahayakan peradaban, mesti bersatu:
Come gather ’round people
Wherever you roam
And admit that the waters
Around you have grown
And accept it that soon
You’ll be drenched to the bone
Optimismenya untuk keluar dari permasalahan ini, mirip dengan bibel dan serupa dengan qur’an. Tidak cukup dengan berharap, ia melagukan cara-cara konkrit untuk mencapainya. Bukan dengan senjata ataupun konsesi politik, melainkan dengan pena. Ya, pena!
Come writers and critics
Who prophesize with your pen
And keep your eyes wide
The chance won’t come again
And don’t speak too soon
For the wheel’s still in spin…….
And the first one now
Will later be last..
Keyakinan bahwa status quo yang memperkeruh pertikaian dan masyarakat yang terfragmentasi akan berganti, memberikan pelajaran serupa seperti yang diberikan St. Mark 31: ‘But many that are first shall be last; and the last first’. Itu artinya, masyarakat yang saling memedulikan satu sama lain, hendak dituju. Cara menggunakan pena yang didendangkan Dylan untuk mewujudkannya pun senada dengan firman dalam Al-Quran(16:90): ‘Allah orders justice and good conduct and giving to relatives and forbids immorality and bad conduct and oppression’
Begitupun dengan karya-karya anti-perangnya seperti Masters of War(1963), Hard Rains Gonna Fall(1963), dan Blowing in The Wind(1961), memuat semangat perdamaian Martin Luther, Rabbi Heschel, Gandhi, dan Malcolm X. Ia menyindir tindakan AS yang rajin melancarkan agresi dengan alasan perbedaan corak pemerintahan, seperti pada Perang Vietnam, Irak dan Afghanistan, Nikaragua, dan Republik Dominika. Dalam With God on Our Side, Bobby menyindir orang-orang AS yang menjustifikasi bahwa peperangan tersebut mesti dihadapi karena tuhan bersama kita, maka ini(perang) adalah pahala.
Melihat hasil kerja seorang anak Yahudi yang taat ini, setidaknya bisa dipetik pelajaran bahwa perdamaian bisa diwujudkan dengan berbagai macam cara. Termasuk dengan bermusik. Di samping itu, pelajaran terpenting dan terutama untuk saat ini yang mesti diamalkan adalah, bahwa bersama-sama kita mesti sadar bahwa situasi yang membahayakan adalah ketika perbedaan digunakan untuk perpecahan.
Oleh: Muli
Departemen Kajian dan Aksi Strategis
Bidang Sosial dan Masyarakat
BEM Bima Fikom Unpad
Kabinet Archipelago
2018