Posts

Konflik Manusia dengan Satwa Liar

Oleh: Bagas

Pertumbuhan penduduk yang pesat serta peningkatan kebutuhan yang tinggi menyebabkan peningkatan permintaan terhadap sumber daya alam meningkat drastis. Eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap sumber daya alam menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, pembabatan habitat satwa liar, hingga perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal. Hal ini menciptakan ruang konflik bagi manusia dengan satwa liar.

Di Indonesia sendiri, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan masih terus terjadi. Eksploitasi yang dilakukan menyebabkan hutan menjadi gundul sehingga rentan terjadi bencana alam, seperti kebakaran hutan, banjir bandang, dan tanah longsor. Dampaknya, satwa liar kehilangan tempat untuk berlindung serta kesulitan dalam mencari makanan untuk bertahan hidup. Karena kondisi habitat alaminya yang sudah dieksploitasi, mereka mencari makanan di area sekitar hutan atau mereka akan masuk ke daerah pemukiman yang berada di sekitar hutan. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat dengan munculnya satwa-satwa liar di daerah pemukiman warga. Kekhawatiran tersebut disebabkan karena ketakutan masyarakat bahwa satwa liar akan melukai mereka dan juga kerusakan lahan pertanian dan perkebunan oleh satwa liar yang mencari makanan. 

Untuk mengantisipasi hal tersebut, banyak dari warga yang memasang jerat untuk mencegah masuknya satwa liar ke dalam pemukiman. Namun, pemasangan jerat justru membahayakan bagi manusia dan juga satwa liar. Pemasangan jerat listrik kerap menewaskan warga yang tidak sengaja menyentuhnya. Pemasangan jerat juga meningkatkan angka kematian satwa liar, terutama satwa yang dilindungi. Seperti pada kasus yang terjadi di Desa Tanjung Leban, Bandar Laksamana, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, Minggu, 17 Oktober 2021, seekor harimau sumatera ditemukan mati dalam keadaan terjebak jerat. Hal tersebut menambah rentetan kematian satwa yang dilindungi dan meningkatkan kemungkinan punahnya mamalia tersebut. 

Selain itu, nilai ekonomis yang tinggi dari satwa-satwa liar, baik secara utuh maupun bagian-bagian tubuhnya secara terpisah meningkatkan hasrat kerakusan manusia sehingga mereka melakukan perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal. Perdagangan satwa liar ilegal merupakan kejahatan terhadap satwa yang dilakukan secara terorganisir dengan baik dan memiliki jaringan yang luas, baik secara lokal maupun internasional. Bisnis ini memberikan keuntungan yang besar dengan resiko yang kecil. Dari Indonesia sendiri, bagian-bagian tubuh satwa liar yang permintaannya selalu tinggi adalah tulang dan kulit harimau, gading gajah, sisik dan daging trenggiling, dan paruh burung enggang gading.

Terjadinya perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: belum optimalnya penegakan hukum terhadap para pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar; kurangnya sosialisasi mengenai status perlindungan terhadap satwa liar dan informasi mengenai fungsi ekologi satwa liar terhadap masyarakat itu sendiri; kurangnya kesadaran serta pengetahuan masyarakat bahwa dengan membiarkan satwa liar di habitatnya agar dapat menjalani peran ekologinya supaya keseimbangan ekosistem dapat terjaga; dan tingkat keamanan yang rendah menyebabkan pemburu mudah memasuki hutan dan melakukan perburuan satwa liar.

Maka dari itu, perburuan dan perdagangan liar harus segera dihentikan. Pemerintah serta pihak yang berwajib harus segera membuat program untuk mencegah hal tersebut semakin meluas dan bertambah parah. Apabila perburuan dan perdagangan terus berlanjut, hal tersebut akan membuat keseimbangan ekosistem terganggu dan juga punahnya endemik khas Indonesia yang merupakan fauna kebanggaan Indonesia. Sudah sepatutnya manusia melindungi kawasan habitat satwa liar dan membiarkan mereka hidup bebas di alamnya sendiri.

Pro Kontra Diresmikannya Indonesia Menjadi Tuan Rumah Formula-E

Oleh: Alyssa Rasheedah Cahaya Bintang

ABB FIA Formula E World Championship atau yang biasa disebut Formula E merupakan ajang balap mobil listrik berkursi tunggal pertama di dunia. Formula E ini pertama kali dibentuk pada tahun 2011 oleh presiden FIA Jean Todt dan seorang pengusaha asal Spanyol, Alejandro Agag yang merupakan pendiri dan CEO dari Formula E Holdings. Dalam balapannya, Formula E diselenggarakan di jalanan pada 12 kota yang terbagi di lima benua. Dalam Kompetisi ini, terdiri dari 12 tim yang setiap tim nya beranggotakan dua pembalap. Formula E ini juga bisa dibilang sangat unik karena sirkuitnya berada di jalan raya tengah kota.

Ajang Kompetisi balap ini tentunya sebuah inovasi yang berdampak baik karena kompetisi ini juga sekaligus mempromosikan mobil listrik yang berdampak ramah lingkungan yaitu tidak menyebabkan polusi udara. Saat berlangsungnya balapan, dapat dipastikan bahwa dari mobil- mobilnya tidak membuat suara bising yang bisa mengganggu masyarakat sekitar. Suaranya hanya berkisar di angka 80 desibel yang mana suaranya hampir sama seperti sebuah suara yang diciptakan oleh vacuum cleaner.

