Posts

“Baiknya Layani Kami Saja Dulu, Tuan”: Sebuah Esai Penolakan terhadap Indonesia Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2034

Pada perhelatan Olimpiade 1920, seorang bapak-bapak berujar, “saya ingin membuat perhelatan sepakbola bertaraf internasional.” Sepertinya, si bapak adalah orang baik yang Tuhan selalu kabulkan doanya karena setahun setelahnya, ia ditunjuk menjadi presiden organisasi sepakbola bertaraf internasional. Sembilan tahun setelah penunjukannya, perlombaan bal-balan impiannya diwujudkan di Uruguay. Demi menghargai kontribusinya, nama si bapak diabadikan menjadi nama trofi kompetisi tersebut.

Sejak itu, lomba ini diadakan 4 tahun sekali dan menjadi kompetisi sepakbola dengan prestise tertinggi seantero dunia. Perlombaan ini adalah Lebaran Haji, dengan stadion sebagai Ka’bah, pemain sebagai jamaah, dan trofi sebagai hajar aswad. Mereka yang berhasil mencium si hajar aswad akan dianggap telah tuntas jasanya di dunia dan dipersilahkan pulang menuju surga.

Si bapak kini telah tiada, tapi arwahnya tetap berkeliling mengawasi perlombaan ciptaannya berlangsung dalam bentuk sebuah trofi. “Ke mana lagi, ya, tahun depan?” Kata Jules Rimet.

***

Australia punya ambisi besar untuk mengundang Jules Rimet ke negaranya. Setelah kegagalan untuk menyelenggarakan Piala Dunia untuk tahun 2022, kini mereka berambisi untuk mengajukan diri untuk kompetisi edisi 2034. Namun, sang Negara Kangguru tak ingin sendiri menjadi tuan rumah. Mereka memiliki beberapa rencana kandidat yang akan diajak bekerja sama. Mereka berencana mengajak Si Kiwi—Selandia Baru, dan Si Komodo—Indonesia.

Indonesia! Negara dengan 34 provinsi ini hendak diajak Australia menjadi tuan rumah Piala Dunia! Kylian Mbappe terkena macet di Fatmawati, Haaland terjebak banjir di Buahbatu! Siapa yang tak ingin?

Yah, sepertinya saya, dan semoga, teman-teman sekalian yang membaca.

***

Yunus Nusi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), menyatakan ketertarikannya. “Kami sangat tertarik dengan tawaran tersebut. Itu merupakan momentum terbaik untuk Indonesia.” Ujarnya pada 16 Agustus 2021.

Momentum untuk siapa, Tuan?

***

Sebagai sebuah awalan, tulisan ini akan sangat berkiblat pada buku Soccernomics karya Simon Kuper dan Szymanski, sebuah buku yang saya sangat rekomendasikan baca kepada kalian yang tertarik untuk mempelajari sepakbola melalui perspektif statistik.

***

Penyelenggaraan Piala Dunia selalu dianggap sebagai suatu anugerah kepada sang negara tuan rumah. Bayangan angka-angka dalam tabel ekonomi akan naik, bule-bule dari berbagai negara datang dengan mental siap untuk menghabiskan uangnya, serta wajah-wajah pribumi tersenyum sumringah.

Sayangnya, seringkali hanya satu bayangan yang terwujudkan.

Pertama, untung secara ekonomi jarang kali terjadi, seringnya malah buntung, mengingat adanya stadion baru yang akan dibangun. Berkaca pada Piala Dunia 2022 di Qatar membutuhkan 8 stadion dengan kualitas yang sesuai untuk Piala Dunia. Alhamdulillah, menurut indosport.com, Indonesia sudah mempunyai 8 stadion yang berstandar FIFA. Namun, mengingat artikel tersebut ditulis pada tahun 2019 dan beberapa dari stadion tersebut masih dalam proses perampungan atau sudah lama tidak digunakan sehingga membutuhkan renovasi.

Berdasarkan hal tersebut, tentu lapangan pekerjaan akan dibuka. Bedeng akan dibangun di depan Stadion Utama Riau untuk tempat tinggal sementara para tukang bangunan, warung-warung makanan akan banyak dibuka, perumahan-perumahan akan dibangun dekat stadion, dan jangan dilupakan pembangunan akses yang meliputi jalan raya, hotel, dan infrastruktur lainnya yang dibutuhkan. Tentu saja, menggunakan mata telanjang, hal ini adalah penyerap tenaga kerja dan akomodasi kehidupan sehari-hari yang baik sehingga peluang untuk angka ekonomi negara akan naik.

