Words of Thoughts: Bangsa Terbelah

Pada masa konsensual the founding father, harapannya kemerdekaan Indonesia dapat meningkatkan martabat bangsa dan negara setelah dijajah bertahun-tahun dan menjadi pecundang di tanah airnya sendiri. Impian besar terajut menjadi mata air bagi akal dan jiwa untuk tak mati di tengah hampa, gelisah, dan pengasingan dalam bilik-bilik kematian yang mengincar.

Bapak Bangsa. Menyatukan tiap akal pribadi satu sama lain dan menjadikannya sebuah bangsa mandiri pada pertengahan abad dua puluh lalu. Menjadi sahabat, atau berubah menyerang satu sama lain ketika akal budi dinilai tak sesuai dengan janji yang terajut tempo hari itu.

Idealisme pribadi yang bertujuan satu Indonesia, akhirnya memaksa mereka mencari jalan masing-masing demi Indonesia yang mandiri. Kadang menepis gengsi di tengah polemik demi keutuhan negara yang masih hijau muda kala itu. Sutan Sjahrir pernah menjadi seorang oposan, koalisi, hingga sekarat di negara jauh berstatus tahanan negerinya sendiri. Beliau hanya satu dari sekian banyak kasus. ( Tempo, 2010)

Maupun Hatta, yang menjadi sahabat sang presiden, dua jiwa menjelma tunggal dan lambang dari tegaknya kemerdekaan Indonesia. Memisahkan diri sebagai bentuk kritik keras terhadap rekannya yang paling dikenal sebagai proklamator kemerdekaan namun menjelma menjadi sosok yang diktator. (Tempo, 2015)

Keduanya hanyalah contoh kecil pecahnya ruang nahkoda akibat perbedaan idealisme dan penilaian kemana negara ini akan terbawa. Perspektif masing-masing, rasa kengerian yang tak sama membuat jalinan jemari yang semula saling mengeratkan berubah cerai berlainan arah.

Pancasila. Satu kata beranakan makna tentang sebuah bangsa. Dicap ideologi, namun pengertian ideologi itu sendiri masih abu untuk para pemangku kebijakan pahami. Sebagai budaya bangsa, nyatakah setiap nilainya ditanamkan dan berbuah utuh?

Ketuhanan yang Maha Esa. Menjadi landasan pertama bagi empat sila berikutnya. Mengagungkan Tuhan sebagai bukti bahwa matipun mereka tak ragu demi tanah air yang Dia restukan mereka ada di dalamnya. Gema kebesaran Yang Esa kerap dikumandangkan sebagai bagian dari daya, bahwa tiada sesuatu menakuti bangsa kecuali Sang Pencipta.

Beberapa waktu lalu, Menteri Agama dengan mudahnya membuat pernyataan terkait kehadiran radikalisme di kalangan ASN bermula dari anak Hafidz (penghafal) Al-Qur’an yang bertampang good looking (Widiyani, 2020). Pernyataan tak berdasar yang menyakiti para penghafal Qur’an dan mendermakan hidupnya untuk mengkaji ayat-ayat suci.

Kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengikuti rangkaian pertama bahwa akal budi harus diiringi akhlak mulia. Mencerminkan budaya sopan santun, berakhlak mulia. Nilai moral yang harus dimiliki seluruh rakyat Indonesia.

Publik tidak bisa menolak kenyataan negeri ini tengah dilanda krisis moral dan kepercayaan. Baik terhadap pemerintah hingga aparat keamanan. Jurnalistik yang berperan sebagai jalan tengah di antara keduanya dibungkam secara kasar dan mengerikan. Penganiayaan oleh lembaga pelindung dan pengayom, menjelma menjadi tolak ukur ada ketidakberesan dari hukum itu sendiri. (CNN Indonesia, 2020)

Persatuan Indonesia. Tanah yang kaya. Kepulauan yang membentang dari hamparan lebih dari tujuh belas ribu pulau di dalamnya. Menjadi tempat berlari dan bermuara setiap insan yang hidup di atasnya. Satu Indonesia. Membuat yang jauh menjadi dekat, dan merekatkan yang berdampingan.

Peneliti Independen sekaligus pemerhati Papua, Ridwan Al-Makassary, secara jelas menyetujui tak mudah menyelesaikan konflik di Papua. Kekerasan yang membawa korban jiwa baik itu dari pihak TNI maupun warga setempat selayaknya diakui, bahwa 75 tahun Indonesia bersorak merdeka, masih ada keraguan bahkan semangat memisahkan diri dari saudara Timur.  Hal yang patut dipertanyakan masyarakat yang mengaku bahwa Indonesia adalah satu kesatuan, sudah sejauh mana pemerintah memedulikan mereka yang ada di tepian. (CNN Indonesia, 2020)

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Janji demokrasi. Segala sesuatunya dimusyarahkan sebagai bagian emansipasi kehidupan masyarakat yang pernah dibungkam di bawah kuasa kolonial. Menyatukan suara yang sama dan meyakini yang berbeda berhak mengkritisi bilamana tak sesuai janji. Berdiskusi sehat mengkritisi secara tepat.

Pembungkaman suara di sidang paripurna terhadap faksi Demokrat yang secara jelas terlihat dilakukan oleh pemimpin parlementer di Indonesia, hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa kebebasan menyatakan pendapat tak murni adanya.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Utuhnya kerakyatan dipayungi keadilan yang langit membumi. Tidak adanya perbedaan antara pengusaha dan rakyat biasa. Namun nyatanya, keadilan seolah jadi barang mahal bagi mereka yang mengais rezeki hari demi hari. Kemudahan bagi mereka yang mengkapitalisasi segala sisi kehidupan negeri ini.