Pada 2022 nanti, Indonesia dikabarkan akan menjadi tuan rumah ajang Formula E . Dengan Indonesia menjadi tuan rumah untuk ajang Formula E ini pastinya akan membuka kesempatan besar pada Indonesia supaya dikenal oleh dunia, dan masyarakat dunia bisa menyaksikan kemajuan Indonesia sehingga nantinya para turis maupun investor tidak ragu lagi untuk berkunjung ke Indonesia. Tentunya ini sejalan dengan tujuan bapak Presiden Joko Widodo yang memiliki rencana Indonesia akan menjadi pusat produksi mobil listrik dan baterai mobil di kemudian hari.

Tetapi, dari semua rencana dan keputusan tersebut, masih banyak yang tidak setuju dengan diputuskannya Indonesia menjadi tuan rumah Formula E 2022 nanti. Karena banyak yang beranggapan bahwa ditengah pandemi seperti sekarang ini lebih baik pemerintah mengurusi rakyatnya terlebih dahulu, dibanding mengurusi acara Formula E. Karena masih banyak yang beranggapan bahwa  pandemi ini merupakan masalah serius yang harus ditangani lebih dahulu, selain berdampak ke masalah kesehatan tapi juga berdampak pada perekonomian serta kesejahteraan masyarakat. Dengan diadakannya ajang balapan Formula E ini juga dikhawatirkan akan menambah penyebaran virus Covid-19.

Selain itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, Nirwono mengatakan bahwa ajang balapan Formula E ini tidak masuk ke dalam 23 janji dalam kampanye Gubernur Anies Baswedan. Ajang balap Formula E ini juga telah masuk ke dalam prioritas yang sebelumnya tidak ada dan telah ditetapkan ke dalam Instruksi Gubernur Nomor 49 Tahun 2021 tentang isu prioritas daerah. Hal ini dikhawatirkan akan lebih banyak yang harus dikerjakan oleh pemerintah dan mengganggu isu prioritas lainnya seperti beberapa isu soal potensi banjir dan prediksi bahwa Jakarta akan tenggelam. Menurutnya, isu- isu seperti itu yang harus didahulukan ketimbang menggelar sebuah ajang balapan seperti Formula E tersebut.

Rilis Bedah Film:

Mengulik Gender dalam Sebuah Pro dan Kontra di Indonesia

Isu gender merupakan isu yang semakin gencar diperbincangkan belakangan ini. Realita sosial yang hakikatnya dirasa tidak memberikan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, akhirnya banyak menciptakan dobrakan pro dan kontra. Diantaranya seperti pakem yang mengharuskan perempuan mengerjakan urusan domestik dan laki-laki seharusnya menafkahi keluarga. Namun tentu, selain itu pun masih banyak isu-isu gender yang sangat polemik, kompleks, dan bersifat tabu di Indonesia. Oleh karena itu pada  25 September 2021, departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Fikom Universitas Padjadjaran mengadakan  Bedah Film bersama Kementerian Kajian Cinematography Club Fikom Unpad, sebuah acara annual yang membahas dan membedah film-film dengan isu tertentu. Kali ini Kastrat BEM Fikom Unpad mengkaji film berjudul “Jemari yang Menari di atas Luka Luka”, sebuah film yang berhasil meraih Piala Citra 2020 untuk kategori Film Cerita Pendek Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2020. Film ini mengangkat tema gender yang polemik dengan cara unik. 

Bedah Film akan diawali dengan pembukaan oleh moderator, Ainun Nabila. Kemudian kita pun diberi sambutan hangat oleh Wakil Ketua BEM Fikom Unpad, Friansyah N. Hakim. Selanjutnya, pada awal acara sekitar 70 peserta langsung disuguhkan dengan pemutaran film “Jemari yang Menari di atas Luka Luka”. Secara singkat, film ini bercerita tentang seorang perias jenazah yang hadir di tengah duka seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya yang berbeda secara “gender”. Dalam film tersebut kita dapat melihat bagaimana konflik dan kesedihan yang terjadi ketika jenazah harus didandani secara “berbeda”. Silent movie dan tone greyish yang dibawa dalam film ini, membuat penonton dapat merasakan perjuangan gender yang harus dihadapi oleh jenazah selama masa hidupnya.

Setelah film selesai, acara kemudian masuk ke sesi pembicara satu yang dibawakan oleh Putri Sarah Amelia atau Pupu selaku sutradara film. Pupu mengatakan bahwa film Jemari yang Menari di atas Luka Luka merupakan inisiasi dari 3 dosen salah satu universitas di Jakarta. Lewat film ini, Pupu menjelaskan bahwa dirinya ingin mewakilkan suara para kaum transgender yang notabene merupakan minoritas di Indonesia. Pupu merasa film pendek merupakan media yang tepat dalam menyuarakan hal tersebut, namun tantangan justru datang ketika ia harus mencari cast dan crew yang tepat dalam film tersebut, karena para pemeran dan kru harus bersifat terbuka terhadap isu “sensitif” ini. Pencarian tersebut menghabiskan waktu yang cukup lama, hal ini dikarenakan Pupu tidak ingin timnya memiliki nilai yang bertentangan dengan cerita yang diangkat dalam film ini.


Setelah mba Pupu, sesi pun masuk ke pembicara dua yang dibawakan oleh Dr. Budiawati Supangkat, MA. selaku Dosen Studi Gender dan Seksualitas di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran. Pada kesempatan tersebut, Bu Wati banyak membahas mengenai kondisi yang berlaku mengenai gender dan seksualitas Indonesia. Gender merupakan isu yang tidak pernah berhenti hingga sekarang dan seterusnya, karena selama manusia hidup gender pasti akan terus berjalan. Dalam penjelasan Bu Wati mengatakan bahwa gender merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan melalui konstruksi sosial, gender sangat erat kaitanya dengan kultur yang ada pada laki-laki dan perempuan. Namun gender berbeda dengan seks, seks sendiri merupakan istilah untuk pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan bersifat “given”, melekat pada jenis kelamin tertentu. Untuk meng-emphasize semua itu, bu Wati kemudian memberikan audiens gambar gender tree yang kembali menjelaskan bahwa gender merupakan hasil dari kebudayaan yang diajarkan melalui interaksi sosial. gender is made, bersifat dinamis dan dapat diubah. Sementara sex merupakan bagian biologis yang sifatnya mutlak, pemberian tuhan. Pada hakikatnya seks tidak dapat diubah, kecuali dengan adanya perkembangan teknologi seperti sekarang.

