[PRESS RELEASE] DISKUSI UMUM : “POLEMIK DWIFUNGSI TNI”
Pada Selasa, 12 Maret 2019, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM Fikom Unpad mengadakan diskusi umum pertama dengan tema “Polemik Dwifungsi TNI”. Diskusi ini dimulai pada pukul 16.30 di Gedung 2 Fikom Unpad dengan Ketua Umum Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat (LPPMD) Unpad, Muhammad Fakhri, sebagai pemantik
Diskusi ini diawali dengan pemaparan Fakhri mengenai asal-usul adanya militer hingga awal mula desas-desus dwi ungsi ABRI pada masa lampau. Pada awalnya, militer ada karena negara memerlukannya untuk menjaga “kedaulatan”. Oleh karena itu, militer dan negara tidak dapat dipisahkan terlepas dari apa pun bentuk pemerintahan suatu negara. Yang membedakan adalah penempatan militer itu sendiri. Menariknya di Indonesia, militer terbentuk bukan secara formal, melainkan secara revolusioner untuk melawan penjajahan. Contohnya, pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKN) pada masa penjajahan. Inilah yang menjadi cikal bakal militer Indonesia.
Pada masa Sukarno, militer Indonesia sudah mulai masuk dalam pemerintahan. Ini digagas oleh Jendral AH Nasution. Nasution menyatakan militer Indonesia menganut paham jalan tengah, bukan merujuk pada militer Amerika Latin maupun Eropa. Sampai pada akhir masa pemerintahan Sukarno terjadi konflik internal antara angkatan darat dan PKI yang juga dipicu oleh ketidakstabilan negara. Akhirnya, militer menunjukkan kuasanya dengan kasus penyerangan tahun 1965. Akhirnya, Suharto pun naik menjabat sebagai presiden.
Militer semakin menjadi-jadi pada masa pemerintahan Suharto yang juga berlatarbelakang militer dan dibantu untuk naik sebagai presiden oleh kekuatan militer. Suharto tidak hanya membangun militer, dia juga membangun struktur bahasa dan sosial serta kurikulum pendidikan. Tetapi tidak dapat dipungkiri, kekuasaan militer memang semakin menjadi-jadi. Seperti pemilihan menteri-menteri, bisnis militer, dan adanya komando militer yang pada awalnya dibentuk untuk melawan kolonial. Ini juga menjadi bukti bahwa militer berada di tengah-tengah kita sampai saat ini.
Pada akhir masa kekuasaannya, Suharto dituntut dengan tuntutan reformasi yaitu penghentian dwifungsi ABRI, memisahkan Polri dan ABRI, serta jabatan yang ada dijabat sesuai dengan yang seharusnya. Namun, hal ini tidak serta-merta hilang karena setelah Suharto turun, kekuasaan diorganisir oleh militer. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yang sudah mereka miliki tidak langsung hilang begitu saja. Muncullah kontrak politik mengenai pembatasan kekuasaan militer. Baru pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gusdur) ada upaya menjauhkan militer dari pemerintahan. Hal ini membuat sebagian pihak tidak puas pada pemerintahan Gusdur sehingga ia mudah dilengserkan karena tidak memiliki dukungan politik.
Setelah sekian lama, isu dwifungsi ini kembali muncul akhir-akhir ini lewat usulan Jendral TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Selanjutnya, diskusi dibuka oleh Yuviniar Ekawati, moderator sekaligus Kepala Departemen Kastrat yang menyampaikan pentingnya memahami latar belakang adanya dwifungsi TNI. Hal ini menjadi penting mengingat akses masyarakat terhadap informasi ini dibatasi oleh TNI lewat represi seperti penyitaan buku. Yuvi juga menyampaikan tentang besarnya kekuatan yang dimiliki aparatus represif negara, yaitu militer, untuk merepresi masyarakat. Hal ini terlihat, salah satunya, pada penggunaan kata “aman”. Kata “aman” ketika keluar dari mulut militer sudah tak lagi mengandung makna yang sebenarnya. Kata “aman” dari mulut militer berubah makna menjadi teror, ketakutan, represi, tidak bebas, dan lain-lain.
Reftika, salah satu peserta diskusi, menanyakan pendapat peserta diskusi mengenai klaim dari militer, bahwa dwifungsi dilakukan untuk menempatkan dan memperjelas status para panglima menengah dalam lembaga, di mana lembaga adalah salah satu tempat pertahanan negara. Fakhri menanggapi, hal ini sejalan dengan wacana Reformasi TNI yang memiliki wacana restrukturasi TNI. Meskipun, wacana itu sudah jauh lebih lama digadangkan sebelum wacana itu, bahwa pemisahan sipil dan militer itu penting untuk menjaga iklim demokrasi yang sehat, seperti jabatan di pemerintahan seharusnya dijabat oleh sipil. Namun faktanya, dalam institusi militer sendiri seharusnya juga diisi oleh sipil berdasarkan reformasi TNI secara konseptual.
