[PRESS RELEASE] DISKUSI FIKOM: “REZIM CITRA DI MUSIM POLITIK”
Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM Fikom Unpad mengadakan diskusi Fikom perdananya dengan tajuk “Rezim Citra di Musim Politik” pada Selasa, 26 Maret 2019. Diskusi dimulai pada pukul 16.30 di Saung Selasar Fikom Unpad dengan Wakil Kepala Departemen Kastrat, Raihan M. Iksan, sebagai pemantiknya.
Diskusi Fikom sendiri merupakan bagian dari program kerja Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM Fikom Unpad yang berfokus kepada pembahasan terkait isu-isu terkini dengan menggunakan perspektif ilmu komunikasi sebagai dasarnya. Selain untuk mencerdaskan mahasiswa Fikom, pelaksanaan diskusi ini juga bertujuan untuk mengaktivasi ruang publik yang ada di lingkungan fakultas. Oleh karena itu, pemilihan Saung Selasar Fikom Unpad sebagai tempat pelaksanaan diskusi bukan dilakukan tanpa alasan.
Diskusi dimulai dengan pemaparan mengenai “musim politik” yang tengah melanda masyarakat oleh Raihan, juga Yuvi selaku Kepala Departemen Kastrat yang hadir sebagai peserta diskusi. Menjelang Pemilu 2019 pada April mendatang, seluruh peserta diskusi setuju bahwa pergolakan citra para aktor politik dianggap semakin menjadi. Namun ternyata, fenomena citra pada musim politik kali ini memiliki keterkaitan dengan tiga teori komunikasi yaitu society of spectacle, agenda setting, dan spiral of silence.
Society of spectacle merupakan istilah yang digunakan oleh seorang filsuf bernama Guy Debord dalam salah satu karya tulisnya pada masa revolusi Perancis. Society of spectacle atau disebut pula “masyarakat tontonan” dalam bahasa Indonesia, menganggap bahwa relasi sosial dibentuk oleh sebuah citra. Keadaan ini dapat diperparah dengan kehadiran media massa serta media sosial, yang juga sering dikatakan sebagai alat pembentuk citra.
Terkait hal ini, salah satu peserta diskusi, Alvin, memberikan tanggapan bahwa citra tidak selalu dibentuk sepenuhnya oleh itu media sendiri, melainkan juga oleh aktor politik yang bersangkutan.
“Berdasarkan apa yang aku pelajarin, semua yang dilakukan aktor politik itu merupakan bentuk citra. Sehingga, citra juga terkadang tidak sepenuhnya dibangun oleh media, namun juga oleh aktor politiknya itu sendiri,” ujar Alvin.
Yuvi pun ikut menambahkan, bahwa baik buruknya sebuah citra yang dipertontonkan seseorang melalui sebuah media tidak dapat dipandang secara moralis. Baik buruknya sebuah citra yang dipertontonkan kepada masyarakat pastinya dipengaruhi oleh kondisi sosial yang juga tengah terjadi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa masyarakat juga sesungguhnya memiliki andil dalam pembentukan citra dari seorang aktor politik.
Sehubungan dengan musim politik kali ini, citra sebagai mediator dalam relasi sosial kerap memicu tumbuhnya sikap naif dalam diri sejumlah pemilih. Yuvi kembali mengatakan, bahwa pendalaman terkait society of spectacle dengan diskusi semacam ini perlu dilakukan agar masyarakat tidak menjadi seorang pemilih yang fatalis, melainkan sadar betur bahwa tiap-tiap aktor politik pasti bertindak demi citra yang hendak dibangun.
Pembahasan selanjutnya merupakan kajian terhadap fenomene-fenomena menjelang Pemilu 2019 yang dapat dikaitan dengan teori agenda setting. Agenda setting merupakan teori yang mengemukakan bahwa media massa memiliki kekuatan untuk memengaruhi atau bahkan membentuk pola pikir dari audiens yang terkena paparan informasinya.
Raihan menyetujui bahwa selama ini media memang memiliki kekuatan untuk menentukan apa yang penting dibicarakan oleh publik dan apa yang tidak. Dalam politik, media pun juga sering kali hanya menggembor-gemborkan isu yang sesuai dengan kepentingan mereka saja. Hal ini jelas bukan sesuatu yang mengherankan, mengingat sebagian besar pemilik media massa juga merupakan pemangku kepentingan tertinggi dari partai politik. Oleh karena itu, informasi yang diberitakan media massa belakangan ini sering kali tidak lepas dari kepentingan para pemilik media yang juga berperan sebagai aktor politik.
Para peserta diskusi pun turut menyebutkan sejumlah contoh isu yang tertutup akibat agenda setting seperti isu agraria dan isu pelanggaran HAM 1998. Isu-isu ini tertutup akibat media kerap memberikan “panggung” terhadap isu-isu lainnya yang cenderung berulang seperti isu keagamaan dan kondisi ekonomi nasional.
Teori terakhir yang dipaparkan dalam diskusi adalah spiral of silence. Dalam teori ini, terdapat kondisi di mana opini kaum mayoritas menekan kondisi dari mereka yang merupakan minoritas. Pada musim politik yang sekarang tengah melanda, golput (golongan putih) menjadi kelompok minoritas yang opininya terbungkam oleh kelompok mayoritas. Namun, masih ada sejumlah media massa semi-arus utama yang masih tetap memberikan kesempatan bagi kelompok golongan putih untuk berpendapat. Metaruang, kolektiva, dan Nurhadi Aldo merupakan sebagian dari media massa yang membantu kelompok golongan putih untuk menyerukan opininya.
Sesungguhnya, golput sendiri hadir sebagai sebuah gerakan politik yang dipicu oleh kemuakan terhadap agen dan sistem yang telah ada. Sebagian besar masyarakat yang memilih untuk menjadi golput tidak percaya bahwa sejumlah agen mampu mengubah suatu sistem yang sudah ada secara total ke arah yang lebih baik. Kebijakan di Indonesia pun mengatakan bahwa jika 51 persen suara saat Pemilu merupakan suara golongan putih, Pemilu dapat diulang walaupun masih dengan pasangan calon yang sama sebagai pesertanya. Jika hal tersebut terjadi, golput pun dapat menjadi suatu gerakan yang berpengaruh karena mampu membuka kesempatan untuk mengubah suatu sistem Pemilu yang sudah ada. Oleh karena itu, sejumlah peserta diskusi cukup menyayangi terbungkamnya suara dari kelompok golongan putih ini.
Pada akhirnya, tokoh politik serta media yang turut berandil dalam mewarnai Pemilu 2019 dianggap sebagai kelompok yang terus membentuk citra populis. Populis sendiri dianggap sebagai “racun” yang berbahaya bagi demokrasi karena mereka berpotensi untuk membungkam suara minoritas, yang seharusnya juga diberikan kesembatan untuk berpendapat. Selain itu, risiko terjadinya misinformasi serta miskomunikasi antar para pemangku kepentingan politik, termasuk pula para pemilih, akan menjadi lebih besar. Oleh sebab itu, hasil diskusi menyimpulkan bahwa masyarakat harus diedukasi agar menjadi pemilih yang cerdas dan tidak hanya termakan oleh citra semata.
Penulis : Nayla Erzani
Editor : Yuviniar Ekawati