Selanjutnya, acara kemudian masuk ke sesi pembicara 3 yang diisi oleh Rebeca Amelia selaku Analis Layanan Informasi & Kesadaran Publik di Komnas HAM RI. Pada sesi awal Rebeca langsung memperkenalkan istilah yang tidak cukup umum dalam lingkup gender, yaitu SOGIE singkatan dari sex, orientation, gender identity, dan expression gender. Rebeca mengatakan penting untuk kita mengenal SOGIE untuk memahami kompleksitas isu gender. Seperti yang kita tahu sex merupakan hal yang bersifat kodrat, seperti penis, buah zakar, dan sperma. Rebeca menjelaskan selain ketiga itu, manusia terlahir juga dengan kromosom, XY untuk laki-laki dan XX untuk perempuan. Namun dibalik itu semua, ada pula manusia yang terlahir dengan kromosom berbeda yang menjadikan ia berbeda. Rebeca mengatakan hal ini penting kita pahami karena pada dasarnya beberapa manusia “berbeda” bukan karena keputusannya, namun karena memang terlahir seperti itu. Satu hal yang menjadi poin highlight Rebeca ialah, seks dapat berubah di meja operasi namun tidak dengan fungsinya. Sementara berbeda dengan gender yang begitu dinamis, gender tercipta dari adanya budaya, agama, teknologi, konstruksi masyarakat, dan lain-lain. Pada umumnya bagi laki-laki, gendernya harus bersifat gagah, kuat, pencari nafkah, dan sebagainya. Sementara bagi perempuan, mereka haruslah seseorang yang mengerjakan urusan domestik, feminin, lemah, emosional, cantik, dan sebagainya. Padahal itu semua bisa dipertukarkan. Selanjutnya Rebecca menjelaskan bahwa masing-masing manusia sebenarnya memiliki orientasi seksual yang bermacam, diantaranya seperti heteroseksual, biseksual, homoseksual, dan panseksual. Lalu tak lupa, Rebecca juga menjelaskan mengenai identity gender yang terbagi atas laki-laki, perempuan, transgender, queer, dan non-binary. Selanjutnya Rebecca menjelaskan mengenai ketidaksetaraan gender mempengaruhi kualitas kehidupan sosial. Contohnya seperti marginalisasi, konstruksi sosial memandang bahwa wanita merupakan sosok yang irrasional, unstable, emosional dan semacamnya. Hal ini yang kemudian menjadikan wanita akan sulit untuk menempati posisi strategis dalam sebuah pekerjaan, yang mana kemudian ini berdampak pada kondisi ekonomi. Selain menjelaskan kondisi gender dan seks secara sosial, Rebecca pun membahasnya melalui sisi hukum. Berdasarkan prinsip universal, “semua orang di dunia memiliki hak yang sama, tidak dibedakan karena setiap manusia lahir dengan kemerdekaan dan martabat yang sama dalam hak”. Pada poin akhir, Rebecca menyampaikan bahwa sebenarnya di Indonesia telah ada pengakuan ragam gender yang berasal dari suku Bugis yang biasa dikenal dengan calabai, calalai, dan bissu.

Setelah sesi pembicara selesai, agenda kemudian masuk ke sesi diskusi. Pertanyaan kemudian bermunculan, diantaranya ditujukan kepada Rebecca mengenai bagaimana cara kita menangani atau memberi pendekatan kepada seseorang mengenai banci atau bencong yang sering dianggap guyon. Rebecca kemudian menjawab bahwa sebenarnya banci merupakan sebuah profesi, berbeda dengan transgender yang memang merupakan lahir dari jati diri atau keinginan diri sendiri. Hal inilah yang kemudian perlu dipahami, bahwa sebutan banci/waria yang terkadang bersifat offensive itu berbeda dengan transgender. Tak luput, pada satu bagian Bu Budiawati kemudian menambahkan bahwa banyak dari transgender memilih berubah bukan hanya sekedar karena gaya hidup, melainkan banyak sekali persoalan-persoalan sosial yang harus mereka hadapi, dan tentunya banyak pula pertimbangan yang telah mereka ukur, jadi biarkanlah “transgender” menjadi urusan mereka masing-masing.

Intisari Sesi Diskusi Bedah Film “Jemari yang Menari di atas Luka Luka”:

  • Gender dan Seks merupakan dua hal yang berbeda
  • Gender lahir dari konstruksi sosial, bersifat dinamis dan dapat berubah sewaktu – waktu
  • Seks merupakan hal yang kodrat, biologis, dan tidak dapat diubah. Sekalinya dirubah di atas meja operasi, tidak akan bisa mengubah fungsinya.
  • Pemahaman mengenai SOGIE (sexual, orientation, gender identity, dan expression gender) diperlukan untuk lebih memahami gender.
  • Ketidaksetaraan gender telah banyak membawa dampak negatif, diantaranya seperti marginalisasi, double burden, subordinasi, dan violence.

Sudah Siapkah Pemuda Indonesia Menyambut Generasi Emas 2045?

“Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini banyak anak yang putus sekolah.”

