[PRESS RELEASE] DISKUSI UMUM: “PEMBUBARAN PERS MAHASISWA USU: APA YANG SEBENARNYA TERJADI?”

Pada hari Kamis, 11 April 2019, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM Fikom Unpad mengadakan Diskusi Umum dengan tajuk “Pembubaran Pers Mahasiswa USU: Apa yang Sebenarnya Terjadi?” yang dilaksanakan di Student Center Fikom Unpad. Diskusi dimulai pada pukul 16.00 WIB dengan Salsabila Putri Pertiwi, Staff Editorial PadGHRS (Padjadjaran Research Center of Human Rights and Gender Studies), selaku pemantik, dan Staff Departemen Kastrat,  Ananda Putri Upi Mawardi, sebagai moderator diskusi. Diskusi ini bertujuan untuk membahas kasus pembubaran pers mahasiswa SUARA Universitas Sumatera Utara (USU) yang terjadi akibat kesalahpahaman akan pemuatan sebuah cerpen yang menyinggung kasus diskriminasi terhadap LGBT-Q.

 

Diskusi diawali dengan pembukaan dari Ananda, selaku moderator, dengan memperkenalkan Salsa sebagai pemantik yang memang memiliki latar belakang jurnalistik serta tertarik dengan isu gender dan hak asasi manusia. Barulah setelahnya dilanjutkan dengan pemaparan pembuka oleh Salsa.

 

Salsa memulai diskusi dengan memaparkan awal mula dari kasus pembubaran tersebut. Dalam periode 2014 – 2016, memang telah terdapat sekitar empat kasus yang melibatkan pembredelan pers mahasiswa. Kasus Persma “Lentera” merupakan yang paling heboh, karena memuat tulisan mengenai tragedi 1965 yang erat kaitannya dengan komunisme. Kasus tersebut dianggap yang paling menggemparkan karena polisi pun ikut turun tangan guna menyelidiki kasus tersebut. Kasus pembubaran pers milik USU merupakan yang terbaru. Pemuatan cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” memicu rasa tidak suka dari pihak kampus karena mengandung unsur yang dianggap vulgar serta memuat sudut pandang yang melibatkan LGBT-Q.

 

Cerpen yang diterbitkan oleh Persma USU tersebut dianggap vulgar karena mengandung kata-kata seperti rahim, penis, dan sperma. Padahal, Salsa dan salah satu peserta diskusi lainnya, Reftika, sama-sama menganggap bahwa kosa kata tersebut mengarah kepada pemaknaan biologis, bukan pornografis. Pemahaman vulgar atau tidaknya kata-kata tersebut dirasa bergantung dengan nilai dan moral yang dianut oleh seseorang.  Poin utama dari cerpen tersebut juga bukanlah sekadar kisah perjalanan cinta seorang perempuan lesbian, melainkan juga tentang bagaimana masyarakat mempresekusi dirinya karena merupakan seorang lesbian. Hal ini juga disetujui oleh salah seorang peserta diskusi lainnya, Dikdik, yang mengatakan bahwa hal yang dilakukan oleh penulis hanyalah mencoba “merasuk” ke dalam tokoh, yang mana ialah seorang perempuan lesbian, dan bukan berrmaksud untuk membuat cerita erotis. Hal tersebut pun juga dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam penulisan sastra.

 

Pembredelan, pencabutan SK, dan pemberhentian dana yang dilakukan dengan alasan semacam kasus ini pun seharusnya dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi pers. Belum lagi, konon, Persma USU saat ini tengah digantikan oleh pers baru yang lebih memihak kepada kampus. Salsa merasa ada kejanggalan di sini, yang mana seharusnya fungsi pers mahasiswa bukan lah sebagai ajang bagi kampus untuk mempertontonkan citra baiknya kepada masyarakat.

 

“Seharusnya, hal ini gak boleh dilakukan. Karena kalau begitu untuk apa ada CSR, Humas, dan sebagainya? Fungsi pers kan bukan untuk baik-baikin nama kampus. Jelas terkesan ada relasi kuasa di sini,” ujar Salsa.

 

Ancaman pencabutan dana mungkin menjadi salah satu alasan utama mengapa pihak universitas sering kali berani menekan pers mahasiswa ketika mereka memberitakan sesuatu yang tidak baik mengenai kampus. Patut diakui, bahwa kelemahan terbesar pers mahasiswa memang berpusar pada masalah pendanaan dan ketiadaan badan hukum yang tetap juga mampu menguatkan hak-hak dari pers mahasiswa itu sendiri.

 

Ananda menambahkan bahwa memang pers mahasiswa itu tidak dilindungi oleh siapapun, termasuk dewan pers, mengingat mereka bukan pers profesional melainkan hanya pers internal kampus. Oleh karena itu, jika hal seperti pembredelan terjadi, persma seharusnya dapat melapor kepada rektorat pendidikan tinggi. Terkait hal ini, pada 2017, Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) pun mengeluarkan pernyataan bahwa mereka siap membantu proses advokasi terhadap kasus-kasus yang melibatkan pers mahasiswa.

 

Isu SOGIE-SC yang diangkat juga merupakan faktor utama yang mengakibatkan pembredelan persma ini terjadi sehingga ada baiknya harus diperhatikan. Isu tersebut memang masih dianggap tabu di kalangan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan kritis sangat penting untuk dilakukan, utamanya terhadap karya sastra dan isu-isu yang mewakili kaum marginal. Seharusnya, tindakan represif tidak dilakukan oleh mereka yang memiliki relasi kuasa hanya karena sebuah lembaga atau organisasi mengangkat isu-isu marginal yang masih dianggap tabu. Universitas, sebagai institusi yang selalu menekankan bahwa mahasiswanya harus mampu bersifat kritis, juga seharusnya mampu memberikan wadah untuk mengkaji suatu praktik diskursus, bukan malah membatasi kebebasan berpendapat. Tetapi sayangnya, hingga saat ini, isu-isu terkait minoritas dan hal-hal tabu semacam SOGIE-SC dan LGBT-Q masih dibungkam dan tidak memiliki kesempatan untuk diperhatikan. Kalaupun ada pihak yang mengangkat isu tersebut seperti Pers Mahasiswa SUARA USU, keberanian mereka menyuarakan hak asasi manusia bagi kaum marginal malah dibalas dengan presekusi.

 

“Mahasiswa tanpa pers dan kritik, itu mahasiswa atau mesin?” – Farhan Muhammad, Peserta Diskusi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran

 

 

 

Penulis : Nayla Erzani

Editor : Yuviniar Ekawati