Ternyata, berkaca pada fenomena masa lalu, kenyataannya tak begitu. 

Polandia, salah satu tuan rumah untuk Piala Euro 2012—perhelatan sepakbola antar negara Eropa, sepertinya sepadan untuk dibandingkan dengan Indonesia. Selain bendera antar negara yang hanya dibalik-balik saja, kedua negara (meski Indonesia masih calon) juga menjadi “setengah” tuan rumah untuk perhelatan perlombaan sepakbola berprestise tinggi.

UEFA—federasi sepakbola benua Eropa, meminta kepada Polandia untuk membangun bandara, hotel bintang lima, dan tentu saja, stadion baru. Hal ini menyebabkan Polandia menghabiskan 10 miliar Dollar Amerika Serikat untuk membangun permintaan “si-anak-cengeng-UEFA”. Memang, beberapa infrastruktur yang dibangun masih digunakan, namun kebanyakan—stadion baru yang megah, jalan-jalan baru, hotel-hotel yang memanjakan, dan bandara di kota kecil yang mengantuk—bukanlah sesuatu dengan tingkat urgensi yang tinggi. 

Saya tak tahu situasi nyata di lapangan, namun sepertinya, masyarakat di Sleman belum membutuhkan banyak hotel bintang lima; orang-orang Kutai Kartanegara belum membutuhkan bandara yang pernah disambangi oleh Bukayo Saka. Orang-orang sepertinya lebih membutuhkan pekerjaan dan beras dibandingkan stadion mewah yang sepertinya tak akan dapat mereka injak rumputnya.

Afrika Selatan menjanjikan pergelaran Piala Dunia dengan harga yang “murah”, dengan budget sebesar “hanya” 170 juta Dollar Amerika Serikat. Namun, seiring berjalannya waktu, “anak-yang-tak-kalah-cengeng-bernama-FIFA” meminta ini, meminta itu, sehingga biaya yang dibutuhkan membengkak 10 kali lipatnya. Hal ini dibarengi dengan proposal Piala Dunia awal yang orisinil dari Afrika Selatan “hilang”. Sebagai sesama negara berkembang, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi “Afrika Selatan kedua”.

Begitu pula dalam hal tenaga kerja. Mereka hanya akan dibutuhkan sesuai dengan periode Piala Dunia: 4 tahun sekali. Mengintip Piala Euro 1996, sebuah penelitian yang diadakan oleh Liverpool University mencoba mengetahui angka lowongan pekerjaan baru yang disebabkan oleh perlombaan dengan banyak pemain kelas dunia ini. Hasilnya? Hanya ada 30 peluang pekerjaan baru yang dibuka dengan semuanya hanya bersifat temporer.

Selain itu, satu hal yang perlu diingat: semua pembangunan ini membutuhkan uang. Dari mana uang tersebut berasal? Tentu saja APBN/APBD. Hal ini mengindikasikan, pajak-pajak yang dibayarkan oleh (orang tua) kita untuk pendidikan dan kesehatan bangsa, akan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur Piala Dunia. 

Baiknya, kenyang dan cerdaskan kami saja dulu, Tuan, dibandingkan membangun stadion baru.

***

Selanjutnya, stigma bahwa angka turis akan meningkat.

Ratusan pemain kualitas dunia akan berkumpul di satu negara akan diikuti dengan hadirnya puluhan ribu penonton sepakbola. Begitu, bayangannya.

Pada perhelatan Olimpiade 2004, salah satu perlombaan terbesar taraf internasional, mencatatkan bahwa jumlah wisatawan yang berkunjung ke negara mereka turun sebesar 10 persen. Hal ini wajar terjadi. Coba bayangkan, kalau anda bukan seorang penikmat sepakbola yang lelah dengan aktivitas rutin harian, yang berisikan pekerjaan menumpuk dan atasan yang pendapatnya suka bikin muka anda tertekuk. Anda akan lebih memilih mana: rebahan di pantai dengan es kelapa di samping atau mengantre sejam bersama puluhan ribu orang lainnya untuk menyaksikan 90 menit pertandingan yang membosankan? Sekali lagi, kalau anda bukan penikmat sepakbola.