Ditulis oleh: Cicin Yulianti

Begitulah kurang lebih pernyataan yang dikemukakan oleh Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Samto, terkait pendidikan saat ini. Pernyataan tersebut bukanlah hal baru yang kita tahu karena sudah lama pendidikan di Indonesia jelas belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.

Terlebih kondisi pandemi Covid-19 malah memperparah kondisi pendidikan saat ini. Tidak sedikit murid yang tak bisa belajar karena keterbatasan gawai atau koneksi internet. Ditambah masalah pemindahtanganan pekerjaan rumah (PR) murid yang akhirnya dikerjakan oleh orang tua. Hal tersebut memang sangat memprihatinkan karena lagi-lagi menggambarkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia malah membuat ibu rumah tangga komat-kamit dan tepuk jidat menghadapinya.

Tugas pemerintah saat ini memanglah berat dalam menghadapi permasalahan pendidikan bagi anak muda. Apalagi melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2020, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia hari ini didominasi oleh usia muda. Adapun generasi yang mendominasi dari keseluruhan jumlah tersebut adalah generasi Z sebanyak 27,94 %  lalu diikuti oleh generasi milenial sebanyak  25,87% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272.229.372 jiwa. 

Angka-angka di atas membawa kita pada sebuah fakta bahwa Indonesia sedang mengalami Bonus Demografi. Artinya, Indonesia memiliki potensi besar kedepannya dalam memaksimalkan pembangunan nasional lewat penduduknya yang berusia produktif. Hal tersebut selaras dengan gagasan negara Indonesia tentang Generasi Emas 2045. Generasi Emas 2045 sendiri menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia di tahun 2045, di mana Indonesia genap berusia 100 tahun dan memiliki taraf  hidup yang lebih sejahtera. Oleh karena itu, semua aspek yang berhubungan dengan pendidikan sebagai penentu peradaban sangat perlu diperhatikan untuk mewujudkan gagasan tersebut, tanpa terkecuali.

Pendidikan Adalah Inti Kehidupan

Berbicara soal pemuda, maka tak jauh dengan pendidikan sebagai penentu karakter dan intelektual mereka. Berhasil atau tidaknya pendidikan menjadi kontribusi yang besar dalam tercapainya pembangunan nasional. Arah terpenuhinya kebutuhan pendidikan pun sudah tertuang dalam Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sasaran dari perpres tersebut adalah menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.  Namun pertanyaannya, bagaimana pendidikan sangat menentukan tercapainya Generasi Emas 2045?

Maju atau tidaknya peradaban sebuah negara sangat tergantung pada kapasitas pendidikan yang dimiliki oleh warganya. Di Indonesia, sistem pendidikan sudah mulai dirancang sedemikian rupa, namun nyatanya belum juga menyeluruh. Hal tersebut terbukti dari hasil riset Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018, memperlihatkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih ada di peringkat ke-7 paling bawah, di mana total negara yang disurvei berjumlah 78 negara. Indonesia menduduki peringkat ke-72 dalam kualitas Membaca, peringkat ke-72 untuk bidang Matematika, dan peringkat ke-70 untuk kompetensi Sains.

Data di atas cukup mengejutkan karena dalam pandangan masyarakat awam, pendidikan bisa saja sudah terlihat mumpuni. Terlebih bagi kebanyakan warga kota yang di mana kualitas pendidikannya sudah lebih maju dibanding pedesaan. Oleh karena itu, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan memiliki target capaian dalam pemerataan pendidikan.  Data dari PBB pun memperkirakan bahwa pada tahun 2045 terdapat sekitar 69,1% penduduk yang tinggal di perkotaan.

Kita pun tak bisa menutup mata dari sistem pendidikan negara Finlandia yang digadang-gadang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Jika dibandingkan dengan pendidikan Indonesia saat ini, jelas bahwa Indonesia masih jauh tertinggal. Kejamnya pendidikan Indonesia pun masih dialami oleh pemuda di mana mereka merasa tak bisa menemukan jati dirinya lewat pendidikan. Pelajar Indonesia masih merasa bersalah ketika berbeda dengan orang lain. Anak pintar masih saja distereotipkan lewat anak yang nilai Matematika-nya bagus atau menjadi juara olimpiade Sains.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia secara manusiawi menuju arah kemerdekaan lahiriah dan batiniah. Ketika masih banyak pemuda yang memiliki kecerdasan di bidang seni dan olahraga namun potensinya masih dianggap kalah oleh pemuda yang memiliki prestasi dibidang akademik, maka pendidikan di Indonesia masih belum benar-benar merdeka. Padahal masalah kemerdekaan dalam pendidikan seharusnya selaras dengan kemerdekaan Indonesia yang ke-100 di tahun 2045.

Konsep Pendidikan Modern

Berdasarkan data PBB, pertumbuhan penduduk dunia akan berfokus pada sembilan negara yakni Amerika Serikat, Pakistan, Nigeria, India, Tanzania, Ethiopia, Republik Demokratik Kongo, Uganda, dan Indonesia. Indonesia pun diprediksi akan masuk ke dalam 5 besar negara dengan ekonomi terbesar dan memiliki bonus demografi dalam pertumbuhan ekonomi. Tentunya, prediksi tersebut tidak boleh disia-siakan dan berakhir menjadi wacana saja. 

Tak tanggung-tanggung, menyikapi prediksi tersebut, Presiden Jokowi menargetkan Indonesia pada tahun 2045 bisa menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan, tentunya sistem pendidikan yang dianut negara-negara maju menjadi kiblat yang wajib dikaji oleh pemerintah Indonesia. Sebut saja Amerika, Inggris, Jerman, Finlandia, Perancis, negara-negara tersebut sudah memiliki sistem pendidikan yang tak bisa diragukan lagi. Oleh karena itu, kita pun harus sudah mulai meniru pola pendidikan di negara-negara modern tersebut.

