Wacana Ekofasisme di Tengah Pandemi: Virus Corona Bukan Solusi dari Permasalahan Lingkungan

Berbagai seruan dari masyarakat menggema di seantero dunia, mengenai betapa membaiknya bumi di saat kita semua diharuskan mengkarantina diri sebagai aksi perlindungan diri dan sesama dari virus yang sedang mewabah saat ini. Dilansir dari Worldometer, saat ini sudah ada 212 negara yang terdampak, tersebar di seluruh benua kecuali Antartika. Kasus yang tercatat per 2 Mei 2020 adalah lebih dari 3,4 juta kasus positif dengan 239 ribu kematian.

Hampir semua negara di dunia saat ini sedang senyap dari hiruk pikuk aktivitas manusia, apa pun itu, tidak seperti biasanya. Jalanan terlihat lengang, tidak ada kerumunan di pasar, sampai absennya lalu-lalang manusia di sekitar tempat wisata. Betapa cepat dan masifnya persebaran virus membuat para pembuat kebijakan di beberapa negara menetapkan karantina wilayah atau terkenal dengan istilah lockdown. Mereka menahan para warganya agar tidak keluar rumah, menutup berbagai jalur transportasi, dan menghentikan aktivitas perkantoran, pabrik, dan institusi pendidikan.

Dengan minimnya kegiatan manusia saat ini, hal tersebut memberikan dampak yang signifikan bagi lingkungan hidup. Dari masalah polusi udara misalnya, NASA mengatakan India Utara saat ini memiliki tingkat aerosol di udara terendah dalam 20 tahun terakhir[1]. Aerosol berasal dari kendaraan bermotor atau alami seperti kebakaran hutan, namun aerosol buatan manusia lebih berbahaya bagi kesehatan karena partikelnya jauh lebih kecil. India memang terkenal sebagai salah satu negara dengan tingkat polusi udara terburuk, namun setelah sekitar 1,3 milyar warganya dikarantina sejak 24 Maret lalu, langit biru bisa terlihat dengan jelas di sana. Bahkan, di daerah Punjab, India Utara, untuk pertama kalinya sejak 30 tahun pemandangan pegunungan Himalaya bisa terlihat dari radius 161 Kilometer[2].

Beberapa waktu yang lalu juga sempat viral fenomena jernihnya sungai atau kanal di Venesia, Italia. Karena pandemi serta kebijakan lockdown pemerintah Italia, semakin berkurang bahkan tidak ada lagi wisatawan yang menikmati Gondola di kanal-kanal tersebut. Banyak yang mengakui, betapa indahnya sebuah tempat ketika tidak lagi “dikuasai” manusia.

Selain langit cerah dan air jernih, berbagai fenomena hewan liar banyak berkeliaran di sekitar pemukiman atau jalanan yang biasanya dipadati manusia juga telah menjadi perhatian media dan warganet saat ini. Semua fenomena tersebut diyakini beberapa orang sebagai bentuk bumi “memulihkan diri” dari “kejamnya” manusia. Bahkan ada frasa terkenal baru-baru ini oleh salah satu public figure, yaitu “mungkin kita adalah virusnya”. Mungkin maksudnya, SEMUA manusia di bumi ini merupakan virus bagi bumi. Penyebab berbagai permasalahan lingkungan hidup yang semakin mengkhawatirkan, dan dengan munculnya virus corona yang mewabah di seluruh dunia ini, kendali manusia atas alam menjadi berkurang.

Namun permasalahannya, apakah benar semua manusia berbahaya bagi lingkungan? Jika kita melihat berpuluh-puluh abad yang lalu, manusia bisa hidup damai berdampingan dengan alam. Singkatnya, tren global warming saja baru mencuat ketika adanya revolusi industri di Inggris beberapa abad yang lalu, ketika manusia baru mengenal mesin untuk mempermudah serta mempercepat produksi. Mesin tersebut menghasilkan polutan yang akhirnya berdampak kepada lapisan ozon. Faktanya adalah, tidak semua masyarakat memiliki pabrik/mesin yang dimaksud bisa menghasilkan polutan. Bahkan, mayoritas darinya adalah kelas buruh, yang dibayar murah oleh pemilik modal untuk bekerja di pabriknya. Dari kasus sederhana ini saja kita bisa melihat bahwa tidak semua manusia berbahaya bagi lingkungan. Bahwa faktanya, yang menjadi masalah adalah para pemilik modal yang memiliki kuasa untuk merusak lingkungan dengan aset dan kekuasannya. Relasi kuasa sangat kental dalam permasalahan tersebut.

Wacana yang mengatakan bahwa manusia adalah biang segala kerusakan lingkungan biasanya menjurus kepada adanya gerakan di mana alam harus “dikonservasi” atau disterilkan dari aktivitas manusia. Beberapa daerah yang sudah ditempati oleh penduduk bertahun-tahun lamanya, contohnya beberapa suku adat atau penduduk lokal, terpaksa harus digusur oleh pemangku jabatan setempat karena alasan ekologi atau lingkungan. Wacana tersebut dikenal sebagai ekofasisme atau ecofascism.

Dilansir dari Encyclopedia of Religion and Nature (2008), sejarawan lingkungan kontemporer paling terkenal, Michael Zimmerman, mendefinisikan ekofasisme sebagai “a totalitarian government that requires individuals to sacrifice their interests to the well-being and glory of the ‘land’, understood as the splendid web of life, or the organic whole of nature, including peoples and their states.”[3]. Pada praktiknya, istilah ekofasisme ini biasanya digunakan sebagai olok-olok bagi environmentalist atau aktivis lingkungan.

