Posts

Rilis Diskusi Publik #2: Ada Apa Dengan Kebebasan Berpendapat di Indonesia?

Beberapa waktu lalu dunia maya Indonesia sempat dibuat heboh, terutama dalam kalangan akademisi. Hal ini dikarenakan kemunculan sebuah postingan pada akun media sosial BEM UI dengan judul “The King of Lip Service”. Pada postingan tersebut BEM UI menyampaikan kritikannya terhadap Presiden Indonesia, Joko Widodo yang kerap kali memberikan tutur kata halus dan janji semata kepada warganya, “Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya,” tulis @BEMUI_Official.

Lantas hal tersebut pun menuai banyak pro dan kontra. Beberapa pihak menyatakan bahwa BEM UI telah melakukan Langkah yang tepat dengan berani mengkritik kinerja pemerintah, namun tak banyak pihak yang tidak setuju pula dengan hal tersebut. Salah satunya datang dari pihak rektorat UI yang melakukan intervensi terhadap langkah yang diambil oleh BEM UI, selanjutnya aksi protes pun datang dari tokoh publik yang sempat mengatakan bahwa mahasiswa harusnya belajar saja, tidak perlu melakukan protes seperti itu.

Menyadari adanya permasalahan tersebut, BEM FIKOM Universitas Padjadjaran kemudian mencoba untuk mengadakan ruang diskusi publik dengan tema “Ada Apa Dengan Kebebasan Berpendapat di Indonesia?”. Diskusi publik dilaksanakan pada Jumat, 23 Juli 2021 dengan mengundang dua pembicara hebat, yang pertama ialah Dr. Suwandi Sumartia, M.Psi. yang merupakan seorang Dosen komunikasi politik dan perburuhan FIKOM Universitas Padjadjaran. Lalu pembicara kedua ialah Heri Pramono yang merupakan perwakilan dari LBH Bandung.

Diskusi dimulai pada pukul 13.30, diawali dengan pemaparan dari narasumber pertama,  yaitu Dr. Suwandi Sumartia, M.Psi. yang menyebutkan bahwa, setiap perubahan di setiap negara pasti melibatkan mahasiswa. Tidak ada revolusi suatu negara yang tidak melibatkan mahasiswa. Demokrasi tetap mengalami dinamika bahkan di negara maju. Menurut Suwandi, baik di negara maju ataupun negara berkembang, demokrasi akan terus mengalami dinamika yang berubah-ubah, hal ini dikarenakan bentuk politik yang begitu cair.  Oleh karena itu, diperlukan sebuah pemikiran kritis dari para jiwa-jiwa muda untuk memecahkan permasalahan yang ada, kasus-kasus seperti COVID-19, politik, atau penyelewengan dana bansos merupakan beberapa contoh permasalahan negara yang masih bisa belum terselesaikan dengan baik.

Selanjutnya, Suwandi membahas mengenai fenomena kebebasan berpendapat di Indonesia yang erat kaitannya dengan UU ITE dan UU KUHP. Menurutnya, kebebasan berpendapat di Indonesia masih jadi sesuatu yang “debatable”, hal ini dikarenakan pemerintahan kita yang memiliki kekuasaan absolut atau totaliter. Padahal dalam kemajuan suatu negara perlu adanya keseimbangan antara kenyataan dan pengkritik, akan berbahaya jika suara para kaum kritis selalu dibungkam. Suwandi menyebutkan salah satu faktor dari pembungkaman tersebut adalah terlalu banyaknya pasal karet yang menyebabkan kebebasan berpendapat jadi sesuatu yang berbahaya. Selain itu, Suwandi sempat menyebutkan bahwa di zaman Sekarang ini media sosial menjadi sesuatu yang berbahaya, media seperti Youtube, Facebook, Twitter, dan Instagram sering kali menjadi  medium politik yang disalahgunakan.

Terakhir, Suwandi menyebutkan bahwa fenomena kebebasan berpendapat di Indonesia sangat erat kaitanya dengan faktor high context dan low context yang melekat di masyarakat Indonesia. Beberapa orang di pulau Jawa akan menganut nilai high context yang artinya sopan santun dan ramah tamah merupakan sesuatu yang amat dijunjung tinggi, sementara banyak warga di luar pulau Jawa menganut nilai low context yang artinya mereka akan lebih to the point ketika melakukan kritik tanpa terlalu memperhatikan nilai sopan santun. Hal ini lah yang kemudian menjadi banyaknya permasalahan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Setelah selesai pemaparan materi dari Suwandi Sumartia, diskusi pun kemudian dilanjutkan oleh Heri Pramono selaku perwakilan dari LBH Bandung. Pada awal pemaparan, Heri sempat menyinggung tentang fenomena BEM UI yang memberi kritik dengan postingan “The King of Lip Service”. Lantas Heri Pramono kemudian menyampaikan jaminan kebebasan berpendapat di Indonesia berdasarkan perspektif hukum. Salah satunya datang dari jaminan dalam UUD 1945 & amandemennya. Selain itu, jaminan berpendapat datang dari jaminan HAM dan ketentuan konferensi internasional. Akan tetapi, dibalik semua jaminan tersebut, terdapat banyak tantangan yang dihadapi masyarakat ketika mereka ingin mendapatkan haknya untuk berpendapat. Kondisi kebebasan berpendapat di Indonesia banyak mengalami reaksi yang berbentuk ancaman. Contohnya, ialah beberapa tahun lalu akun Instagram LBH sempat mengalami peretasan, ketika mereka membahas mengenai UU Cipta Kerja. Selain serangan siber, ada pun berbentuk gugatan seperti pemutusan sarana jaringan di Papua. Hal ini yang kemudian menjadi wajah kebebasan berpendapat di Indonesia.

Walaupun bentuk kebebasan berpendapat sudah dijamin dalam HAM dan UUD 1945, namun akhirnya hal ini pun tetap terjegal dengan adanya UU ITE pada tahun 2020. Sepanjang tahun 2020, YLBHI mencatat terdapat 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Mengejutkannya, kasus-kasus tersebut banyak didominasi oleh adanya pelanggaran hak berekspresi serta pernyataan pendapat di muka publik. Lantas, Heri kemudian menyampaikan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kondisi kebebasan berpendapat ini, diantaranya:

  1. Kita semua manusia, harus bebas mengekspresikan diri dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi, ide, serta gagasan tanpa batas
  2. Mempertahankan internet dan semua bentuk komunikasi lainnya
  3. Kita berbicara secara terbuka dan dengan sopan tentang segala macam perbedaan manusia
  4. Mengizinkan untuk tidak ada tabu dalam diskusi dan penyebaran pengetahuan
  5. Kita membutuhkan dan membuat media terbuka yang beragam, sehingga dapat membuat keputusan berdasarkan informasi serta berpartisipasi di dalam politik

Intisari Diskusi Publik:

  • Adanya dialektika demokrasi menjadi poin yang berpengaruh dalam demokrasi dan kebebasan berpendapat di indonesia dari adanya aktor politik, buzzer, media sosial, pendidikan politik, lembaga politik, serta krisis hukum dan kepercayaan.
  • Faktor high context dan low context sering kali jadi pembeda dan awal mula munculnya permasalahan saat terjadi perbedaan dalam kebebasan berpendapat.
  • Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak semua orang sesuai Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, dengan mematuhi prinsip-prinsip HAM yang universal serta Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945. Dengan pasal-pasal tersebut, seseorang seharusnya bisa bebas berpendapat dan berekspresi dengan mematuhi prinsip-prinsip yang ada dan mendapatkan perlindungan hukum.