Jejak pandemi sebenarnya bisa dijadikan modal dalam menyokong pendidikan modern menghadapi industri 4.0. Pelajar di Indonesia sudah mulai menerapkan sistem E-Learning, namun nyatanya masih banyak yang mengutamakan E-nya dibanding Learning-nya. Tools-nya sudah mendukung, namun sistem pembelajarannya masih berlangsung konvensional.  Selain itu, pandemi seharusnya mengajarkan pelajar untuk mulai terbiasa dengan konsep Blended Learning. Dalam mendorong negara-negara menjadi maju,konsep belajar blended learning bisa menjadikan pelajar lebih mandiri, leluasa, dan lebih efisien dalam mengakses modul pembelajaran. 

Untuk memaksimalkan penerapan pendidikan modern, maka Indonesia mesti mengikuti beberapa cara yang sudah diterapkan oleh negara maju mulai dari Finlandia hingga Amerika. Berikut gambaran pendidikan di beberapa negara maju yang harus mulai diterapkan oleh Indonesia menghadapi momen emas 2045:

  1. Setiap anak berhak atas pendidikan gratis yang inklusif. 
  2. Pembelajaran harus  dipersonalisasi  dalam menggali bakat dan potensi pelajar sehingga tidak masuk lagi ke dalam lingkaran stereotip  bahwa anak cerdas hanyalah anak yang pintar Sains saja.
  3. Menerapkan ujian standarisasi dengan metode kualitatif sehingga bisa berfokus pada kemampuan masing-masing anak dibandingkan metode menghafal yang mengacu pada kuantitatif.
  4. Tenaga pendidik bukan hanya dibekali kemampuan mengajar kognitif namun juga kemampuan memahami psikologi murid.
  5. Kapasitas kelas harus lebih leluasa dalam artian tidak lebih dari 30 murid agar fokus guru tidak pecah.
  6. Murid diberikan keleluasaan memilih mata pelajaran pilihan sesuai dengan minatnya seperti dalam bidang atletik,teknologi, bahasa, seni, sastra atau lainnya. 

Tidak Ada yang Salah Dengan Mencuci Raw Denim

Ditulis oleh: Luthfa Arisyi

Mungkin kalian sudah sering mendengar istilah raw denim. Ya, sesuai dengan namanya, raw denim bisa diartikan sebagai bahan denim yang ‘mentah’ karena dalam proses pembuatannya tidak dilakukan pencucian terlebih dahulu. Jadi, setelah diambil dari mesin tenun, bahan denim langsung dijahit untuk dijadikan celana atau jaket. Jins yang menggunakan bahan raw denim biasanya dapat dicirikan dengan warnanya yang gelap, tekstur bahan yang keras dan kaku, 

Di Indonesia sendiri, penggunaan jeans berbahan raw denim sudah marak sejak beberapa tahun terakhir. Banyak alasan kenapa akhirnya seseorang memutuskan untuk menggunakan raw denim, Alasan paling utama adalah karena experience yang hanya bisa didapat ketika menggunakan raw denim, yaitu warna dari raw denim yang bisa memudar seiring pemakaian atau yang biasa disebut dengan fading. Oleh karena itu, raw denim dapat menghasilkan pola kerutan yang unik di beberapa titik, khususnya titik yang sering mengalami gesekan, seperti di bagian belakang lutut. 

Pola kerutan pada raw denim dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah kualitas kain atau fabric, pewarna yang digunakan, tingkat ketebalan kain, dan tentunya intensitas pemakaian penggunanya. Oleh karena itu, pola kerutan yang dimiliki tiap pengguna raw denim akan berbeda dan menjadi unik karena faktor-faktor di atas. Ada satu faktor lagi yang menurut kebanyakan orang sangat berpengaruh pada pemudaran warna jeans, yaitu pencucian.

Menurut beberapa orang, haram hukumnya untuk mencuci jeans, bahkan jika hanya terkena air sedikit. Hal tersebut dinilai dapat merusak kain dan warna jeans. Selain itu, mencuci jeans juga dinilai dapat merusak pola kerutan yang nantinya akan dihasilkan. Tidak heran makanya jika ada orang yang tidak mencuci jeansnya selama enam bulan, satu tahun, atau bahkan tidak pernah dicuci seumur hidup. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan hal itu. 

Hal yang ingin saya bahas di sini adalah, pola pikir orang-orang ketika akhirnya memutuskan untuk menggunakan jeans berbahan raw denim dan bagaimana mereka memperlakukan jeansnya. Kebanyakan orang menggunakan raw denim untuk mencari pola kerutan yang dihasilkan dari pemakaiannya. Dengan begitu, mereka akan menggunakan jeansnya setiap hari dan kebanyakan tidak akan mencucinya dalam waktu yang lama. Mereka akan memperlakukan jinsnya selayaknya seorang raja yang tidak boleh tersentuh air, kotoran, atau apa pun itu. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, pertanyaannya adalah apakah nyaman menggunakan jins yang tidak dicuci dalam waktu lama, terkena keringat, debu, dan lain sebagainya?

Saya pribadi menganggap fading atau pola kerutan pada jeans sebagai bonus yang saya dapatkan ketika menggunakan raw denim. Hal utama yang saya pikirkan ketika membeli jeans berbahan raw denim, khususnya celana adalah ukuran yang pas dan kecocokan dengan bentuk kaki saya. Mengingat bahannya yang kaku dan keras, sangat penting bagi kita untuk memperhatikan ukuran dan kecocokan dengan bentuk tubuh. Salah ukuran sedikit, jins tidak akan terasa nyaman ketika dikenakan.

