Posts

Rilis Bedah Film:

Mengulik Gender dalam Sebuah Pro dan Kontra di Indonesia

Isu gender merupakan isu yang semakin gencar diperbincangkan belakangan ini. Realita sosial yang hakikatnya dirasa tidak memberikan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, akhirnya banyak menciptakan dobrakan pro dan kontra. Diantaranya seperti pakem yang mengharuskan perempuan mengerjakan urusan domestik dan laki-laki seharusnya menafkahi keluarga. Namun tentu, selain itu pun masih banyak isu-isu gender yang sangat polemik, kompleks, dan bersifat tabu di Indonesia. Oleh karena itu pada  25 September 2021, departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Fikom Universitas Padjadjaran mengadakan  Bedah Film bersama Kementerian Kajian Cinematography Club Fikom Unpad, sebuah acara annual yang membahas dan membedah film-film dengan isu tertentu. Kali ini Kastrat BEM Fikom Unpad mengkaji film berjudul “Jemari yang Menari di atas Luka Luka”, sebuah film yang berhasil meraih Piala Citra 2020 untuk kategori Film Cerita Pendek Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2020. Film ini mengangkat tema gender yang polemik dengan cara unik. 

Bedah Film akan diawali dengan pembukaan oleh moderator, Ainun Nabila. Kemudian kita pun diberi sambutan hangat oleh Wakil Ketua BEM Fikom Unpad, Friansyah N. Hakim. Selanjutnya, pada awal acara sekitar 70 peserta langsung disuguhkan dengan pemutaran film “Jemari yang Menari di atas Luka Luka”. Secara singkat, film ini bercerita tentang seorang perias jenazah yang hadir di tengah duka seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya yang berbeda secara “gender”. Dalam film tersebut kita dapat melihat bagaimana konflik dan kesedihan yang terjadi ketika jenazah harus didandani secara “berbeda”. Silent movie dan tone greyish yang dibawa dalam film ini, membuat penonton dapat merasakan perjuangan gender yang harus dihadapi oleh jenazah selama masa hidupnya.

Setelah film selesai, acara kemudian masuk ke sesi pembicara satu yang dibawakan oleh Putri Sarah Amelia atau Pupu selaku sutradara film. Pupu mengatakan bahwa film Jemari yang Menari di atas Luka Luka merupakan inisiasi dari 3 dosen salah satu universitas di Jakarta. Lewat film ini, Pupu menjelaskan bahwa dirinya ingin mewakilkan suara para kaum transgender yang notabene merupakan minoritas di Indonesia. Pupu merasa film pendek merupakan media yang tepat dalam menyuarakan hal tersebut, namun tantangan justru datang ketika ia harus mencari cast dan crew yang tepat dalam film tersebut, karena para pemeran dan kru harus bersifat terbuka terhadap isu “sensitif” ini. Pencarian tersebut menghabiskan waktu yang cukup lama, hal ini dikarenakan Pupu tidak ingin timnya memiliki nilai yang bertentangan dengan cerita yang diangkat dalam film ini.


Setelah mba Pupu, sesi pun masuk ke pembicara dua yang dibawakan oleh Dr. Budiawati Supangkat, MA. selaku Dosen Studi Gender dan Seksualitas di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran. Pada kesempatan tersebut, Bu Wati banyak membahas mengenai kondisi yang berlaku mengenai gender dan seksualitas Indonesia. Gender merupakan isu yang tidak pernah berhenti hingga sekarang dan seterusnya, karena selama manusia hidup gender pasti akan terus berjalan. Dalam penjelasan Bu Wati mengatakan bahwa gender merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan melalui konstruksi sosial, gender sangat erat kaitanya dengan kultur yang ada pada laki-laki dan perempuan. Namun gender berbeda dengan seks, seks sendiri merupakan istilah untuk pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan bersifat “given”, melekat pada jenis kelamin tertentu. Untuk meng-emphasize semua itu, bu Wati kemudian memberikan audiens gambar gender tree yang kembali menjelaskan bahwa gender merupakan hasil dari kebudayaan yang diajarkan melalui interaksi sosial. gender is made, bersifat dinamis dan dapat diubah. Sementara sex merupakan bagian biologis yang sifatnya mutlak, pemberian tuhan. Pada hakikatnya seks tidak dapat diubah, kecuali dengan adanya perkembangan teknologi seperti sekarang.