Konsensus kebangsaan tak hanya terjadi masa Pancasila. Menarik kembali sorak Sumpah Pemuda 1928 yang memulai semangat kemerdekaan satu bangsa satu tanah air. Keduanya disatukan oleh perwakilan yang mewakili kelompok masing-masing secara beragam. Saling mengkritik dan memberi pendapat dan secara lapang menerima perbedaan dengan jalan tengah yang cukup baik.

Namun mengamati lewat kacamata, hingga teropong yang nun jauh disana. Agaknya hal itu baru bersambut sebagai sebuah impian. Idealitas yang diinginkan namun tak berwujud secara realita.

Mengutip dari “Demokrasi Kita” yang ditulis langsung Mohammad Hatta. Secara lugas pernah mengkritisi keras sikap sang sahabat yang akhirnya terpenggal menjadi Dwi Tanggal. Bahwa kemudian, demokrasi berubah menjadi hal yang sentimentil bagi pemerintah. Seolah mandat kekuasaan membuat demokrasi dilucuti dan paham kebebasan ditabrak habis. Bebas bagi penguasa, cengkram berbahaya bagi rakyatnya. (Hatta, 1960)

Tak berbekas, masyarakat awam hanya bisa pasrah pada keadaan. Negarawan yang berani mengomentari kebijakan pemerintah diputar balik menjadi tersangka, disebut penghina kejam pada pimpinan negara dan antek-anteknya.

Koalisi dan oposisi tak lagi jelas warnanya. Ia yang menghujat bisa berubah sahabat. Ia yang menuntut merasa dicurangi dalam kelicikan, kini berpindah haluan memberi dukungan. Ketika rakyat saling memaki dan membela para pionir harapan. Nyatanya mereka saling bercanda dan berlagak baik satu sama lain. Membuat senapan para pendukung berbelok moncongnya ke arah mereka sendiri.

Mirisnya sistem perpolitikan demi kepentingan pribadi dan golongannya sendiri memalingkan para petinggi dari wajah masyarakat yang terkapar sekarat di pojok-pojok gang-gang sempit. Membutakan mata yang kelaparan menjadi penjahat bagi tetangganya sendiri. Membakar nilai-nilai kemanusiaan demi hawa nafsu yang tak tersalurkan akibat tatanan hidup berat yang memuakan.

Mereka mengira miskinnya hidup adalah salah mereka sendiri. Walaupun berperan, namun nyatanya ada pengemudi haluan yang membawa kapal berlayar.

Para pemimpin mengira bahwa keadilan hanya perihal perut kenyang. Padahal lebih dari itu, akal budi dan adab adalah tiang dari peradaban kokoh sebuah bangsa.

Bagaimana mungkin rakyat dapat terpenuhi haknya sebagai manusia mulia dan cerdas. Ketika pendidikan justru berubah menjadi komoditas mahal.

Budaya bangsa yang Pancasila. Budaya murni Indonesia yang kini seolah disia-sia. Istana dan Senayan yang bertindak celaka. Menumbuhkan rakyat yang tak lagi peduli pada bangsanya.

Runtuh. Nurani sang manusia yang mati telah membuat dunia menjadi gelap dan penuh kebisingan tiada manfaat. Mereka yang masih berusaha menjernihkan akal dan hati baru sampai pada tahap menuntut si pembuat onar untuk mengembalikan apa yang dicuri dan dirusak. Belum sampai pada akar masalah yang harus diobati.

Tiada salah akhirnya hiburan menjadi tempat pelarian. Oppa dan Noona menjadi alasan mereka pulang dan bangkit. Sesuatu yang fana dan mendoktrin akan gemerlap dunia yang tak abadi selamanya. Mereka alpa, bahwa oppa dan noonanya juga manusia yang dibaliknya dijadikan alat dan budak.

Tenggelam. Barangkali kartu identitas mereka Indonesia. Namun, sudahkah benar cita-citanya telah sampai pada tahap menyelamatkan bangsa ini dari kegagalan yang tak mudah diraih hanya satu dua tahun saja. Butuh jalan panjang menjadi dewasa dan berpikir idealis.

Nyaris seluruh elemen tak menyadari bahwa ada ancaman yang merusak citra diri bangsa yang berKetuhanan Yang Maha Esa. Ketika pemerintah dan rakyat sama-sama buta. Kemudian kelak tutup mata itu dibuka, barangkali kita terlambat menyadari. Bukan lagi ekspansi kekerasaan yang menghancurkan harga diri. Tatkala sebuah hegemoni mencuri akal budi bangsanya sendiri. Indonesia kehilangan identitasnya yang sejati.

References

Tempo. (2010). Sutan Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil. Jakarta: Kompas Gramedia.

CNN Indonesia. (2020, Oktober 10). AJI: Kekerasan Polisi ke Jurnalis untuk Sembunyikan Kejahatan. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201010141329-20-556854/aji-kekerasan-polisi-ke-jurnalis-untuk-sembunyikan-kejahatan

CNN Indonesia. (2020, September 24). Panas Dingin Konflik Papua di Tangan Jokowi. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200923175941-20-550076/panas-dingin-konflik-papua-di-tangan-jokowi

Hatta, M. (1960). Demokrasi Kita. Jakarta: Pustaka Antara.

Tempo. (2015). Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman. Jakarta: Kompas Gramedia.

Widiyani, R. (2020, September 4). Soal Menag Sebut Radikalisme, Apa Pengertiannya? Retrieved from detiknews: https://news.detik.com/berita/d-5159976/soal-menag-sebut-radikalisme-apa-pengertiannya

 

Oleh: Chairunisa