Namun menurut David Orton dalam analisisnya yang berjudul Ecofascism: What is it? A left biocentric analysis, setidaknya ada dua jenis penggunaan istilah ekofasisme, yaitu illegitimately (tidak sah) dan legitimately (secara sah). Ia beranggapan bahwa istilah ini digunakan sebagai olok-olok bagi aktivis lingkungan adalah penggunaan yang tidak sah, dilakukan oleh sektarianisme ekologi sosial dan mengakibatkan ekofasisme menjadi istilah serangan terhadap para pencinta/aktivis lingkungan.

Sedangkan penggunaan secara sahnya adalah, ketika istilah ini digunakan terhadap mereka yang ingin mengeksploitasi alam sampai akhir, semata-mata untuk tujuan kemanusiaan/perusahaan, dan akan melakukan apa pun yang dianggap perlu, termasuk menggunakan kekerasan dan intimidasi terhadap pencinta lingkungan. Di mana hal tersebut bisa dilakukan oleh pihak yang memiliki relasi kuasa, politik, dan ekonomi yang kuat.

Permasalahan lingkungan yang tidak mempertimbangan aspek relasi kuasa ini salah satunya terdapat dalam sebuah kajian mengenai pembatasan populasi oleh ahli ekonomi terkenal, Thomas Robert Malthus. Dalam esainya yang berjudul An Essay on the Principle of Population diterbitkan pada tahun 1798, ia meramalkan bahwa jumlah populasi di dunia akan melampaui jumlah pasokan pangan. Ia mengatakan, populasi penduduk akan meningkat seperti deret ukur (geometric ratio) yaitu 1,2,4,8,16 dan seterusnya, sementara pertumbuhan sumber daya pangan meningkat seperti deret hitung (arithmetic ratio) yaitu 1,2,3,4,5 dan seterusnya. Karenanya, dipastikan masyarakat akan sulit menjangkau ketersediaan pangan karena kelangkaan yang spesifiknya akan terjadi di pertengahan abad ke-19. Namun hal ini tidak terbukti secara saintifik dan pendapat Malthus dikatakan sangat abstrak, di mana fakta di lapangan memperlihatkan sebaliknya salah satunya yaitu adanya kenaikan produksi makanan per kapita di seluruh dunia sebesar 1 persen dalam satu tahun pada 1950[4].

Selain itu, dengan prediksinya yang pesimistik tersebut, Malthus beranggapan manusia sebenarnya bisa mengontrol produksi pangan namun perkembangannya akan sangat lambat, karenanya akan lebih efektif apabila mengontrol (menghambat pertumbuhan) populasi dengan menunda pernikahan, alat kontrasepsi, emigrasi, atau lebih ekstrem lagi dengan kemunduran kualitas perawatan kesehatan, mentolerir penyakit sosial (wabah), kondisi kehidupan yang memiskinkan, peperangan, atau bahkan pembunuhan bayi[5].

Selaras dengan kondisi kita sekarang saat wabah pandemi Covid-19 ini, lingkungan membaik karena berkurangnya aktivitas manusia itu memang benar adanya, itu fakta yang ada di lapangan. Namun jika kita sampai mengatakan lingkungan membaik karena adanya wabah virus yang bisa mengurangi populasi dan aktivitas manusia, seakan-akan virus atau wabah ini adalah solusi permasalahan lingkungan, itu tidak diperkenankan.

Pertimbangkan adanya relasi kuasa dalam segala permasalahan, terutama masalah lingkungan yang terus terjadi bahkan terus memburuk. Salahkan pihak-pihak otoriter dan berkuasa penuh yang bertanggung jawab atas eksploitasi alam sekaligus menyengsarakan manusia yang tertindas tanpa kuasa. Oleh karena itu, sejatinya, manusia bukan virus bagi bumi. Akan lebih baik jika kita terus mengawal gerak-gerik para perusak alam dan eksploitasi sumber daya dengan semena-mena dan mengabaikan peraturan, moralitas, dan mengedepankan keuntungan pribadi atau golongan tertentu saja.

[1] https://republika.co.id/berita/q95xwx335/polusi-udara-di-india-utara-menurun-selama-karantina-wilayah

[2] https://dunia.tempo.co/read/1330239/polusi-udara-menurun-warga-india-bisa-lihat-gunung-himalaya/full&view=ok

[3] https://geotimes.co.id/kolom/lingkungan/ekofasisme-sebagai-dalih-penggusuran/

[4] https://www.britannica.com/biography/Thomas-Malthus

[5] https://www.econlib.org/library/Enc/bios/Malthus.html

 

Oleh: 

Fariza Rizky Ananda

 

Referensi:

https://www.worldometers.info/coronavirus/

https://republika.co.id/berita/q95xwx335/polusi-udara-di-india-utara-menurun-selama-karantina-wilayah

https://dunia.tempo.co/read/1330239/polusi-udara-menurun-warga-india-bisa-lihat-gunung-himalaya/full&view=ok

https://geotimes.co.id/kolom/lingkungan/ekofasisme-sebagai-dalih-penggusuran/

https://www.britannica.com/biography/Thomas-Malthus

https://www.econlib.org/library/Enc/bios/Malthus.html