Fakhri melanjutkan, hal ini berhubungan dengan supremasi sipil. Demokrasi menyatakan ruang publik dibutuhkan. Setiap orang berhak berpendapat, beropini, berekspresi, dan negara memiliki kewajiban untuk menjamin ruang demokrasi ini. Namun, hal ini bertentangan dengan logika militer yang mengikuti komando pemimpin. Militer sendiri memang butuh keteraturan dan bersifat masif. Hal ini tidak sepadan dengan sipil, sehingga dibutuhkan pemisahan antara sipil dan militer meski pemisahan saja tidak cukup. Di sinilah dibutuhkan supremasi sipil, di mana yang mengontrol urusan militer adalah sipil, karena sipil yang dapat mengatur arah demokrasi negara kita. Ketika supremasi sipil tanpa militer yang mendukungnya, menjadikan Indonesia seperti sekarang.
Reftika kembali menanggapi dengan menyatakan bahwa kekuasaan militer yang mendominasi mungkin dapat mulai dilihat dengan adanya penyitaan berbagai buku. Banyak pula pengguna sosial yang berpendapat orang-orang militer mengerti politik, maka mereka seharusnya mengisi pemerintahan. Reftika pun bertanya apakah hal ini strategi untuk kembali memunculkan dominasi dari militer?
Raihan, peserta diskusi lainnya, turut menanggapi pendapat Reftika dengan menambahkan pernyataan dari Luhut tentang adanya 500 panglima TNI yang menganggur. Hal ini diklarifikasi bukan sebagai dwifungsi melainkan turut menyatakan sebuah strategi bahwa TNI yang lebih mengerti terkait politik dan sistem pertahanan negara. Tetapi, ketika kita melihat kasus penangkapan Robertus Robet dan penyitaan berbagai buku justru menyatakan sebaliknya. Raihan pun sepakat dengan Reftika, bahwa pernyataan Luhut hanya omong kosong melihat praktik yang terjadi. Reftika menambahkan penyitaan buku-buku ini membuat kita semakin menjadi ahistoris. Yuvi menjelaskan ketimpangan kekuasaan antara militer dan sipil akan berujung pada ruang publik yang bukan milik publik.
Mengingat tugas militer adalah menjaga kedaulatan, Novandy, salah seorang peserta bertanya apa itu kedaulatan. Sedangkan Raihan, kembali membahas pernyataan Luhut mengenai 500 panglima TNI yang menganggur, melontarkan pertanyaan apakah sebenarnya ada banyak sumber daya TNI yang tidak dibutuhkan dan apakah penyelenggaraan TNI itu masih relevan. Peserta lainnya, Agra, menyatakan TNI memang tidak terlalu dibutuhkan ketika negara dalam damai. Ia menambahkan yang perlu dibenahi adalah efektifitas sumber daya TNI sehingga tidak ada sumber daya yang terbuang.
Menjawab pertanyaan Novandy, Fakhri mengatakan kedaulatan itu konsepnya abstrak tetapi memiliki manifestasi yang jelas. Misalnya, kebijakan anti imigran, brexit, juga slogan anti asing yang sengaja diproduksi. Fakhri menambahkan, militer bukan hanya mengurus pertahanan, tapi juga politik, bagaimana mendapatkan kekuasaan, teritori, dan lainnya. Oleh karenanya, negara tidak dapat dipisahkan dengan militer, karena militer yang menjaga teritori suatu negara. Reftika turut menyampaikan pendapatnya bahwa militer tetap banyak karena ada skema untuk mengembalikan dominasi militer dengan meningkatkan kuantitas mereka. Terlebih, masih banyak pemahaman bahwa seorang militer itu heroik.
Novandy kembali bertanya, siapa yang memproduksi berbagai wacana yang dinyatakan Fakhri sebelumnya dan untuk apa itu diproduksi? Menurut Agra, TNI berusaha mengingatkan bahwa ada upaya proxy war, tetapi apakah TNI memiliki kepentingan tersendiri atau justru TNI yang menciptakan proxy war ini? Yuvi pun menyatakan bahwa berbagai penempatan TNI untuk menjaga kedaulatan negara, seperti kemiskinan, masih mengambang dengan tujuan menjaga stabilitas. Stabilitas yang berusaha dijaga ini juga memunculkan pernyataan bahwa berbagai informasi itu muncul dari yang berkuasa, yaitu oligarki, negara, dan TNI.
Dari diskusi ini, jika dwifungsi TNI diberlakukan maka akan terjadi ketimpangan relasi kuasa karena ada akumulasi kekuasaan terjadi saat militer masuk ke dalam instituasi pemerintahan sipil. Dengan itu Departemen Kastrat BEM Fikom Unpad dan LPPMD Unpad menyatakan sikap, yaitu menolak dwifungsi TNI. Sebuah keniscayaan bahwa Dwifungsi TNI dapat membungkam demokrasi di negara kita.
Penulis : Natali Maura Nursi
Editor : Ananda Putri Upi M