Lalu, pada Piala Dunia 2006 di Jerman, hanya 51 persen dari seluruh wisatawan asing yang memiliki tujuan utama untuk menonton sepakbola. Menariknya, setengah dari angka tersebut adalah ekspat Jerman dari luar negeri. Tanpa Piala Dunia pun, suatu saat mereka akan pulang ke tanah airnya. Hal ini pun mengindikasikan, “hanya” sekitar 25 persen wisatawan non-Jerman yang datang untuk menonton Piala Dunia. Kalau berharap Stadion Gelora Bandung Lautan Api akan dipenuhi bule-bule Eropa dan Amerika Latin, sebagai peringatan, jangan kecewa kalau yang datang hanya akang-akang biasa seperti saya.

Angka wisatawan akan melonjak? Sepertinya utang negara yang melonjak, Tuan.

***

Satu-satunya stigma yang tepat adalah senyum para warga lokal.

Simon Kuper, salah satu penulis Soccernomics, datang ke Jerman untuk perhelatan Piala Dunia 2006. Ia mengunjungi jalan tempat tinggalnya pada masa kecil, yang 15 tahun lalu terkesan suram dan para penduduk bahkan tak berbicara satu sama lain, kini berisikan warna-warni dari negara-negara partisipan yang dipasang di tiap gedung dan seluruh warga memiliki rona wajah yang cerah.

Berkaca pada perlombaan-perlombaan dahulu, menjadi tuan rumah suatu acara olahraga besar memiliki tendensi untuk membuat warganya menjadi lebih bahagia. Analogi yang tepat adalah “anda mengadakan pesta bukan untuk mendapatkan uang, tapi untuk membuat anda senang.”

Untuk mengadakan sebuah Piala Dunia, baiknya mempunyai “uang dingin” yang dalam kamus investasi memiliki arti “porsi uang yang tidak dibutuhkan dalam waktu dekat”. Oleh karena itu, Jerman dapat menghabiskan uang untuk membuat warganya senang, berbeda dengan Brazil yang malah mendapatkan aksi demonstrasi penolakan Piala Dunia dari rakyatnya. Negara maju (tentu saja) lebih baik dan mampu untuk mengadakan Piala Dunia dibandingkan negara dunia ketiga.

Tuan, kalau memang kita punya “uang dingin” yang bisa digunakan untuk menggelar pesta semarak, kenapa perut kami terasa kosong, Tuan?

***

Tak menyebutkan hal-hal seperti kasus kekerasan pada tukang bangunan untuk Piala Dunia 2022 di Qatar, gerakan anti-stadion di Amerika Serikat, dan fenomena lainnya, saya rasa ketiga hal di atas yang saya jabarkan dapat menggambarkan kenapa Indonesia belum bisa jadi tuan rumah Piala Dunia 2034, Tuan.

Memang, Piala Dunia akan mampu membuat kami senang. Namun, sepertinya ada cara lain yang lebih efisien untuk membuat kami senang, Tuan.

Memang, Piala Dunia akan membuat turis-turis datang, tapi sepertinya uang untuk membangun hotel lebih baik digunakan untuk mengelola sektor pariwisata kami agar dapat lebih bertahan lama, Tuan.

Memang, stadion Piala Dunia akan menjadi suatu kebanggaan bagi kami, tapi sepertinya uang pembangunannya akan lebih berguna dalam rupa bantuan sosial untuk kami, Tuan.

Daripada melayani tuan-tuan baik dari Inggris, Brazil, Argentina, dan lain-lain, baiknya layani kami dulu, para penjaga rumahmu, Tuan. Layani kami, Tuan.

Daftar Pustaka

Kuper, S., & Szymanski, S. (2014). Soccernomics : why England loses, why Germany and Brazil win, and why the U.S., Japan, Australia, Turkey and even India are destined to become the kings of the world’s most popular sport. New York: Nation Books.

Ranala, A. (2019, April 23). Stadion di Indonesia yang Memenuhi Regulasi FIFA untuk Menggelar Piala Dunia. Retrieved from Indosport: https://www.indosport.com/sepakbola/20190423/stadion-di-indonesia-yang-memenuhi-regulasi-fifa-untuk-piala-dunia/stadion-di-indonesia-yang-memenuhi-syaratThe Editors of Encyclopaedia Britannica. (2021, August 19). World Cup. Retrieved from Britannica: https://www.britannica.com/sports/World-Cup-football