Selanjutnya, acara kemudian masuk ke sesi pembicara 3 yang diisi oleh Rebeca Amelia selaku Analis Layanan Informasi & Kesadaran Publik di Komnas HAM RI. Pada sesi awal Rebeca langsung memperkenalkan istilah yang tidak cukup umum dalam lingkup gender, yaitu SOGIE singkatan dari sex, orientation, gender identity, dan expression gender. Rebeca mengatakan penting untuk kita mengenal SOGIE untuk memahami kompleksitas isu gender. Seperti yang kita tahu sex merupakan hal yang bersifat kodrat, seperti penis, buah zakar, dan sperma. Rebeca menjelaskan selain ketiga itu, manusia terlahir juga dengan kromosom, XY untuk laki-laki dan XX untuk perempuan. Namun dibalik itu semua, ada pula manusia yang terlahir dengan kromosom berbeda yang menjadikan ia berbeda. Rebeca mengatakan hal ini penting kita pahami karena pada dasarnya beberapa manusia “berbeda” bukan karena keputusannya, namun karena memang terlahir seperti itu. Satu hal yang menjadi poin highlight Rebeca ialah, seks dapat berubah di meja operasi namun tidak dengan fungsinya. Sementara berbeda dengan gender yang begitu dinamis, gender tercipta dari adanya budaya, agama, teknologi, konstruksi masyarakat, dan lain-lain. Pada umumnya bagi laki-laki, gendernya harus bersifat gagah, kuat, pencari nafkah, dan sebagainya. Sementara bagi perempuan, mereka haruslah seseorang yang mengerjakan urusan domestik, feminin, lemah, emosional, cantik, dan sebagainya. Padahal itu semua bisa dipertukarkan. Selanjutnya Rebecca menjelaskan bahwa masing-masing manusia sebenarnya memiliki orientasi seksual yang bermacam, diantaranya seperti heteroseksual, biseksual, homoseksual, dan panseksual. Lalu tak lupa, Rebecca juga menjelaskan mengenai identity gender yang terbagi atas laki-laki, perempuan, transgender, queer, dan non-binary. Selanjutnya Rebecca menjelaskan mengenai ketidaksetaraan gender mempengaruhi kualitas kehidupan sosial. Contohnya seperti marginalisasi, konstruksi sosial memandang bahwa wanita merupakan sosok yang irrasional, unstable, emosional dan semacamnya. Hal ini yang kemudian menjadikan wanita akan sulit untuk menempati posisi strategis dalam sebuah pekerjaan, yang mana kemudian ini berdampak pada kondisi ekonomi. Selain menjelaskan kondisi gender dan seks secara sosial, Rebecca pun membahasnya melalui sisi hukum. Berdasarkan prinsip universal, “semua orang di dunia memiliki hak yang sama, tidak dibedakan karena setiap manusia lahir dengan kemerdekaan dan martabat yang sama dalam hak”. Pada poin akhir, Rebecca menyampaikan bahwa sebenarnya di Indonesia telah ada pengakuan ragam gender yang berasal dari suku Bugis yang biasa dikenal dengan calabai, calalai, dan bissu.

Setelah sesi pembicara selesai, agenda kemudian masuk ke sesi diskusi. Pertanyaan kemudian bermunculan, diantaranya ditujukan kepada Rebecca mengenai bagaimana cara kita menangani atau memberi pendekatan kepada seseorang mengenai banci atau bencong yang sering dianggap guyon. Rebecca kemudian menjawab bahwa sebenarnya banci merupakan sebuah profesi, berbeda dengan transgender yang memang merupakan lahir dari jati diri atau keinginan diri sendiri. Hal inilah yang kemudian perlu dipahami, bahwa sebutan banci/waria yang terkadang bersifat offensive itu berbeda dengan transgender. Tak luput, pada satu bagian Bu Budiawati kemudian menambahkan bahwa banyak dari transgender memilih berubah bukan hanya sekedar karena gaya hidup, melainkan banyak sekali persoalan-persoalan sosial yang harus mereka hadapi, dan tentunya banyak pula pertimbangan yang telah mereka ukur, jadi biarkanlah “transgender” menjadi urusan mereka masing-masing.

Intisari Sesi Diskusi Bedah Film “Jemari yang Menari di atas Luka Luka”:

  • Gender dan Seks merupakan dua hal yang berbeda
  • Gender lahir dari konstruksi sosial, bersifat dinamis dan dapat berubah sewaktu – waktu
  • Seks merupakan hal yang kodrat, biologis, dan tidak dapat diubah. Sekalinya dirubah di atas meja operasi, tidak akan bisa mengubah fungsinya.
  • Pemahaman mengenai SOGIE (sexual, orientation, gender identity, dan expression gender) diperlukan untuk lebih memahami gender.
  • Ketidaksetaraan gender telah banyak membawa dampak negatif, diantaranya seperti marginalisasi, double burden, subordinasi, dan violence.