Selain itu, saya juga tidak masalah jika harus mengenakan jeans di tengah-tengah hujan atau harus mengenakan jins saya ke tempat-tempat yang kotor. Hei, ini cuma celana! Jika kotor atau sudah terasa tidak nyaman tinggal dicuci. Jika sudah terasa bau karena terkena keringat juga tinggal dicuci, kok. Pakaian diciptakan untuk memberikan kenyamanan bagi penggunanya, bukan jadinya memberikan perasaan tidak enak ketika mengenakannya. Memang dalam mencuci jeans berbahan raw denim juga tidak bisa sembarangan. Ada teknik khusus yang harus dilakukan jika ingin mempertahankan pola kerutan yang sudah mulai timbul. Tetapi balik lagi, tidak ada yang salah dengan mencuci jeans jika memang dirasa sudah tidak nyaman. Toh ini juga cuma celana.

Sekali lagi, saya tidak menyalahkan pola pikir orang-orang dan bagaimana mereka memperlakukan jeansnya. Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk berpakaian dan memperlakukan pakaiannya. Tingkat kenyamanan setiap orang tentunya berbeda-beda dan cara untuk memperoleh kenyamanan itu kembali lagi ke diri masing-masing orang.

Rilis Diskusi Publik #2: Ada Apa Dengan Kebebasan Berpendapat di Indonesia?

Beberapa waktu lalu dunia maya Indonesia sempat dibuat heboh, terutama dalam kalangan akademisi. Hal ini dikarenakan kemunculan sebuah postingan pada akun media sosial BEM UI dengan judul “The King of Lip Service”. Pada postingan tersebut BEM UI menyampaikan kritikannya terhadap Presiden Indonesia, Joko Widodo yang kerap kali memberikan tutur kata halus dan janji semata kepada warganya, “Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya,” tulis @BEMUI_Official.

Lantas hal tersebut pun menuai banyak pro dan kontra. Beberapa pihak menyatakan bahwa BEM UI telah melakukan Langkah yang tepat dengan berani mengkritik kinerja pemerintah, namun tak banyak pihak yang tidak setuju pula dengan hal tersebut. Salah satunya datang dari pihak rektorat UI yang melakukan intervensi terhadap langkah yang diambil oleh BEM UI, selanjutnya aksi protes pun datang dari tokoh publik yang sempat mengatakan bahwa mahasiswa harusnya belajar saja, tidak perlu melakukan protes seperti itu.

Menyadari adanya permasalahan tersebut, BEM FIKOM Universitas Padjadjaran kemudian mencoba untuk mengadakan ruang diskusi publik dengan tema “Ada Apa Dengan Kebebasan Berpendapat di Indonesia?”. Diskusi publik dilaksanakan pada Jumat, 23 Juli 2021 dengan mengundang dua pembicara hebat, yang pertama ialah Dr. Suwandi Sumartia, M.Psi. yang merupakan seorang Dosen komunikasi politik dan perburuhan FIKOM Universitas Padjadjaran. Lalu pembicara kedua ialah Heri Pramono yang merupakan perwakilan dari LBH Bandung.

Diskusi dimulai pada pukul 13.30, diawali dengan pemaparan dari narasumber pertama,  yaitu Dr. Suwandi Sumartia, M.Psi. yang menyebutkan bahwa, setiap perubahan di setiap negara pasti melibatkan mahasiswa. Tidak ada revolusi suatu negara yang tidak melibatkan mahasiswa. Demokrasi tetap mengalami dinamika bahkan di negara maju. Menurut Suwandi, baik di negara maju ataupun negara berkembang, demokrasi akan terus mengalami dinamika yang berubah-ubah, hal ini dikarenakan bentuk politik yang begitu cair.  Oleh karena itu, diperlukan sebuah pemikiran kritis dari para jiwa-jiwa muda untuk memecahkan permasalahan yang ada, kasus-kasus seperti COVID-19, politik, atau penyelewengan dana bansos merupakan beberapa contoh permasalahan negara yang masih bisa belum terselesaikan dengan baik.

Selanjutnya, Suwandi membahas mengenai fenomena kebebasan berpendapat di Indonesia yang erat kaitannya dengan UU ITE dan UU KUHP. Menurutnya, kebebasan berpendapat di Indonesia masih jadi sesuatu yang “debatable”, hal ini dikarenakan pemerintahan kita yang memiliki kekuasaan absolut atau totaliter. Padahal dalam kemajuan suatu negara perlu adanya keseimbangan antara kenyataan dan pengkritik, akan berbahaya jika suara para kaum kritis selalu dibungkam. Suwandi menyebutkan salah satu faktor dari pembungkaman tersebut adalah terlalu banyaknya pasal karet yang menyebabkan kebebasan berpendapat jadi sesuatu yang berbahaya. Selain itu, Suwandi sempat menyebutkan bahwa di zaman Sekarang ini media sosial menjadi sesuatu yang berbahaya, media seperti Youtube, Facebook, Twitter, dan Instagram sering kali menjadi  medium politik yang disalahgunakan.

Terakhir, Suwandi menyebutkan bahwa fenomena kebebasan berpendapat di Indonesia sangat erat kaitanya dengan faktor high context dan low context yang melekat di masyarakat Indonesia. Beberapa orang di pulau Jawa akan menganut nilai high context yang artinya sopan santun dan ramah tamah merupakan sesuatu yang amat dijunjung tinggi, sementara banyak warga di luar pulau Jawa menganut nilai low context yang artinya mereka akan lebih to the point ketika melakukan kritik tanpa terlalu memperhatikan nilai sopan santun. Hal ini lah yang kemudian menjadi banyaknya permasalahan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Setelah selesai pemaparan materi dari Suwandi Sumartia, diskusi pun kemudian dilanjutkan oleh Heri Pramono selaku perwakilan dari LBH Bandung. Pada awal pemaparan, Heri sempat menyinggung tentang fenomena BEM UI yang memberi kritik dengan postingan “The King of Lip Service”. Lantas Heri Pramono kemudian menyampaikan jaminan kebebasan berpendapat di Indonesia berdasarkan perspektif hukum. Salah satunya datang dari jaminan dalam UUD 1945 & amandemennya. Selain itu, jaminan berpendapat datang dari jaminan HAM dan ketentuan konferensi internasional. Akan tetapi, dibalik semua jaminan tersebut, terdapat banyak tantangan yang dihadapi masyarakat ketika mereka ingin mendapatkan haknya untuk berpendapat. Kondisi kebebasan berpendapat di Indonesia banyak mengalami reaksi yang berbentuk ancaman. Contohnya, ialah beberapa tahun lalu akun Instagram LBH sempat mengalami peretasan, ketika mereka membahas mengenai UU Cipta Kerja. Selain serangan siber, ada pun berbentuk gugatan seperti pemutusan sarana jaringan di Papua. Hal ini yang kemudian menjadi wajah kebebasan berpendapat di Indonesia.

Walaupun bentuk kebebasan berpendapat sudah dijamin dalam HAM dan UUD 1945, namun akhirnya hal ini pun tetap terjegal dengan adanya UU ITE pada tahun 2020. Sepanjang tahun 2020, YLBHI mencatat terdapat 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Mengejutkannya, kasus-kasus tersebut banyak didominasi oleh adanya pelanggaran hak berekspresi serta pernyataan pendapat di muka publik. Lantas, Heri kemudian menyampaikan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kondisi kebebasan berpendapat ini, diantaranya:

  1. Kita semua manusia, harus bebas mengekspresikan diri dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi, ide, serta gagasan tanpa batas
  2. Mempertahankan internet dan semua bentuk komunikasi lainnya
  3. Kita berbicara secara terbuka dan dengan sopan tentang segala macam perbedaan manusia
  4. Mengizinkan untuk tidak ada tabu dalam diskusi dan penyebaran pengetahuan
  5. Kita membutuhkan dan membuat media terbuka yang beragam, sehingga dapat membuat keputusan berdasarkan informasi serta berpartisipasi di dalam politik

Intisari Diskusi Publik:

  • Adanya dialektika demokrasi menjadi poin yang berpengaruh dalam demokrasi dan kebebasan berpendapat di indonesia dari adanya aktor politik, buzzer, media sosial, pendidikan politik, lembaga politik, serta krisis hukum dan kepercayaan.
  • Faktor high context dan low context sering kali jadi pembeda dan awal mula munculnya permasalahan saat terjadi perbedaan dalam kebebasan berpendapat.
  • Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak semua orang sesuai Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, dengan mematuhi prinsip-prinsip HAM yang universal serta Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945. Dengan pasal-pasal tersebut, seseorang seharusnya bisa bebas berpendapat dan berekspresi dengan mematuhi prinsip-prinsip yang ada dan mendapatkan perlindungan hukum.

Rilis Diskusi Publik #1: Komunikasi Krisis Pemerintah dalam Menyambut Hingga Melahirkan Vaksin Corona

Satu tahun lebih pandemi virus COVID-19 menjangkit Indonesia. Virus yang mulanya berasal dari Wuhan, China, ini kini telah merebak dan memakan banyak korban tak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh negara di dunia. Berbagai kebijakan dan statement pun kemudian dibuat untuk menekan laju pertumbuhan COVID-19, namun sayangnya kebijakan yang hadir nampaknya tidak bisa menekan pertumbuhan angka tersebut secara signifikan, dan bahkan terdapat beberapa masyarakat yang perlahan mulai abai serta tidak mempercayai pandemi COVID-19 ini.

Melihat kekhawatiran tersebut, Departemen Kajian dan Aksi Strategi BEM Bima Fikom Unpad Kabinet Jagatkarya kemudian mengadakan sebuah diskusi publik pada Jum’at, 23 April 2021. Diskusi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana komunikasi krisis yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menyambut COVID-19, serta aspek-aspek apa saja yang telah tumbuh di masyarakat dan variable yang mempengaruhinya.

Diskusi tersebut dilakukan secara daring melalui platform Zoom Meeting serta menghadirkan narasumber-narasumber hebat, yaitu Justito Adiprasetion, S.I.KOM, MA. Dan Dr. Herlina Agustin, S.Sos, M.T. Diskusi dimoderasi oleh Meyta Yosta Greacelya Abaulu selaku Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis Bem Fikom Unpad.

Diskusi dimulai pada pukul 13.30, diawali dengan pemaparan dari narasumber pertama, yaitu Justito Adiprasetion, S.I.KOM, MA yang membawa materi mengenai berbagai blunder komunikasi publik yang telah dilakukan pemerintah semenjak pre-crisis virus COVID-19 hingga saat ini. Justito melabeli materinya dengan istilah “Absennya Paranoia – COVID-19 Indonesia”. Beliau kemudian menyebutkan bahwa banyak masyarakat yang belum aware terhadap Virus ini pada tahapan awal, hal ini makin diperparah dengan respon dan statement dari pemerintah yang kerap kali membuat klaim yang tidak berlandaskan science. Salah satu pernyataan pemerintah yang cukup unik pada saat itu berasal dari Menteri Kesehatan, yang menyatakan bahwa Indonesia mampu untuk bebas dari virus Corona dikarenakan doa. Selain itu, klaim tidak berlandaskan bukti ilmiah pun sempat dilakukan oleh Ahmad Yurianto selaku juru bicara COVID-19, yang menyebutkan bahwa virus COVID-19 perlahan akan menjinak. Tentu sebuah statement yang telah dirilis ke publik akan sangat sulit untuk ditarik kembali, sekali pun telah ada klarifikasi. Hal ini lah yang kemudian menjadi salah satu variable penyebab masyarakat terpolarisasi ke dalam dua kubu, pro dan kontra.

Justito menyebutkan bahwa klaim, justifikasi, statement pemerintah bersifat pseudosains dan terlalu bertujuan untuk menenangkan masyarakat, pemerintah tidak memposisikan masyarakat sebagai mitra dan memberikan keterbukaan serta transparansi yang baik, yang mana hal ini kemudian membentuk framing tertentu di dalam masyarakat. Komunikasi publik di level kenegaraan seharusnya bersumber dari literatur yang scientific, bukan hanya berbasis dari narasi yang motivasional.

Selanjutnya, Justito menyampaikan banyaknya komunikasi publik yang saling tumpang tindih antara narasi pusat dengan daerah pun merupakan bukti nyata kurangnya kemampuan pemerintah dalam menghadapi krisis ini. Selain itu, sikap pemerintah yang me-maintenance publik dan menyebutkan bahwa Indonesia akan pulih dari pandemi ketika posisi pandemi yang sedang memuncak, menjadikan banyak masyarakat yang kemudian mulai abai terhadap COVID-19. Berbagai blunder ini kemudian memberikan kita pandangan baru, bahwa pemerintah sebenernya belum memiliki jalur birokrasi yang adaptif dalam menangani krisis. Pada bagian akhir, Justito menyatakan bahwa dalam krisis COVID-19 ini, pemerintah seharusnya memperbanyak narasi yang berorientasi kepada aspek human interest, namun faktanya narasi yang bertebaran masih didominasi oleh aspek ekonomi, kapital dan attribution of responsibilities

Setelah selesai materi disampaikan olehJustito Adiprasetion, S.I.KOM, MA, diskusi pun dilanjutkan oleh materi yang dipaparkan oleh Dr. Herlina Agustin, S.Sos, M.T atau kerap disapa dengan sebutan Bu Titin. Materi diawali dengan cerita Bu Titin mengenai pengalaman setelah dirinya menjadi relawan vaksin Sinovac. Beliau menyatakan bahwa terdapat banyak pihak yang mendukung ketika dirinya memutuskan untuk menjadi relawan vaksin, namun sayangnya terdapat banyak pula individu yang menentang hal tersebut. Beliau sempat mendapat pesan Whatsapp yang berkonotasi negatif, “Apakah tidak takut mati setelah ikut menjadi relawan? Nanti yang rugi siapa kalau mati?” Namun beliau menanggapi hal tersebut dengan santai, Bu titin percaya bahwa ketika dirinya divaksin tidak ada pihak yang merugi, melainkan dirinya akan mempermudah lingkungan sekitarnya.

Selanjutnya beliau menyinggung mengenai berita hoaks yang banyak tersebar pada masa pandemi ini. Bu Titin menyayangkan banyak pihak yang lebih percaya kepada hal-hal berbau konspirasi dibandingkan mempercayai penelitian-penelitian ilmiah yang sudah terbukti kebenarannya. Hal ini pula yang kemudian menyebabkan lahirnya kaum anti-covid yang tentunya juga sejalan dengan golongan anti-vaksin.

Pada momen akhir, beliau kemudian memberikan pernyataan yang begitu bijak. Sebagai penggerak lingkungan, Bu Titin memberi pesan pada kita semua bahwa pandemi COVID-19 ini merupakan bukti dari manusia yang tidak merawat alamnya dengan baik, virus COVID-19 muncul karena virus tersebut telah kehilangan habitatnya, sehingga mencari inang yang baru, yaitu manusia. Intinya semua hal akan kembali ke lingkungan, karena tidak akan ada manusia sehat di lingkungan yang buruk. Semua ini berkaitan dengan menjaga lingkungan agar tetap lestari. Pemerintah terlihat hanya fokus kepada ekonomi atau materi saja, padahal menjaga lingkungan pun tidak kalah pentingnya.

Intisari Diskusi Publik:

  • Berbagai blunder dari komunikasi publik yang telah dilakukan oleh pemerintah bersifat akumulatif dan snowball. Akibatnya masyarakat pun terpolarisasi menjadi dua bagian, pro dan kontra.
  • Klaim/statement/justifikasi dari pemerintah yang bersifat pseudosains menjadikan masyarakat memiliki keamanan semu. Akibatnya awareness masyarakat terhadap COVID-19 menjadi rendah.
  • Tumpang tindihnya narasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi bukti dari ketidaksiapan birokrasi pemerintah dalam menangani sebuah krisis.
  • Pemerintah seharusnya menjadikan masyarakatnya sebagai mitra yang dapat bersifat terbuka dan transparan terhadap setiap informasi yang ada, bukan hanya memberikan statement motivasional dan keamanan semu.
  • Berbagai hoax dan konspirasi yang bertebaran menjadikan munculnya masyarakat yang anti-covid dan anti-vaksin.
  • Virus COVID-19 merupakan bukti nyata dari alam yang tidak terjaga dengan baik, oleh karena itu lingkungan merupakan aspek penting yang harus kita jaga kelestariannya, karena tidak akan ada manusia sehat di lingkungan yang buruk.

Departemen Kajian dan Aksi Strategis, BEM Fikom Unpad 2021